Senin, 15 Februari 2016

FLASH FICTION - GADIS TEROWONGAN

Tiiinn ...!

Begitu kuklakson mobil, gadis kecil itu berlari membuka gerbang masuk terowongan yang menjadi pembatas antara dua desa. Sesudahnya ia menghampiriku lalu mengulurkan tangan. Seribu rupiah milikku segera berpindah ke tangannya.

"Makasih, Tuan, "bisiknya lirih, lalu kembali lagi berlari ke tempatnya semula berdiri, di muka terowongan, setelah lebih dulu memberiku setangkai mawar merah dari dalam keranjang yang dibawanya.

Aneh, mawar untuk apa?

"Harga mawar ini lebih mahal dari uang yang kuberi untukmu," kataku, turun dari mobil dan menghampirinya.

"Tak mengapa, doakan saja Bapak saya selamat," jawabnya datar, matanya tajam menyapu wajahku. Kutaksir usianya sekitar sepuluh tahun. Mantel merah usang yang dikenakannya tampak sedikit kebesaran di tubuhnya yang mungil.

"Bapakmu kenapa?"

"Mati."

Aku terlengak kaget, bukan semata-mata karena jawabannya, tapi lebih kepada ekspresi dingin gadis kecil itu saat mengucapkannya.

"Bapakmu meninggal kenapa?" tanyaku penasaran.

"Ditenggelamkan." Ia menunjuk ke arah danau di sebelah kanan jalan.

Aku kembali terlonjak. Ia tidak bilang tenggelam tapi 'ditenggelamkan'.

"Kapan?"

"Baru saja."

"Apaaa ...?!" Belum lama aku bersamanya tapi gadis ini sudah mengejutkanku berkali-kali.

"Di sebelah mana?! Siapa yang menenggelamkan?!" Aku berlari menuju tepi danau diikuti langkah kakinya yang kaku.

"Di sini?!" tanyaku lagi. Gadis itu mengangguk sekilas.

Aku berlari kembali mengambil senter dari dalam dashboard mobil, melepas mantel dan sepatu karet cepat-cepat, lalu setengah tergesa kumasuki danau. Rasa seperti dicucuki ribuan jarum langsung menyergapku.

Semoga belum terlambat.

Pikirku menggigil, menarik napas panjang bersiap menyelam.

Eeh ... apa itu?

Sudut mataku menangkap senyum ganjil di wajah gadis tadi. Selagi aku berpikir tentang arti senyumannya, satu hentakan kuat dari bawah permukaan air menarik kedua kakiku. Aku terseret masuk ke dalam air danau yang gelap dan beku.

Tangankah ini yang mencengkeramku?

Tanaman air liar membelit kaki serta tubuh. Berjuang aku membebaskan diri darinya mencoba mencapai permukaan. Kakiku menendang-nendang tak terkendali.

"Tolooonnggg ...!" teriakku lemah saat kepalaku muncul di permukaan, tanganku menggapai-gapai udara.

Haap!

Satu tangan kokoh menarikku.

"Uhuuk ... uhuukk!" Muntahan air keluar dari mulut serta hidung. Seseorang tadi telah menyeretku ke daratan. Ia pun tersengal-sengal di sebelahku.

"Gadis kecil tadi, mana?" tanyaku segera begitu telah menguasai napas.

"Tak ada gadis kecil, Tuan." Laki-laki muda itu menatapku aneh.

"Tadi dia di sini!"

"Tak ada seorang pun, Tuan. Hanya Anda. Saya melihat Anda tadi hendak bunuh diri."

"Bunuh diri?!"

Kuedarkan pandang ke seluruh penjuru mencari sosok gadis kecil tadi, hingga mataku tertumbuk pada benda yang teronggok tak jauh dari tanganku.

Mawar merah ....

Aku pun menggigil.

~TAMAT~

Sumber gambar: Mbah Gugel

Senin, 08 Februari 2016

FANFICTION - JEMBATAN LANGIT

"Jangan sampai kau melihat ke bawah saat nanti kita melewati Hutan Api, Zou!"

"Memang rumor itu benar, ya? Aku sih sangsi, masak cuma lihat bisa terbakar."

"Jaga mulutmu, itu memang benar! Dengan melihat lautan apinya saja matamu akan membara, dan api akan membakar seluruh tubuhmu!"

"Hiii ... ngeri."

Zou bergidik, menangkupkan kedua tangan ke pipi kanan dan kiri, tapi seringai ketakutan itu jelas sekali pura-pura.

