Kamis, 02 Februari 2017

#FFKAMIS-MENANTI KEBERUNTUNGAN




 Photo by Google

Semua yang kukenal meragukan kejantananku, mungkin karena sampai saat ini aku belum memperoleh keturunan. Brandon, anaknya sudah lima. Lalu ada Lukas, yang sejak mengetahui kalau Maisy hamil dua minggu, semakin bongak saja.

Rico apalagi, di halaman belakang kulihat ia mengajarkan anaknya bermain bola. Sok kebapakan sekali. Padahal waktu Gaby mengandung, tak sedikit pun ia peduli. Malah ia sibuk menarik perhatian Yuka yang jelas-jelas kuincar.

 Namun, kali ini mereka tak akan meragukanku. Yuka sudah memasrahkan dirinya. Ia menjerit, berteriak, yang makin menambah nafsuku. Aku tak boleh lagi gagal.

“Meoong …!”

Kutuntaskan hasratku. Kalau beruntung, beberapa minggu lagi perut Yuka akan membuncit.

Minggu, 11 September 2016

BULAN DI ATAS LANGIT JAKARTA

Solopos, 11 September 2016



“Kau melukis apa?!”
Aku sedikit mengeraskan suara. Mungkin gadis itu tak mendengar pertanyaaanku yang pertama karena terlalu asyik dengan kegiatannya, jadi aku memutuskan mengulangi pertanyaan. Namun ternyata ia masih tetap membisu, hanya tangannya saja dengan cekatan membaur beberapa warna di atas palet, lalu ia kembali menggerak-gerakkan kuas pada udara kosong di depannya.
Ya, gadis itu melukis bidang hampa. Tak ada kanvas ataupun kayu penyangga kanvas. Yang ada hanyalah gadis itu, palet, dan kuas, berdiri di atas bangku semen di tengah taman kota yang sepi pengunjung di jam kerja. Satu pemandangan unik yang membuatku jadi penasaran dengan segala yang dilakukan gadis cantik itu. Ya, ia cantik, walau sepertinya gila. Dan aku mulai ikut-ikutan gila karena mengajaknya berbicara.
Gadis itu datang satu jam yang lalu. Seperti biasa, ia mengenakan gaun putih dan flat shoes berwarna senada. Mungkin itu warna favoritnya, karena di setiap perjumpaan kami, ia selalu mengenakan warna yang sama. Pakaiannya pun selalu berupa gaun, menjulur sampai pergelangan kaki, walau dengan model dan detail dan jenis bahan berbeda.
Waktu aku pertama kali melihatnya, ia mengenakan gaun out of shoulder dari bahan katun, memperlihatkan pundaknya yang ringkih. Hari selanjutnya, ia memakai gaun tanpa lengan dengan detail bunga-bunga kecil menyebar di bagian rok yang menggembung. Dan hari ini, ia mengenakan gaun satin berlengan panjang yang melebar di bagian ujung serupa lonceng. Sebuah tas jingga bercorak batik tergantung di bahu kanan. Ia melihat ke arahku, aku tersenyum, tapi ia cepat-cepat memalingkan wajah ke arah lain. Tapi syukurlah, ia tak menyurutkan langkah atau berbalik menjauh. Kaki-kakinya mantap menghampiri tempatku duduk di bawah pohon angsana.
 “Oh, aku tahu! Pasti laut, kan? Kau mencampur warna biru muda dan tua serta sedikit warna putih. Itu warna laut. Hmm ... atau mungkin kau melukis awan?”
Gadis itu masih tak menjawab, membuatku tampak konyol karena berbicara sendirian. Ia turun dari bangku semen tempatnya berdiri sedari tadi, lalu mengambil cat-cat baru yang berserakan di rerumputan di bawah bangkunya. Kali ini warna hitam, abu-abu, dan kembali, sedikit warna putih yang dipilih. Ia mencampur sebagian warna-warna tadi lalu kembali naik ke atas bangku yang sama.
“Aahh … bulan yang bulat sempurna di langit Jakarta. Indah sekali!” seruku setelah beberapa lama. Sebenarnya hanya menebak saja, tapi sepertinya aku benar. Gadis itu berhenti melukis, tangannya menggantung kaku di udara, lalu perlahan-lahan diturunkan. Ia  menoleh padaku dengan dahi berkerut, bibir kemerah-merahan miliknya yang sedikit basah membuka perlahan, tapi segera terkatup lagi. Ia urung bicara.
Sebagai gantinya, ia turun dari atas bangku, berjongkok memberesi peralatan lukis—botol-botol cat, kuas-kuas, pisau palet—menjejalkan semua ke dalam tas. Ia lalu tergesa-gesa melangkahkan kakinya menjauh, melewati jogging track, arena bermain anak, lalu hilang di balik pohon beringin di kelokan setapak taman.
