Minggu, 11 September 2016

BULAN DI ATAS LANGIT JAKARTA

Solopos, 11 September 2016



“Kau melukis apa?!”
Aku sedikit mengeraskan suara. Mungkin gadis itu tak mendengar pertanyaaanku yang pertama karena terlalu asyik dengan kegiatannya, jadi aku memutuskan mengulangi pertanyaan. Namun ternyata ia masih tetap membisu, hanya tangannya saja dengan cekatan membaur beberapa warna di atas palet, lalu ia kembali menggerak-gerakkan kuas pada udara kosong di depannya.
Ya, gadis itu melukis bidang hampa. Tak ada kanvas ataupun kayu penyangga kanvas. Yang ada hanyalah gadis itu, palet, dan kuas, berdiri di atas bangku semen di tengah taman kota yang sepi pengunjung di jam kerja. Satu pemandangan unik yang membuatku jadi penasaran dengan segala yang dilakukan gadis cantik itu. Ya, ia cantik, walau sepertinya gila. Dan aku mulai ikut-ikutan gila karena mengajaknya berbicara.
Gadis itu datang satu jam yang lalu. Seperti biasa, ia mengenakan gaun putih dan flat shoes berwarna senada. Mungkin itu warna favoritnya, karena di setiap perjumpaan kami, ia selalu mengenakan warna yang sama. Pakaiannya pun selalu berupa gaun, menjulur sampai pergelangan kaki, walau dengan model dan detail dan jenis bahan berbeda.
Waktu aku pertama kali melihatnya, ia mengenakan gaun out of shoulder dari bahan katun, memperlihatkan pundaknya yang ringkih. Hari selanjutnya, ia memakai gaun tanpa lengan dengan detail bunga-bunga kecil menyebar di bagian rok yang menggembung. Dan hari ini, ia mengenakan gaun satin berlengan panjang yang melebar di bagian ujung serupa lonceng. Sebuah tas jingga bercorak batik tergantung di bahu kanan. Ia melihat ke arahku, aku tersenyum, tapi ia cepat-cepat memalingkan wajah ke arah lain. Tapi syukurlah, ia tak menyurutkan langkah atau berbalik menjauh. Kaki-kakinya mantap menghampiri tempatku duduk di bawah pohon angsana.
 “Oh, aku tahu! Pasti laut, kan? Kau mencampur warna biru muda dan tua serta sedikit warna putih. Itu warna laut. Hmm ... atau mungkin kau melukis awan?”
Gadis itu masih tak menjawab, membuatku tampak konyol karena berbicara sendirian. Ia turun dari bangku semen tempatnya berdiri sedari tadi, lalu mengambil cat-cat baru yang berserakan di rerumputan di bawah bangkunya. Kali ini warna hitam, abu-abu, dan kembali, sedikit warna putih yang dipilih. Ia mencampur sebagian warna-warna tadi lalu kembali naik ke atas bangku yang sama.
“Aahh … bulan yang bulat sempurna di langit Jakarta. Indah sekali!” seruku setelah beberapa lama. Sebenarnya hanya menebak saja, tapi sepertinya aku benar. Gadis itu berhenti melukis, tangannya menggantung kaku di udara, lalu perlahan-lahan diturunkan. Ia  menoleh padaku dengan dahi berkerut, bibir kemerah-merahan miliknya yang sedikit basah membuka perlahan, tapi segera terkatup lagi. Ia urung bicara.
Sebagai gantinya, ia turun dari atas bangku, berjongkok memberesi peralatan lukis—botol-botol cat, kuas-kuas, pisau palet—menjejalkan semua ke dalam tas. Ia lalu tergesa-gesa melangkahkan kakinya menjauh, melewati jogging track, arena bermain anak, lalu hilang di balik pohon beringin di kelokan setapak taman.
Setidaknya sudah ada kemajuan, batinku. Setelah satu minggu lebih, akhirnya aku tahu apa yang dilukis gadis itu.
Sebenarnya bukan tanpa alasan aku menegurnya, tapi gadis itu sungguh mengingatkanku pada seseorang di masa lampau. Amelia, kekasihku, juga sangat mencintai dunia melukis. Namun ia sering kali mendebatku dengan mengatakan bahwa kegiatannya itu jauh berbeda dengan melukis.
“Jangan sebut aku pelukis, aku hanya senang menggambar!” ketusnya suatu kali. Bibir ranumnya mengerucut, membuatku gemas ingin merasakan kelembutan darinya. Tapi kekasihku sungguh sedang marah, dan melakukan hal yang kukhayalkan tadi hanya akan menambah kemarahannya.
“Sama saja, Sayang. Aku tak melihat perbedaan antara melukis dan menggambar.”
“Tentu saja beda. Aku tak memakai kanvas, kuas, easel, cat minyak, cat poster, dan jenis-jenis cat lainnya, atau benda apa pun yang digunakan mereka yang kau sebut pelukis. Aku cuma pakai ini, konte dan kertas. Dan aku hanya menggambarmu! Jelas sekali perbedaannya, bukan?”
Aku terbahak. Tanganku refleks mengacak-ngacak rambut Amelia  yang lurus sebahu lalu lekas  menarik tubuh ringkih itu  ke dalam pelukan, sebelum ia kembali marah karena merasa ditertawakan. Kukecup kening kekasihku dan meminta maaf karena ‘menuduh’nya sebagai pelukis. Salah satu hal yang kusukai dari Amelia, ia bukanlah tipe perempuan yang berlarut-larut merajuk karena berselisih paham. Dengan segera ia memaafkan dan setelahnya kembali memintaku menjadi obyek lukisannya. Ah, maksudku obyek gambarnya.
“Sayang, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” bisikku di telinga Amelia. Kekasihku menggeliat, merenggangkan pelukan. Ditengadahkannya kepala, menatap lekat ke kedalaman mataku. “Meminta apa?” tanyanya perlahan.
Aku tak langsung menjawab. Kulepaskan pelukan dan membimbingnya ke salah satu bangku taman. Setelah kami saling duduk berhadapan, baru kukatakan permohonanku. “Untuk kali ini saja, buatkan aku gambar yang lain, bukan sketsa wajahku seperti yang sudah-sudah. Aku sedikit bosan, kau tahu?” ucapku sambil mengedipkan sebelah mata. Amelia berusaha menarik tangannya dari genggamanku. Agaknya ia tak suka mendengar permintaan itu.
Dulu aku pernah mengajukan hal yang sama. Di taman ini juga. Saat itu kukatakan padanya, “Teman-teman yang main ke kosan mulai menuduhku narsis, karena memajang  gambar wajah sendiri di semua sudut kamar. Mereka tak percaya kau yang melakukannya. Ayolah, Amelia sayangku, buat saja gambar yang lain.”
“Tidak mau.” Amelia memberengut kesal. “Kau tahu, kan, aku tergila-gila padamu? Aku cuma ingin menggambar senyummu matamu kumismu cambangmu rambutmu wajahmu tubuhmu dan bukannya hal lain di dunia ini sekalipun itu jauh lebih indah. Kau mengingatkanku pada sesuatu yang selalu membuatku nyaman tiap kali memandangnya, karena itu aku selalu menggambar dirimu.”
“Oh, ya? Sesuatu apa?” tanyaku penasaran, namun kekasihku hanya diam seribu bahasa.
Aku boleh saja gagal hari itu saat memintanya menggambar obyek lain, tapi kali ini aku berkeras. Aku tahu ia tak suka dipaksa, tapi diriku pun tahu permintaan tadi bukanlah sesuatu hal yang berlebihan.
“Setidaknya cobalah dulu. Hanya satu gambar. Tidak lebih. Lalu aku tak akan meminta apa pun lagi padamu seumur hidupku.” Aku berkata tegas sambil menentang matanya, berharap ia melihat kesungguhan di sana. Raut wajah Amelia tertekuk, sepasang alis indahnya menyatu, ia tampak menimbang-nimbang. Lalu lamat-lamat ia mengangguk, mengeluarkan buku sketsa dari dalam tas, dan mulai menggambar.
Dan sampai kini kusimpan hasil goresan tangannya walau kami tak lagi bersama.