"Zou, aku tidak bercanda!" teriakku marah.

"Oke ... oke, maaf," Zou masih cengengesan, "habisnya kau serius sekali, sih. Hmm, akan aku ingat baik-baik. Jangan menoleh ke bawah. Iya, kan?"

Aku mengangguk. Walau Zou tadi bercanda, tapi sekilas kulihat kejerian terpancar di matanya. Mungkin dalam hati ia pun diliputi ketakutan sama sepertiku.

"Ayo, bersiap," ajak Zou gagah. Melipat pedang mutiaranya jadi tiga, dan diselipkan pada saku lengan sebelah kiri baju zirahnya. Ia dengan mantap lalu memanjat ke atas tubuhku.

"Huum ... Zou?"

"Yaaa?"

"Kita kan akan terbang naik itu." Aku menunjuk benda yang terparkir tak jauh dari kami, "kenapa kamu nemplok ke aku kayak gini?"

"Uups, maaf." Zou melompat turun dari punggungku sambil tertawa-tawa. Dasar gadis aneh!

"Seingat aku setiap satria punya hewan tunggangan, biasanya naga. Tadi aku sempat mengkhayal, kau seperti itu." Zou kembali cekikikan sampai terbungkuk-bungkuk.

"Tapi aku ini sahabatmu, dan aku bukan hewan!" ketusku. "Aku ini Myrthia, kau pun bukan satria seperti harapanmu."

"Walaupun kau makhluk mitologi, apa pun namanya, tetap saja kau itu sejenis hewan di sini. Sudah akui saja, tak usah gengsi."

Aku mendengus kesal. Zou memang paling senang meledekku dengan hal itu. Menurutnya kalau di negeri Zenith, aku ini perpaduan dari kambing, penyu, dan elang. Kulit punggungku sekeras penyu, tapi kepala, ekor, dan keempat kakiku seperti kambing. Selain itu aku mempunyai sayap seperti elang, tapi aku tidak bisa terbang. Sayap ini untuk menambah kemampuanku dalam berlari. Ya, kekuatanku memang pada kecepatan kaki-kakiku hingga Zou menjulukiku Si Kaki Angin.

"Erb ...."

"Heemm!" dengusku, masih kesal.

"Apa menurutmu, karena aku anak perempuan, aku tidak pantas jadi satria?"

Zou mengerling padaku sambil menaikkan sepasang alis coklatnya yang indah, meminta pendapat.

"Rambut gimbalmu sudah cocok kok, untuk seorang satria," dengusku lagi, berniat membalas ledekannya.

"Erb!" Zou membeliakkan mata hijau besarnya ke arahku jengkel.

"Kalau tidak pantas, mana mungkin King Andrews menitahkan kau menyelamatkan putranya. Iya kan?" jawabku akhirnya.

Perlahan tapi pasti senyum Zou mengembang, memperlihatkan sepasang lesung pipinya.

"Kalau begitu, ayo berangkat!"

Zou mendahuluiku berjalan ke arah benda aneh di depan kami. Bentuknya seperti gelombang air, transparan, dan selebar tubuh tiga orang dewasa. Entah apakah benda ini benar-benar bisa terbang?

***

"Dasar pengecut! Bebaskan aku dari sini, kita bertarung secara jantan!"

"Hihihi ... aku kan peri, Prince Chess, masak secara jantan, sih?" Peri Langit tertawa-tawa sambil terbang berputar mengelilingi Prince Chess.

Pangeran berambut ikal keemasan itu menggigit bibirnya kesal, mata birunya berkaca-kaca. Sedikit lagi pasti bendungan akan jebol dan membludak dari matanya.

Sebenarnya Peri Langit tidak mengurungnya, hanya menempatkan di atas sebuah jembatan tak berujung, di ketinggian yang tak diketahui. Sekelilingnya hanya penuh dengan arak-arakan awan yang membuatnya yakin, ia berada di tempat yang tinggi sekali.

"Kenapa kau menculikku?!"

Suara Prince Chess mulai lemah, ia sudah lama berteriak-teriak sejak tadi. Posisinya masih sama sejak semula, bersimpuh di jembatan sambil jari jemarinya mencekal tali jembatan dengan erat. Ia memang takut ketinggian.

"Ayahmu itu perlu diberi pelajaran. Ia mengenakan pajak pada Jembatan Langit milikku yang melintasi kerajaannya, padahal jembatan ini kubangun untuk memudahkan perjalanan para Pertapa Sunyi menuju Puncak Amerta, tempat mereka untuk moksa."