Setidaknya sudah ada kemajuan, batinku. Setelah satu minggu lebih, akhirnya aku tahu apa yang dilukis gadis itu.
Sebenarnya bukan tanpa alasan aku menegurnya, tapi gadis itu sungguh mengingatkanku pada seseorang di masa lampau. Amelia, kekasihku, juga sangat mencintai dunia melukis. Namun ia sering kali mendebatku dengan mengatakan bahwa kegiatannya itu jauh berbeda dengan melukis.
“Jangan sebut aku pelukis, aku hanya senang menggambar!” ketusnya suatu kali. Bibir ranumnya mengerucut, membuatku gemas ingin merasakan kelembutan darinya. Tapi kekasihku sungguh sedang marah, dan melakukan hal yang kukhayalkan tadi hanya akan menambah kemarahannya.
“Sama saja, Sayang. Aku tak melihat perbedaan antara melukis dan menggambar.”
“Tentu saja beda. Aku tak memakai kanvas, kuas, easel, cat minyak, cat poster, dan jenis-jenis cat lainnya, atau benda apa pun yang digunakan mereka yang kau sebut pelukis. Aku cuma pakai ini, konte dan kertas. Dan aku hanya menggambarmu! Jelas sekali perbedaannya, bukan?”
Aku terbahak. Tanganku refleks mengacak-ngacak rambut Amelia  yang lurus sebahu lalu lekas  menarik tubuh ringkih itu  ke dalam pelukan, sebelum ia kembali marah karena merasa ditertawakan. Kukecup kening kekasihku dan meminta maaf karena ‘menuduh’nya sebagai pelukis. Salah satu hal yang kusukai dari Amelia, ia bukanlah tipe perempuan yang berlarut-larut merajuk karena berselisih paham. Dengan segera ia memaafkan dan setelahnya kembali memintaku menjadi obyek lukisannya. Ah, maksudku obyek gambarnya.
“Sayang, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” bisikku di telinga Amelia. Kekasihku menggeliat, merenggangkan pelukan. Ditengadahkannya kepala, menatap lekat ke kedalaman mataku. “Meminta apa?” tanyanya perlahan.
Aku tak langsung menjawab. Kulepaskan pelukan dan membimbingnya ke salah satu bangku taman. Setelah kami saling duduk berhadapan, baru kukatakan permohonanku. “Untuk kali ini saja, buatkan aku gambar yang lain, bukan sketsa wajahku seperti yang sudah-sudah. Aku sedikit bosan, kau tahu?” ucapku sambil mengedipkan sebelah mata. Amelia berusaha menarik tangannya dari genggamanku. Agaknya ia tak suka mendengar permintaan itu.
Dulu aku pernah mengajukan hal yang sama. Di taman ini juga. Saat itu kukatakan padanya, “Teman-teman yang main ke kosan mulai menuduhku narsis, karena memajang  gambar wajah sendiri di semua sudut kamar. Mereka tak percaya kau yang melakukannya. Ayolah, Amelia sayangku, buat saja gambar yang lain.”
“Tidak mau.” Amelia memberengut kesal. “Kau tahu, kan, aku tergila-gila padamu? Aku cuma ingin menggambar senyummu matamu kumismu cambangmu rambutmu wajahmu tubuhmu dan bukannya hal lain di dunia ini sekalipun itu jauh lebih indah. Kau mengingatkanku pada sesuatu yang selalu membuatku nyaman tiap kali memandangnya, karena itu aku selalu menggambar dirimu.”
“Oh, ya? Sesuatu apa?” tanyaku penasaran, namun kekasihku hanya diam seribu bahasa.
Aku boleh saja gagal hari itu saat memintanya menggambar obyek lain, tapi kali ini aku berkeras. Aku tahu ia tak suka dipaksa, tapi diriku pun tahu permintaan tadi bukanlah sesuatu hal yang berlebihan.
“Setidaknya cobalah dulu. Hanya satu gambar. Tidak lebih. Lalu aku tak akan meminta apa pun lagi padamu seumur hidupku.” Aku berkata tegas sambil menentang matanya, berharap ia melihat kesungguhan di sana. Raut wajah Amelia tertekuk, sepasang alis indahnya menyatu, ia tampak menimbang-nimbang. Lalu lamat-lamat ia mengangguk, mengeluarkan buku sketsa dari dalam tas, dan mulai menggambar.
Dan sampai kini kusimpan hasil goresan tangannya walau kami tak lagi bersama.