***

Lelaki itu masih ada di tempat yang sama. Aku tak suka ia di sana, tapi taman ini milik umum, tak mungkin menyuruhnya pergi. Lagi pula aku kembali ke sini memang untuk dirinya. Terus terang, senyuman ganjil lelaki itu menggangguku, juga aroma menyengat yang menguar dari tubuhnya, apalagi celetukan-celetukannya seperti tadi pagi.
 “Lukisanmu bagus. Di mana kau belajar melukis?”
“Kau memilih warna-warna yang tepat. Komposisinya sempurna.”
“Ah, itu gambar bulan yang indah.”
Semua gara-gara Mas Satrio, redaktur senior, yang mendengar percakapan antara diriku dan Romi, desainer grafis di kantor kami,  tentang laki-laki yang kulihat di Taman Langsat, taman yang dijuluki Hidden Park, karena memang letaknya yang tersembunyi di belakang Pasar Burung Barito di selatan Jakarta.
“Itu menarik, Ta, bisa kau jadikan artikel untuk rubrik ‘Taman Kota’ minggu ini. Semacam mengupas sisi lain dari keberadaan sebuah taman. Kau masih punya banyak waktu sebelum majalah kita naik cetak.”
“Mewawancarai orang gila?!” tanyaku terperanjat.
“Mengapa tidak?” Mas Satrio tersenyum simpul, sebelum kembali ke ruang kerjanya. Tinggal aku menggaruk-garuk rambut cepakku yang tak gatal, karena tak tahu bagaimana caranya mewawancarai lelaki gila.
Seorang pedagang asongan melintas, aku memanggilnya, lalu meminta sebotol minuman dingin.
“Neng wartawan, ya?” Pedagang asongan itu berbasa-basi sambil menunjuk ID Card-ku. Mungkin ia juga sudah melihat kamera yang kusandang. Aku mengangguk.
“Cari berita apaan, Neng? Di sini, mah, enggak ada yang bisa dijadiin berita,” katanya sok tahu.
“Lagi jalan-jalan aja, Mang, siapa tahu dapat berita menarik di sini.”
Pedagang asongan itu ber-ooo panjang sambil melepaskan topinya. Ia kemudian mengipas-ngipas wajah tirusnya menggunakan topi tersebut.
“Hmm … Mamang lihat nggak, laki-laki di bawah pohon itu? Bagaimana menurut Mamang, kalau dia dijadikan berita buat majalah saya?” pancingku.
“Hah?! Yang di sana?!” Pedagang asongan mengarahkan telunjuknya pada lelaki di bawah pohon angsana di kejauhan. “Dia sih, orang gila, Neng. Lihat aja cengengesan begitu. Terus tiap ada orang di dekatnya pasti ditanya, ‘lagi gambar apa? Ngelukis apa?’.”
Aku mengangguk. Itu pula yang ditanyakan lelaki itu padaku tadi pagi, padahal aku tidak sedang melukis melainkan memotret lokasi taman.
“Mamang tahu, kenapa dia jadi begitu?”
“Ya taulah, Neng. Dulu pacarnya mati di sini, ditusuk jambret yang mau ngerebut tasnya.  Perempuan itu mempertahanin mati-matian, padahal belakangan ketauan kalo dalam tasnya enggak ada barang berharga, cuma buku gambar doang. Laki-laki itu pas lagi beli minuman sama saya. Persis kayak Eneng sekarang. Makanya dia jadi stres, Neng. Gila.”
Dadaku membeludak mendengar penjelasan pedagang asongan itu. Kurogoh saku belakang celana jeans dan menyerahkan selembar uang untuk membayar minuman, tak lupa berterima kasih atas informasinya barusan. Setelah ia menghilang di antara rerimbunan bougenvil, aku bergerak ke arah lelaki di bawah pohon angsana.
Kali ini aku memerhatikan lelaki itu lebih jelas—rambut yang acak-acakan, berewok tak terurus, pakaian berkelukur tanah, membuatku jatuh iba padanya. Satu perasaan yang pagi tadi bahkan tidak ada. Tatapan lelaki itu luruh pada sketsa di pangkuannya. Perlahan aku berjongkok, ikut mengamati guratan-guratan halus yang lahir dari tangan terampil. Di sudut kanan bawah terdapat sebuah nama, Amelia.
“Bulan di atas langit Jakarta,” lirihnya. Lalu setetes air mata bergulir di pipi.