"Tapi aku tidak tahu apa-apa!" jerit Prince Chess, lalu begitu saja bergulir kristal bening dari sepasang matanya.

"Ckckck, Prince Chess, kau itu laki-laki, apa tidak malu menangis?"

Peri Langit mengibaskan jubah keemasannya, ujung jubah itu seketika menghapus air mata pangeran.

"Aku tidak suka laki-laki yang menangis," katanya lagi.

"Dasar peri jahat! Tunggu sampai pengawalku datang!"

"Ooh, aku ketakutan," ejek Peri Langit.

"Kau belum kenal Zou, dia bisa menghabisimu dengan sekali pukul!"

"Oh ya? Mana dia kalau begitu, biar kujebloskan ke Hutan Api!"

"Aku di sini!"

Tiba-tiba diiringi dengan suara deru air, berkelebat cahaya keperakan menebas ujung rambut Peri Langit.

"Aaahh ...!" Peri Langit terkejut.

"Horeee, itu Zou pengawalku datang. Biar rasa kamu, peri jahat!"

Prince Chess bertepuk tangan kesenangan, lupa untuk berpegangan. Bibirnya menjulur ke arah Peri Langit.

Plaakk!

Satu tamparan mendarat di pipi Prince Chess. Peri Langit telah melayang turun, sambil sebelah tangan memegang kepala yang kini telah kehilangan sanggul besarnya.

"Kau akan rasakan akibatnya untuk ini!" teriak Peri Langit, mencengkeram kerah baju Prince Chess.

Wuuss!

Aku berlari ke arah Prince Chess sebelum Peri Langit berhasil menjangkaunya, menariknya cepat ke arah punggungku.

"Aaahh, hewan apa kau ini?!"

Peri Langit ternganga di depanku. Dari raut wajahnya sepertinya ia terkejut.

"Minggir, Erb." Zou menepuk pundakku. Aku pun berbalik dan kembali berlari cepat ke sisi jembatan yang lebih aman.

"Jangan kencang-kencang, Erb, aku takut!"

Aku mendengus pelan lalu melambatkan lariku. Kalau saja bukan untuk Zou, malas rasanya membantu menyelamatkan pangeran gemulai ini. Ya, itu julukanku untuknya. Gemulai!

"Lihat yang telah kau lakukan pada rambutku! Rasakan ini!"

Kulihat dari kejauhan perempuan alis bercabang itu berputar cepat, tubuhnya kini serupa pusaran angin. Zou menyilangkan pedang permata di depan dadanya. Aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya, tapi kuharap ia bisa mengatasi perempuan aneh itu.

"Erb, aku takut. Apa Zou bisa melawan Peri Langit?"

Aku mendengus, malas menjawab Prince Chess yang kini memeluk leherku erat. Dalam hati aku berdoa, semoga ia tidak ngompol di punggungku.

"Aku sudah siap sedari tadi, Nyonya botak!" Dari kejauhan kudengar teriakan Zou yang bernada mengejek.

"Bersiaplah anak kecil! Rasakan pembalasanku!"

Kulihat Zou memutar pedangnya di atas kepala, cahaya keperakan langsung menyelubungi tubuhnya. Pusaran angin keemasan milik Peri Langit, cahaya keperakan dari tabir pedang Zou, berbenturan beberapa kali. Kilatan cahaya serta teriakan -teriakan silih berganti memenuhi udara.

Lalu di satu titik tiba-tiba kedua cahaya tadi kembali saling beradu hingga mengeluarkan suara ledakan.

Taaarrtt!

"Zou!" teriakku keras, berlari secepat kilat menuju ke arahnya terjatuh.

"Zou, bangun Zou!"

Prince Chess turun dari punggungku, menepuk-nepuk pipi Zou. Tampak sudut bibir sahabatku itu mengeluarkan darah.

"Erb ...."

"Astaga Zou, kau membuatku ketakutan!" teriakku gembira saat Zou membuka matanya perlahan.

"Siapa yang menang?" tanyanya lemah.

Aku mencari-cari sosok Peri Langit, tapi hanya seonggok jubah hangus yang kutemukan.

"Kau yang menang, Satria Zou!"

Aku tersenyum bangga padanya. Zou membalas senyumku, sedangkan Prince Chess, oh astaga, pangeran gemulai itu mulai menangis lagi.

Sumber Gambar: Mbah Gugel