***

Lelaki itu masih ada di tempat yang sama. Aku tak suka ia di sana, tapi taman ini milik umum, tak mungkin menyuruhnya pergi. Lagi pula aku kembali ke sini memang untuk dirinya. Terus terang, senyuman ganjil lelaki itu menggangguku, juga aroma menyengat yang menguar dari tubuhnya, apalagi celetukan-celetukannya seperti tadi pagi.
 “Lukisanmu bagus. Di mana kau belajar melukis?”
“Kau memilih warna-warna yang tepat. Komposisinya sempurna.”
“Ah, itu gambar bulan yang indah.”
Semua gara-gara Mas Satrio, redaktur senior, yang mendengar percakapan antara diriku dan Romi, desainer grafis di kantor kami,  tentang laki-laki yang kulihat di Taman Langsat, taman yang dijuluki Hidden Park, karena memang letaknya yang tersembunyi di belakang Pasar Burung Barito di selatan Jakarta.
“Itu menarik, Ta, bisa kau jadikan artikel untuk rubrik ‘Taman Kota’ minggu ini. Semacam mengupas sisi lain dari keberadaan sebuah taman. Kau masih punya banyak waktu sebelum majalah kita naik cetak.”
“Mewawancarai orang gila?!” tanyaku terperanjat.
“Mengapa tidak?” Mas Satrio tersenyum simpul, sebelum kembali ke ruang kerjanya. Tinggal aku menggaruk-garuk rambut cepakku yang tak gatal, karena tak tahu bagaimana caranya mewawancarai lelaki gila.
Seorang pedagang asongan melintas, aku memanggilnya, lalu meminta sebotol minuman dingin.
“Neng wartawan, ya?” Pedagang asongan itu berbasa-basi sambil menunjuk ID Card-ku. Mungkin ia juga sudah melihat kamera yang kusandang. Aku mengangguk.
“Cari berita apaan, Neng? Di sini, mah, enggak ada yang bisa dijadiin berita,” katanya sok tahu.
“Lagi jalan-jalan aja, Mang, siapa tahu dapat berita menarik di sini.”
Pedagang asongan itu ber-ooo panjang sambil melepaskan topinya. Ia kemudian mengipas-ngipas wajah tirusnya menggunakan topi tersebut.
“Hmm … Mamang lihat nggak, laki-laki di bawah pohon itu? Bagaimana menurut Mamang, kalau dia dijadikan berita buat majalah saya?” pancingku.
“Hah?! Yang di sana?!” Pedagang asongan mengarahkan telunjuknya pada lelaki di bawah pohon angsana di kejauhan. “Dia sih, orang gila, Neng. Lihat aja cengengesan begitu. Terus tiap ada orang di dekatnya pasti ditanya, ‘lagi gambar apa? Ngelukis apa?’.”
Aku mengangguk. Itu pula yang ditanyakan lelaki itu padaku tadi pagi, padahal aku tidak sedang melukis melainkan memotret lokasi taman.
“Mamang tahu, kenapa dia jadi begitu?”
“Ya taulah, Neng. Dulu pacarnya mati di sini, ditusuk jambret yang mau ngerebut tasnya.  Perempuan itu mempertahanin mati-matian, padahal belakangan ketauan kalo dalam tasnya enggak ada barang berharga, cuma buku gambar doang. Laki-laki itu pas lagi beli minuman sama saya. Persis kayak Eneng sekarang. Makanya dia jadi stres, Neng. Gila.”
Dadaku membeludak mendengar penjelasan pedagang asongan itu. Kurogoh saku belakang celana jeans dan menyerahkan selembar uang untuk membayar minuman, tak lupa berterima kasih atas informasinya barusan. Setelah ia menghilang di antara rerimbunan bougenvil, aku bergerak ke arah lelaki di bawah pohon angsana.
Kali ini aku memerhatikan lelaki itu lebih jelas—rambut yang acak-acakan, berewok tak terurus, pakaian berkelukur tanah, membuatku jatuh iba padanya. Satu perasaan yang pagi tadi bahkan tidak ada. Tatapan lelaki itu luruh pada sketsa di pangkuannya. Perlahan aku berjongkok, ikut mengamati guratan-guratan halus yang lahir dari tangan terampil. Di sudut kanan bawah terdapat sebuah nama, Amelia.
“Bulan di atas langit Jakarta,” lirihnya. Lalu setetes air mata bergulir di pipi.