Tangsel, 30 Agustus 2016


Minggu, 24 Juli 2016

APAKAH KAU MENDENGARKU?


 Sumber gambar: Mbah Gugel


Carl mencicipi kembali Beef Bourguignon andalannya. Setelah tiga jam dimasak dengan anggur merah, daging sapi itu telah memiliki tekstur lembut seperti yang diharapkan. Ia yakin, masakannya akan segera mengembalikan selera makan Isabel yang akhir-akhir ini menghilang. Sekalian ia akan memanfaatkan malam ini untuk menyatakan cintanya pada gadis itu.
.
"Carl, apakah masih lama?!" Suara bernada tinggi terdengar dari ruang makan.
.
"Sebentar lagi, Ma chèrie!"
.
Carl mengecek ulang hasil masakannya. Ia telah mempersiapkan makan malam ala Perancis untuk Isabel. Ada Salad Nicoise untuk mengawali makan malam mereka, berisi sayuran yang ditambah irisan tuna, telur, dan mayones. Lalu tentu saja Beef Bourguignon sebagai menu utama. Ia pun sudah membekukan Creme Brulee dalam lemari es untuk pencuci mulut, tinggal nanti menaburkan gula palem di atasnya lalu dipanggang tiga menit untuk melelehkan gulanya, sebelum dihidangkan.
.
"Voila, makan malam sudah siaaapp ...!"
.
"Ooh ... sepertinya ide buruk, Carl. Bisa kau bawa pergi itu?" Isabel menutup mulut dan hidungnya saat melihat hidangan yang dibawa Carl.
.
"Kenapa?" tanya Carl bingung, "bukankah kau tadi sudah tak sabar?"
.
"Arrgh ... bawa saja, Carl!" Isabel mengibaskan tangannya kesal. Ia berjalan ke arah jendela dan menghirup udara banyak-banyak. Carl segera menyusul setelah sebelumnya meletakkan Salad Nicoise-nya ke atas meja.
.
"Ma chèrie, apakah kau sakit?" tanya Carl khawatir.
.
"Aku baik-baik saja." Isabel menjawab setelah jeda beberapa waktu. Rona wajahnya sudah kembali normal, tak lagi sepucat sebelumnya.
.
"Lalu kenapa? Kau selalu suka masakan buatanku, bukan?"
.
"Oh, maafkan aku Carl, tentu saja aku suka. Masakanmu adalah yang terbaik. Apa jadinya aku, bila tak mempunyai sahabat sebaik kau." Isabel memeluk Carl, mengelus-elus punggungnya sambil berkali-kali memohon maaf.
.
'Ah, kenapa kau hanya menganggapku sahabat?' Batin Carl.
.
"Tapi sepertinya kau muak dengan masakanku." Carl melerai pelukan Isabel.
.
"Itu karena aku hamil!" Isabel berteriak gembira, "sepertinya aku ngidam. Ini calon anakku dan Pierre. Kau masih ingat dia kan, yang aku kenalkan padamu natal kemarin? Well ... kami bertemu lagi tiga bulan lalu, dan semua terjadi begitu saja ...."
.
Isabel terus bercerita panjang lebar, tapi Carl sudah tak mau tahu. Ia kesal, kenapa harus kalah bersaing dengan seorang lelaki. Mendadak ia pun merasa mual.
.
"Uum ... Carla? Apakah kau mendengarku?"
.
.
Tangsel, 1 Juli 2016


(Menang GA-nya Mas Damar, dapat buku The Vanished Man - Jeffery Deaver)

Rabu, 20 Juli 2016




SABDA KOPI



Walaupun hanya kopi
namun getir dan hitamku
nyatanya candu
Sesesapan pertama menjadi dawam
rebahkan doa dalam gumam
Reguk kedua biarlah membara
bagi matamu yang berkaca
Pada gelas ketiga tamatlah rindu
berdebam di kelabu jiwamu
mati kutu


(Event Puisi Bebuku Publisher)

Senin, 11 Juli 2016

AYAH YANG TAK PERNAH ADA

Cover by LovRinz Publishing


Ibu adalah perempuan terkuat yang pernah aku kenal sepanjang hidupku. Bayangkan saja, dulu saat melahirkanku ke dunia, ibu harus mengalami ujian berat. Ayah pergi dari kami demi perempuan lain, padahal saat itu ibu masih terbaring lemah setelah proses persalinan yang melelahkan. Tak cukup hanya itu, ibu masih harus mencari tempat tinggal baru untuk dirinya dan juga aku, bayi yang baru saja dilahirkannya, karena ia terusir dari tempat tinggal yang lama.

Ya, memang ibu hanya menumpang saja di sana. Ia dan ayah tak punya tempat tinggal tetap, hingga harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Kadang-kadang mereka mendiami pinggir bantaran sungai, di lain kesempatan mereka menghuni lorong-lorong pasar kala malam, rumah-rumah penduduk, emperan toko, di mana pun, sebelum akhirnya harus pergi karena orang-orang yang tidak sudi rumahnya dihuni mereka.

Tak ada air mata. Sedikit pun tak kulihat anak sungai mengalir di sepasang mata tua ibu, saat menceritakan tentang kenangan pedih masa kecilku dulu. Aku yang salah. Aku yang memaksa ibu membangkitkan kisah sedih itu, karena aku ingin tahu di mana ayah. Ibu memang tak sekalipun pernah menyebut perihal lelaki itu. Mungkin hati ibu sudah terluka terlalu dalam, ditinggalkan suami demi perempuan lain di saat hamil besar dan akan melahirkan, terpaksa harus mengurus dan membesarkan aku seorang diri tanpa seorang kepala keluarga yang melindungi.

Ya, sejujurnya kami sangat butuh perlindungan seorang lelaki. Aku butuh ayah! Itulah sebabnya aku bertanya pada ibu ke mana perginya lelaki itu. Seandainya ayah ada, ibu tak akan kesakitan seperti saat ini, setelah menyelamatkan diriku dari gangguan hidung belang. Ibu sudah terlalu tua untuk melawan, tapi ia paksakan juga untuk menyerang pejantan yang ingin menggagahiku. Ibu terluka, tapi aku selamat. Setidaknya untuk saat ini, entahlah bila nanti ada pejantan lain yang mencoba mengusikku. Tanpa ayah, kami harus melindungi diri sendiri. Aku masih terlalu muda, belum terlalu tangguh melawan. Tetapi ibuku, sore tadi dalam keadaan lemah dan nyaris kalah, ia masih berusaha bangkit, menajamkan kembali kukunya, dan melompat menyerang sambil berteriak lantang, "Miaauuww ...!"

Hari ini kami selamat meski tubuh ibu penuh lika-luka, entah esok hari. Kami butuh perlindungan seorang lelaki. Aku butuh ayah.



Tangsel, 10 Juli 2016


(Event FF untuk Novelnya Elfi Ratna Sari, Seribu Kepak Sayap Patahmu)

Senin, 20 Juni 2016

JAMUR-JAMUR DI KAMAR MANDI



Sumber gambar: @r3dcarra


Beberapa pekan belakangan, Bimo kerap mengamati pertumbuhan jamur di pojok kamar mandi. Semula jamur-jamur itu hanya seukuran pentol korek, tetapi kian hari kelopak-kelopak berwarna putih kekuning-kuningan itu semakin memekar, dan sekarang sudah melebihi ukuran telapak tangannya. Tumbuhan itu bergerombol di antara lumut yang menempel di dinding bak mandi.

Bimo berjongkok, mulai memetiki seluruh jamur di sana, lalu mewadahinya dengan baskom yang memang sengaja ia bawa.

"Akhirnya ... hari ini aku akan makan enak," senyumnya senang, membawa seluruh jamurnya menuju dapur.


(Pesta Fiksi 04-nya Mbak Carolina Ratri)

Rabu, 15 Juni 2016

JANGAN BILANG SIAPA-SIAPA


Pacarku menginap di rumah. Mom tidak masalah. Ia pikir, kami hanyalah sepasang kekasih yang masih menggebu-gebu, seperti dirinya dulu. Mom salah. Aku dan Jason bahkan belum pernah melakukan 'itu'. Aku hanya senang ngobrol dengannya dan kami bercerita tentang banyak hal sampai larut malam.

Paginya aku ke grocery, karena persediaan telur dan susu di kulkas sudah habis. Jason masih tidur, jadi kuajak Molly, anjingku, untuk menemani.

Sekembalinya ke rumah, aku meletakkan belanjaan di dapur, lalu mengajak Molly untuk membangunkan Jason. Saat kami melewati kamar Mom, aku mendengar erangan dari dalam sana. Dengan gemetar, kukuak sedikit pintu yang tak terkunci.

Di sana, di atas ranjang, kulihat Mom bersetubuh dengan pacarku ... Jason.


(Pesta Fiksi 04-nya Mbak Carolina Ratri)


 Sumber Gambar: @r3dcarra


LELAKI SENJA

Saya benci kakek. Beberapa tahun belakangan, saat kesehatannya mulai menurun dan ingatannya sudah sangat payah, ia menjadi orang yang sangat merepotkan. Setiap menit, suaranya yang parau selalu menggigiti gendang telinga saya dengan permintaan agar saya membantunya ke kamar mandi, mengambilkan sesuatu, atau mencarikan barang yang ia lupa di mana meletakkannya. Saya mulai bosan, atau lebih tepatnya lelah. Saya berpikir, sudah saatnya saya melakukan sesuatu.

Suatu hari saya membawanya dengan kursi roda keluar rumah.

"Kita akan menikmati senja, Kek."

Sengaja saya membuat agar suara saya terdengar riang, bahagia, mencoba menularkan perasaan yang sama ke dinding hatinya. Kakek pun mengangguk senang.

Tibalah kami di sebuah danau, menikmati saat sang surya mulai tenggelam perlahan ke permukaannya. Saya menunggu, sampai seluruh tubuh mentari terlahap ke dasar air. Dan ketika itu terjadi, saat seluruh warna di sekeliling saya berubah menjadi hitam, saya pun mendorong kursi roda kakek ke arah danau. Melepasnya tenggelam bersama senja.


(Pesta Fiksi 04-nya Mbak Carolina Ratri)
 

Sumber gambar: @r3dcarra

Jumat, 10 Juni 2016

MATA-MATA YANG BERSEMBUNYI

Mama melarangku bermain di ladang jagung sendirian. Kata mama, di sana ada mata-mata yang bersembunyi. Makhluk bawah tanah bertubuh bulat pendek dengan ekor berbulu halus seperti milik tikus, yang gemar sekali aroma tubuh anak kecil.

"Mereka akan mengendap-endap, lantas seketika menyergap saat kau lengah, dan menjadikanmu pelayan mereka di dunia bawah tanah. Tak pernah ada anak kecil yang berhasil melarikan diri dari sana."

Aku tahu mama hanya menakut-nakuti, tapi aku tidak takut. Aku adalah gadis pemberani.

Dan di sinilah aku. Di ladang jagung. Mencicipi aroma daun-daun mudanya yang berterbangan dibawa angin, berlarian menembusi pokok-pokok jagung yang seolah tak berjarak, memetik buah-buahnya yang telah masak sebagai hadiah untuk mama.

Aku terlalu asyik sampai tak menyadari  mata-mata bersembunyi yang dikatakan mama sungguhan datang. Mereka menyergapku dari segala penjuru, tapi ternyata tidak membawaku ke dunia bawah tanah.

Mereka ... bergantian menggeram di atas tubuhku.