Tangsel, 30 Agustus 2016


Minggu, 24 Juli 2016

APAKAH KAU MENDENGARKU?


 Sumber gambar: Mbah Gugel


Carl mencicipi kembali Beef Bourguignon andalannya. Setelah tiga jam dimasak dengan anggur merah, daging sapi itu telah memiliki tekstur lembut seperti yang diharapkan. Ia yakin, masakannya akan segera mengembalikan selera makan Isabel yang akhir-akhir ini menghilang. Sekalian ia akan memanfaatkan malam ini untuk menyatakan cintanya pada gadis itu.
.
"Carl, apakah masih lama?!" Suara bernada tinggi terdengar dari ruang makan.
.
"Sebentar lagi, Ma chèrie!"
.
Carl mengecek ulang hasil masakannya. Ia telah mempersiapkan makan malam ala Perancis untuk Isabel. Ada Salad Nicoise untuk mengawali makan malam mereka, berisi sayuran yang ditambah irisan tuna, telur, dan mayones. Lalu tentu saja Beef Bourguignon sebagai menu utama. Ia pun sudah membekukan Creme Brulee dalam lemari es untuk pencuci mulut, tinggal nanti menaburkan gula palem di atasnya lalu dipanggang tiga menit untuk melelehkan gulanya, sebelum dihidangkan.
.
"Voila, makan malam sudah siaaapp ...!"
.
"Ooh ... sepertinya ide buruk, Carl. Bisa kau bawa pergi itu?" Isabel menutup mulut dan hidungnya saat melihat hidangan yang dibawa Carl.
.
"Kenapa?" tanya Carl bingung, "bukankah kau tadi sudah tak sabar?"
.
"Arrgh ... bawa saja, Carl!" Isabel mengibaskan tangannya kesal. Ia berjalan ke arah jendela dan menghirup udara banyak-banyak. Carl segera menyusul setelah sebelumnya meletakkan Salad Nicoise-nya ke atas meja.
.
"Ma chèrie, apakah kau sakit?" tanya Carl khawatir.
.
"Aku baik-baik saja." Isabel menjawab setelah jeda beberapa waktu. Rona wajahnya sudah kembali normal, tak lagi sepucat sebelumnya.
.
"Lalu kenapa? Kau selalu suka masakan buatanku, bukan?"
.
"Oh, maafkan aku Carl, tentu saja aku suka. Masakanmu adalah yang terbaik. Apa jadinya aku, bila tak mempunyai sahabat sebaik kau." Isabel memeluk Carl, mengelus-elus punggungnya sambil berkali-kali memohon maaf.
.
'Ah, kenapa kau hanya menganggapku sahabat?' Batin Carl.
.
"Tapi sepertinya kau muak dengan masakanku." Carl melerai pelukan Isabel.
.
"Itu karena aku hamil!" Isabel berteriak gembira, "sepertinya aku ngidam. Ini calon anakku dan Pierre. Kau masih ingat dia kan, yang aku kenalkan padamu natal kemarin? Well ... kami bertemu lagi tiga bulan lalu, dan semua terjadi begitu saja ...."
.
Isabel terus bercerita panjang lebar, tapi Carl sudah tak mau tahu. Ia kesal, kenapa harus kalah bersaing dengan seorang lelaki. Mendadak ia pun merasa mual.
.
"Uum ... Carla? Apakah kau mendengarku?"
.
.
Tangsel, 1 Juli 2016


(Menang GA-nya Mas Damar, dapat buku The Vanished Man - Jeffery Deaver)