(Pesta Fiksi 04-nya Mbak Carolina Ratri)


Sumber gambar:@r3dcarra

Rabu, 08 Juni 2016

PUISI - DI UJUNG PERJALANAN

Seperti selesat lembing yang kau lontarkan tepat mengoyak dada, memaksa rapalan doa doa tentang lebamnya perjalanan merangkak keluar dan mencari tujuannya sendiri

/adalah aku, cinta yang berhuma pada lereng terjal hatimu/

Padahal telah kau lesapkan senandung mimpi mimpi di pusara batin; sabana biru, aku kamu
Lalu memerih sudah, serta merta menghilang tatkala kesunyian adalah pilihan yang kau dentumkan ke jantung prahara

/berkabut mata yang menyunggi harapannya di pucuk nestapa/

"Mari menjadi bosan," katamu

Pernah cinta sebagai kuntum mekar memenuhi cuping hidung dengan semerbak asmaradana
Pernah cinta menjelma isak di sudut mata sebelum jatuh ke pangkuan sebagai genang
Pernah cinta begitu sumuk menerka nerka gelora yang tersesat tak lagi punya makna

"Mari sudahi saja," pintamu

Lalu mulai membakar almanak almanak merah muda berisi perjalanan yang telah ngilu menanggung luka dukana


(Event-nya Nona Reni, Terminologi Cinta)

PUISI - SEPENGGAL KISAH RINDU

Di ikal rambutmu yang menyimpan temaram senja, adakah kerinduan sanggup kau sibakkan?

Pernah engkau datang sebagai getir ombak memecah badai rinduku yang bersembunyi di retakan karang
Sebelum pasang laut menyergap dalam gelap, mencuri sepenggal kisah kita yang tersisa

Di tepian lautmu kini aku menunggu menjadi buih, berharap mampu kujilati kerinduan yang menjejak di sela-sela kakimu

Tangsel, 26 Februari 2015


(Event Penerbit Imajinasi Sastra, Sepenggal Rindu Dalam Kotak Imajinasi)

Selasa, 07 Juni 2016

DISTIKON - PERJALANAN

Sepanjang perjalanan yang pekat
Kutasbihkan harap saat jarak menyekat

Jiwa-jiwa kerontang khianati tuannya
Dada membisu melupa syairnya

Air mata tertumpuk di ujung sajadah
Tak lagi luah saat tangan tengadah

Jalan pulang kian jauh menghitam
Langkah terhenti di sudut kelam

Rie||2015

Rabu, 27 April 2016

FLASH FICTION - MAPLE STREET 31

Nyanyian bernada ceria menyambut Heidi saat ia melewati pintu besar. Sebuah kotak hitam diselubungi tirai berwarna senada di bagian depannya, membuka perlahan. Sejumlah boneka kayu terikat di seutas tali, bergelantungan, bernyanyi dengan suara ceria di dalamnya. Heidi terpukau. Bibirnya berkomat-kamit mengikuti lagu yang tengah dimainkan.
 
Tapi ... apa itu?!
 
Heidi mendekat. Boneka di pojok kotak hitam itu berbeda. Ia terperanjat ketika benda kecil itu tiba-tiba mengangkat wajahnya.
***
 
Rumah di atas bukit cemara, bercat warna-warni dengan hiasan permen lolipop besar memenuhi permukaan dindingnya, selalu menarik perhatian Heidi. Seperti hari ini, ia berdiri di seberang jalan Maple, menatap rumah besar bernomor 31 tersebut dengan sepasang mata biru besar penuh hasrat.
Seperti apa di dalamnya? Batinnya.
 
"Madam Turquoise akan menyihir anak nakal yang ke sana, dan kau takkan pernah kembali." Suara Isabel, sahabatnya, kembali terngiang-ngiang.
"Tapi aku bukan anak nakal, takkan terjadi apapun padaku," gumam Heidi dan mantap melangkahkan kaki mungilnya menaiki bukit.
Kelinci-kelinci berwarna biru dan oranye menyambut kedatangannya. Beberapa berlarian di sela-sela kaki hingga suatu ketika membuatnya jatuh tertelungkup.
"Hei ...!" teriaknya marah, tapi seketika ia tersentak. Kelinci tadi berdiri sangat dekat dari cuping hidungnya. Muka binatang lucu itu berbercak-bercak merah dan giginya berkawat. Mata kecilnya tampak ketakutan.
Mengapa kelinci itu berwajah seperti Greg Corner?
Heidi ingat, anak nakal itu menumpahkan bekal makan siangnya minggu lalu, dan beberapa hari ini ia tak melihatnya di sekolah.
"Hei ... tunggu!" Heidi segera bangkit, mengejar kelinci tadi yang melesat cepat menuju puncak.
Saat Heidi tiba di atas, kelinci itu sudah menghilang. Samar, telinganya menangkap nyanyian mengalun dari dalam rumah. Penasaran, ia mendorong pintunya perlahan sambil menahan napas.
Kotak besar berwarna hitam menyambut Heidi. Tirai hitam di bagian depannya membuka perlahan. Beberapa boneka kayu bergelantungan, bernyanyi ceria dengan mimik wajah kaku.
Heidi ikut bernyanyi, tapi ekor matanya terpaku pada boneka di sudut kanan.
Yang itu bukan dari kayu, dan sepertinya ia menangis. Pikirnya.
"Hei, kau kenapa?!" teriak Heidi seraya mendekat. Suara nyanyian seketika senyap. Boneka itu tiba-tiba mengangkat wajahnya. Mata biru besarnya memerah penuh air mata.
"Kau nakal, masuk rumah orang tanpa izin!"
Heidi terperanjat. Boneka itu ... aku?


Rie||2015


Kamis, 31 Maret 2016

DI AMBANG BATAS

"Kath, ingat, les pianomu satu jam lagi. Jangan berpura-pura sakit perut seperti minggu lalu!"

Ibumu berkata ketus di depan pintu kamar. Bibir terpulas warna darah itu membentuk sudut tajam. Matanya menatapmu setajam belati.

"Iya, Ma." Kau bergumam mengiyakan, tak berani menatap mata ibumu walau sekadar meyakinkan, bahwa kau sungguhan sakit saat itu.

Dengan gerak lambat kau turun ke ruang bawah. Dari balkon kamar, suara kaku jari-jarimu menekan tuts piano samar terdengar. Kau sama sekali tak berbakat.

***

"Kath! Waktunya les renang! Pelatih barumu sudah menunggu di kolam! Ini sudah hampir jam 5 pagi. Jangan telat!"

Ibumu menggedor pintu kamar berkali-kali. Dari pintu ke arah balkon yang kau biarkan terbuka, aku melihatmu kian membenamkan tubuh ke dalam selimut hangat.

Dari tempatku berada, kulihat laki-laki itu berdiri di tepi kolam sambil sesekali melirik jam tangannya. Rahangnya kukuh. Dia mengangkat wajahnya tinggi-tinggi saat mengamati sekitar kolam. Raut wajahnya kaku tanpa secuil pun senyum. Sepertinya ia akan sangat keras melatihmu.

***

"Bagaimana hasil ulanganmu bisa hancur semua seperti ini! Mama sudah keluar uang banyak untuk memasukkan kamu ke bimbel bergengsi itu! Belajar apa saja kamu di sana, hah?!" Lagi-lagi hari ini ibumu meledakkan suara.

"Kathrin sudah berusaha, Ma." Kau menjawab lemah sambil menyusut air matamu yang bergulir di pipi.

"Usahamu kurang keras! Seorang keturunan Martodipuro harus mendapatkan nilai sempurna! Nilai delapan dan sembilan ini tidak ada artinya sama sekali!" Ibumu berteriak histeris sebelum membanting pintu dan meninggalkanmu sendirian.

Suara dentuman daun pintu menggetarkan kaca-kaca jendela. Gemanya pun memantul di sekujur tubuhku. Kau menggelegak dalam tangis selepas ibumu pergi. Terhuyung kau menghampiriku, meremas tubuhku kuat-kuat seolah ingin membagi kesedihan dan kemarahanmu sekaligus. Lelah menangis, kau pun bersandar padaku. Membiarkan angin kemarau menghapus habis air matamu.

***

"Kath! Mulai senin depan kau sekolah di rumah, nilai-nilaimu harus dikatrol naik. Mama sudah buat jadwal, jadi tidak alasan lupa, ketiduran, dan lain sebagainya! Tempel ini di tempat kau bisa melihatnya dengan baik!"

Ibumu meninggalkan selembar kertas di atas meja. Ia pergi secepat ia datang. Kau tak menyentuh kertas itu sama sekali, hanya terus menarikan pena dalam genggamanmu. Kertas di meja belajar melayang tertiup angin, jatuh di dekat kakiku. Aku membacanya ....

Senin
05.00 wib-07.00 wib: Les renang
07.15 wib-07.45 wib: Mandi & sarapan
08.00 wib-12.00wib: Home schooling
12.15 wib-12.45 wib: Makan siang
13.00 wib-15.00 wib: Les biola
15.15 wib-17.45 wib: Gym

Oh Tuhan, aku tak sanggup meneruskan. Itu baru hari senin. Sekilas tadi kulihat les-les apa saja yang harus kau ikuti: Matematika, Bahasa Inggris, balet, les kepribadian, Bahasa Perancis, Kimia, dan masih banyak lagi. Monster macam apa ibumu membebani otakmu dengan begitu banyak kegiatan, bahkan usiamu baru 15 tahun! Dan tak ada satu pun jadwal bersenang-senang dengan teman-temanmu? Oh, aku lupa. Kau tak punya teman.

***

"Kath, Mama harus berangkat ke Singapura mengantarkan Papa medical check up. Jangan bolos les vokal pagi ini, Mama akan terus memantaumu!"

Ibumu berkata padamu saat sarapan di meja makan tepi kolam. Ia hendak pergi, tapi masih meninggalkan taring dan matanya di rumah. Bahkan hari minggu pun harus kau habiskan dengan kegiatan yang tak kau sukai.

***

"Satu lap lagi, Kath!"

Pelatihmu berteriak dari pinggir kolam, tangannya menggenggam stop watch.

"Arrghh ... 10 menit 7 detik! Masih terlalu lama, Kath! Saya akan mengusulkan untuk menambah jadwal latihanmu!"

Kau menampar permukaan air dengan muak saat mendengar kata-kata pelatihmu. Kau keluar dari kolam, meraih jubah mandimu, dan pergi meninggalkan orang itu dengan tatapan marah.

Pelatih itu tersenyum sinis di balik punggungmu.

***

"Apa ini?! Cerita picisan! Kamu tidak akan bisa kaya dengan menulis!"

Ibumu melempar helai-helai kertas yang kau coba tunjukkan padanya. Kisah petualangan penuh misteri terbungkus ketegangan. Aku tahu karena kau pernah membacanya keras-keras di teras balkon.

"Ini dunia yang Kath cintai, Ma. Kath mohon Mama mengerti." Kau mengiba, memeluk, dan mencium kaki ibumu.

"Jangan pernah berharap! Kelak kau akan meneruskan bisnis papamu. Dan itu lebih menyejahterakan dibanding kau jadi penulis!" Kata-kata mamamu tajam bagai pedang. Kulihat matamu menyayatkan luka.

"Lalu kenapa Ma, Kath harus les renang, biola, vokal, piano? Toh, itu juga nggak akan ada gunanya di dalam bisnis papa?!"

Plaakk!

"Dasar anak tak tahu diri! Seorang Martodipuro juga harus mempunyai fisik kuat, mental baja, otak cerdas, dan pengetahuan seni yang tinggi! Keluarga kita keluarga terhormat, jangan sampai hal sepele membuat kita direndahkan orang lain! Semua yang Mama lakukan sekarang untuk kamu akan berguna pada waktunya!"

Ibumu membanting pintu di belakangnya setelah memberondongmu dengan kata-kata pahit. Dengan gemetar kau kumpulkan helai demi helai kertas yang bertebaran, mendekapnya erat di dada sambil terus terisak-isak.

***

Jam dua dini hari ....

Kau membuka pintu ke arah balkon. Sisa tangis masih membekas di wajah dan matamu yang sembab. Perlahan kau menghampiriku, sehelai kain membuhul lehermu. Jari-jemarimu gemetar saat kau ikatkan ujung kain yang lain di celah-celah tubuhku. Kau berdiri pada bibir balkon, berpegangan padaku sebelum akhirnya kau lepaskan genggaman dan melompat ke bawah.

***

Mentari pucat, embun bergerombol di dedaunan, siulan burung-burung di atas atap. Pagi yang damai. Namun mendadak kelengangan pagi ini terkoyak oleh lengking suara.

"Astagfirullaaaahh! Nyonyaaa ... Tuaaann!"