Rabu, 20 Juli 2016




SABDA KOPI



Walaupun hanya kopi
namun getir dan hitamku
nyatanya candu
Sesesapan pertama menjadi dawam
rebahkan doa dalam gumam
Reguk kedua biarlah membara
bagi matamu yang berkaca
Pada gelas ketiga tamatlah rindu
berdebam di kelabu jiwamu
mati kutu


(Event Puisi Bebuku Publisher)

Senin, 11 Juli 2016

AYAH YANG TAK PERNAH ADA

Cover by LovRinz Publishing


Ibu adalah perempuan terkuat yang pernah aku kenal sepanjang hidupku. Bayangkan saja, dulu saat melahirkanku ke dunia, ibu harus mengalami ujian berat. Ayah pergi dari kami demi perempuan lain, padahal saat itu ibu masih terbaring lemah setelah proses persalinan yang melelahkan. Tak cukup hanya itu, ibu masih harus mencari tempat tinggal baru untuk dirinya dan juga aku, bayi yang baru saja dilahirkannya, karena ia terusir dari tempat tinggal yang lama.

Ya, memang ibu hanya menumpang saja di sana. Ia dan ayah tak punya tempat tinggal tetap, hingga harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Kadang-kadang mereka mendiami pinggir bantaran sungai, di lain kesempatan mereka menghuni lorong-lorong pasar kala malam, rumah-rumah penduduk, emperan toko, di mana pun, sebelum akhirnya harus pergi karena orang-orang yang tidak sudi rumahnya dihuni mereka.

Tak ada air mata. Sedikit pun tak kulihat anak sungai mengalir di sepasang mata tua ibu, saat menceritakan tentang kenangan pedih masa kecilku dulu. Aku yang salah. Aku yang memaksa ibu membangkitkan kisah sedih itu, karena aku ingin tahu di mana ayah. Ibu memang tak sekalipun pernah menyebut perihal lelaki itu. Mungkin hati ibu sudah terluka terlalu dalam, ditinggalkan suami demi perempuan lain di saat hamil besar dan akan melahirkan, terpaksa harus mengurus dan membesarkan aku seorang diri tanpa seorang kepala keluarga yang melindungi.

Ya, sejujurnya kami sangat butuh perlindungan seorang lelaki. Aku butuh ayah! Itulah sebabnya aku bertanya pada ibu ke mana perginya lelaki itu. Seandainya ayah ada, ibu tak akan kesakitan seperti saat ini, setelah menyelamatkan diriku dari gangguan hidung belang. Ibu sudah terlalu tua untuk melawan, tapi ia paksakan juga untuk menyerang pejantan yang ingin menggagahiku. Ibu terluka, tapi aku selamat. Setidaknya untuk saat ini, entahlah bila nanti ada pejantan lain yang mencoba mengusikku. Tanpa ayah, kami harus melindungi diri sendiri. Aku masih terlalu muda, belum terlalu tangguh melawan. Tetapi ibuku, sore tadi dalam keadaan lemah dan nyaris kalah, ia masih berusaha bangkit, menajamkan kembali kukunya, dan melompat menyerang sambil berteriak lantang, "Miaauuww ...!"

Hari ini kami selamat meski tubuh ibu penuh lika-luka, entah esok hari. Kami butuh perlindungan seorang lelaki. Aku butuh ayah.



Tangsel, 10 Juli 2016


(Event FF untuk Novelnya Elfi Ratna Sari, Seribu Kepak Sayap Patahmu)

Senin, 20 Juni 2016

JAMUR-JAMUR DI KAMAR MANDI



Sumber gambar: @r3dcarra


Beberapa pekan belakangan, Bimo kerap mengamati pertumbuhan jamur di pojok kamar mandi. Semula jamur-jamur itu hanya seukuran pentol korek, tetapi kian hari kelopak-kelopak berwarna putih kekuning-kuningan itu semakin memekar, dan sekarang sudah melebihi ukuran telapak tangannya. Tumbuhan itu bergerombol di antara lumut yang menempel di dinding bak mandi.

Bimo berjongkok, mulai memetiki seluruh jamur di sana, lalu mewadahinya dengan baskom yang memang sengaja ia bawa.

"Akhirnya ... hari ini aku akan makan enak," senyumnya senang, membawa seluruh jamurnya menuju dapur.


(Pesta Fiksi 04-nya Mbak Carolina Ratri)