"Ada apa sih, Bi, teriak-teriak?!"

"It-ituu, Nya."

"Ya Tuhan, Kathriiinnn!"

~end~

Sumber gambar: Mbah Gugel

Selasa, 29 Maret 2016

FLASH FICTION - SEKUNTUM KAMBOJA DARI HONGKONG

Nduk, panasnya Anjas ndak mau turun. Ibu bawa dia ke rumah sakit, takut ada apa-apa.

Pesan singkat dua hari lalu itu membuyarkan konsentrasi bekerja. Aku mengutuk kecerobohanku lupa mengisi pulsa, hal yang sangat krusial bagi TKI sepertiku yang hanya bisa keluar flat saat libur, hingga harus menunggu lepai singgei [1] untuk mengetahui perkembangan Anjas.

"Ngo cut kai sin." [2] Pamitku pada majikan, lalu bergegas menuju lift dari flatku di sap kau lau, ]3] menekan tombol ground, tempat stasiun kereta listrik, Ferry Pier berada.

"Jadi kita ke Sham Shui Po?"

Kalimat pertama May, temanku, yang sudah menunggu di peron stasiun.

"Kamu sama Yanti aja ya, May. Anakku sakit, mau nelpon ke kampung. Repot juga nggak ada Aryati."

"Aku yo repot Aryati mbali Indo, wis ra nduwe konco sing dodol pulsa elektrik. [4] Kalo pulsaku abis terus kangenku kambuh sama Mas Gatot, duuh ...."

Aku meringis mendengar kata-katanya. Kami lalu saling melambai saat hendit, kereta listrik datang.

Aku menyeberang ke arah pertokoan di sepanjang Ferry Pier, membeli pulsa di salah satu tinwa bodhao, [5] lalu menekan nomor tujuan yang sudah kuhapal di luar kepala.

"Assalamualaikum. Ibu? Gimana Anjas? Masih dirawat? Maafin Ratih baru bisa nelpon, Bu."

"Ratih ...," Suara di seberang menjawab, bukan suara ibu, "ini Bulik Lani. Sing sabar yo, Nduk." [6]

Suara Bulikku bergetar, lirih, lalu terdengar isak tertahan. Apakah ....

"Anjas kenapa, Bulik?! Sakitnya parahkah?!"

"Meninggal ...."

"Ya Allah, Anjaaassss!"

"Bukan Anjas, Tih. Ibumu ... ibumu yang meninggal. Ditabrak bis waktu menyeberang jalan, sepulang dari menjaga Anjas di rumah sakit."

Tubuhku melunglai. Aku jatuh terduduk. Telepon genggam terlepas entah kemana. Ibu, wanita tegar penuh kasih yang aku cintai. Untuknya dan Anjas, aku menyeberangi lautan agar dapat memberi penghidupan yang lebih baik, sebagai wujud baktiku padanya. Tapi hari ini, aku hanya bisa memberinya sekuntum kamboja dari Hongkong ....



Catatan kaki:

[1] Hari Minggu

[2] Saya pergi keluar dulu

[3] Lantai 19

[4] Aku juga repot Aryati pulang ke Indonesia, tidak punya teman lagi yang jual pulsa elektrik

[5] Toko penjual pulsa, kartu telepon, dll

[6] Yang sabar ya, Nak

Minggu, 20 Maret 2016

FLASH FICTION - LANGIT TANPA FAJAR

"Akang kredit datang lagi, Pak. Minggu lalu kita sudah nggak bayar cicilan hape, tadi juga begitu, malu aku disemprot di depan orang banyak. Audy sama Panca juga sudah lima bulan ini nunggak SPP, kapan mau dilunasi?"

"Sabarlah, Bu, nanti Bapak cari-cari pinjaman."

"Kamu ya kok, masih nganggur aja sih, Pak? Kalau aku nggak nyambi jadi tukang cuci, sudah makan batu anak-anak kita!"

Aku menarik napas panjang, mencoba menghilangkan sesak yang mendiami liang dada. Kutinggalkan istriku yang masih mengayun si kecil.

"Mbak Anna tadi nelpon, nanti sore mau ke sini. Dia menunggu jawabanmu."

Kuseret langkah menuju teras, sungguh aku tak ingin mendengar apa pun lagi dari istriku, tidak juga tentang Anna.

Aku tidak siap!

Semoga hujan deras ini tak berubah menjadi gerimis, atau pun mereda, agar wanita itu tak perlu datang. Doaku dalam hati.

"Lempar bolanya ke Mas Abi, Im!"

"Ke Mbak aja, Im, nanti Mbak beliin es krim!"

Teriakan gegap ketiga anakku di bawah guyuran hujan, sedikit menghibur hati. Miris rasanya saat melihat Baim lebih memilih mengoper bola ke Wida, anakku nomor empat, karena iming-iming jajanan yang jarang bisa ia nikmati. Mendadak renyut di kepalaku semakin menjadi. Suasana nyenyat yang kubutuhkan saat ini, menuntun langkahku menuju kamar.

"Audy, ini buat bayar SPP kamu sama Panca."

"Bu, cantik nggak aku pakai ini?"

"Jadi kan, Bu, beliin Baim sepeda?"

Aku terbangun di keremangan saat mendengar suara gaduh anak-anak. Terhuyung-huyung aku melangkah ke luar kamar, dengan kepala yang masih berat. Pandanganku langsung tertumbuk pada setumpuk bingkisan yang sebagian sudah terbuka.

"Dari siapa itu, Bu?" tunjukku pada pakaian yang melekat di tubuh dua anakku dan uang di genggaman Audy.

"Mbak Anna tadi datang, kamu masih tidur, jadi aku yang buat keputusan."

"Fajar?!"

Seperti orang kerasukan aku berlari ke tempat buaiannya berada. Kosong! Aku berlari lagi ke ruang depan, mendapati istriku menghitung segepok uang.

"Anak kita banyak, Pak, kau sendiri tidak sanggup membiayai. Uang dari Mbak Anna ini, bisa mencukupi kehidupan kita."

"Apa?!"

"Lagi pula kasihan dia, sudah sepuluh tahun menikah belum juga dikaruniai anak."

Mendadak dunia kurasakan berputar lebih cepat, aku pun lenyap ke dalam pusaran gelap tak berujung.

Kamis, 03 Maret 2016

BUKU DUET: NYOOK KITE NGUMPUL!

Judul Buku: Nyook Kite Ngumpul!
Penulis: Rosi Ochiemuh & SH Kusuma
Jumlah Halaman: 239 hal
Dimensi: 14x21 cm
Penyunting: Ichi Kudo
Tata Letak: Ichi Kudo
Desain Sampul: Ichi Kudo
Penerbit: LovRinz Publishing
Harga: Rp 49.000,- (belum ongkir)

Kumpulan cerita NYOOK KITE NGUMPUL! mengajak kalian semua menikmati keseruan kisah-kisah di dalamnya.
Pantengin kisah Aladin bersama Bimbim dan Ucok, yang mencoba menguak isu Kolor Ijo di Kampung Duren dalam GENTAYANGAN, jangan lewatkan pula kisah mereka saat melawan sejumlah preman di SEMAKIN MAJU KE DEPAN, lalu bagaimana Aladin dan Ucok bisa berurusan dengan para pemakai narkoba? Simak ceritanya di KEHILANGAN SOFI, dan keseruan cerita lainnya.

Jangan lupa baca juga kisah Mail dan Zuki saat memburu cewek blasteran yang doyan ngedip-ngedipin mata dalam TARUHAN, lalu simak trik jitu mereka berdua saat menyelamatkan diri dari RAZIA RAMBUT, serta nikmati kesialan Mail saat mau memberi SUAPAN CINTA ke cewek gebetannya, dan masih banyak lagiii ...!

Lebih dari 50 cerita gokil dalam satu buku ini layak menjadi bacaan favorit kalian. Cocok buat para Ibu Rumah Tangga sebagai obat penghilang jenuh selain nonton drama Turki, pas buat mahasiswa yang pengen nostalgia masa remaja, dan pastinya orang kantoran yang lagi ada deadline kerjaan, dijamin pusingnya ilang baca buku ini.

Satu lagi, untuk para Jomblowers, dijamin nggak akan ngerasa kesepian lagi dan bakal terhibur abis baca bukunya. So, buruan serbuuu ...! Jangan sampai kehabisan :-D

* Untuk pemesanan bisa melalui blog ini atau inbox ke FB Rie Kusuma, Rosi Ochiemuh, dan Penerbit LovRinz.

Senin, 15 Februari 2016

FLASH FICTION - GADIS TEROWONGAN

Tiiinn ...!

Begitu kuklakson mobil, gadis kecil itu berlari membuka gerbang masuk terowongan yang menjadi pembatas antara dua desa. Sesudahnya ia menghampiriku lalu mengulurkan tangan. Seribu rupiah milikku segera berpindah ke tangannya.

"Makasih, Tuan, "bisiknya lirih, lalu kembali lagi berlari ke tempatnya semula berdiri, di muka terowongan, setelah lebih dulu memberiku setangkai mawar merah dari dalam keranjang yang dibawanya.

Aneh, mawar untuk apa?

"Harga mawar ini lebih mahal dari uang yang kuberi untukmu," kataku, turun dari mobil dan menghampirinya.

"Tak mengapa, doakan saja Bapak saya selamat," jawabnya datar, matanya tajam menyapu wajahku. Kutaksir usianya sekitar sepuluh tahun. Mantel merah usang yang dikenakannya tampak sedikit kebesaran di tubuhnya yang mungil.

"Bapakmu kenapa?"

"Mati."

Aku terlengak kaget, bukan semata-mata karena jawabannya, tapi lebih kepada ekspresi dingin gadis kecil itu saat mengucapkannya.

"Bapakmu meninggal kenapa?" tanyaku penasaran.

"Ditenggelamkan." Ia menunjuk ke arah danau di sebelah kanan jalan.

Aku kembali terlonjak. Ia tidak bilang tenggelam tapi 'ditenggelamkan'.

"Kapan?"

"Baru saja."

"Apaaa ...?!" Belum lama aku bersamanya tapi gadis ini sudah mengejutkanku berkali-kali.

"Di sebelah mana?! Siapa yang menenggelamkan?!" Aku berlari menuju tepi danau diikuti langkah kakinya yang kaku.

"Di sini?!" tanyaku lagi. Gadis itu mengangguk sekilas.

Aku berlari kembali mengambil senter dari dalam dashboard mobil, melepas mantel dan sepatu karet cepat-cepat, lalu setengah tergesa kumasuki danau. Rasa seperti dicucuki ribuan jarum langsung menyergapku.

Semoga belum terlambat.

Pikirku menggigil, menarik napas panjang bersiap menyelam.

Eeh ... apa itu?

Sudut mataku menangkap senyum ganjil di wajah gadis tadi. Selagi aku berpikir tentang arti senyumannya, satu hentakan kuat dari bawah permukaan air menarik kedua kakiku. Aku terseret masuk ke dalam air danau yang gelap dan beku.

Tangankah ini yang mencengkeramku?

Tanaman air liar membelit kaki serta tubuh. Berjuang aku membebaskan diri darinya mencoba mencapai permukaan. Kakiku menendang-nendang tak terkendali.

"Tolooonnggg ...!" teriakku lemah saat kepalaku muncul di permukaan, tanganku menggapai-gapai udara.

Haap!

Satu tangan kokoh menarikku.

"Uhuuk ... uhuukk!" Muntahan air keluar dari mulut serta hidung. Seseorang tadi telah menyeretku ke daratan. Ia pun tersengal-sengal di sebelahku.

"Gadis kecil tadi, mana?" tanyaku segera begitu telah menguasai napas.

"Tak ada gadis kecil, Tuan." Laki-laki muda itu menatapku aneh.

"Tadi dia di sini!"

"Tak ada seorang pun, Tuan. Hanya Anda. Saya melihat Anda tadi hendak bunuh diri."

"Bunuh diri?!"

Kuedarkan pandang ke seluruh penjuru mencari sosok gadis kecil tadi, hingga mataku tertumbuk pada benda yang teronggok tak jauh dari tanganku.

Mawar merah ....

Aku pun menggigil.

~TAMAT~

Sumber gambar: Mbah Gugel