Jumat, 25 Desember 2015

FLASH FICTION - WAJAH YANG LAIN

"Ingat, hutang ayahmu masih dua puluh juta! Waktumu cuma sampai besok pagi!"

Dua orang bertato di sekujur badan dan berwajah garang itu akhirnya pergi juga setelah memberikan ultimatum. Nur membantu ayahnya yang berkelukur tanah dan tampak lebam di beberapa bagian wajah. Diajaknya sang ayah masuk rumah menjauhi pandangan sinis dan cibiran dari para tetangga yang cuma menonton di luar pagar.

"Maafkan bapak, Nur." Sang ayah berbisik pilu usai menandaskan segelas air putih yang diberikan anaknya.

"Kenapa bapak nggak bilang sama Nur kalau butuh modal dagang? Kenapa harus pinjam sama Pak Danu? Dia itu lintah darat, Pak! Pinjaman lima juta saja sudah bengkak jadi sebegitu besar!"

"Bapak ngaku salah, Nur. Tapi semua tidak akan begini kalau uang bapak tidak dirampok di jalan. Bahkan uang pinjaman itu belum terpakai sama sekali." Ayah Nur menarik napas masygul. Dadanya kembali sesak bila teringat kejadian tiga bulan lalu, saat motornya dibegal sekelompok lelaki bermotor dan kendaraan serta tas berisi sejumlah uang hasil pinjamannya dibawa kabur.

Nur terdiam. Ia sadar, tak bisa sepenuhnya menyalahkan sang ayah. Kejadian itu sama sekali di luar dugaan. Masih untung ayahnya tidak terluka. Ditariknya napas lalu diembuskan kuat-kuat seolah ingin melepaskan beban yang menghimpit dada. Pekerjaannya sebagai instruktur pole dance memang cukup menjanjikan, tapi harus membayar sejumlah besar uang dalam waktu semalam? Bagaimana mungkin? Benaknya mengembara, mengingat kembali tawaran yang diajukan sahabat karibnya, Asep.

"Kerjaannya enak, gampang, tapi duitnya gede."

"Halal nggak?"

"Jiaahh ... hari gini masih nanyain begituan. Mau kagak? Kasih kabar ke gue ya, kapan pun lu siap."

Nur meraih telepon genggamnya di saku celana. Dengan mantap ditekannya satu buah nomor di daftar kontak. Ia tahu harus menjawab apa pada Asep.

***

Penonton di dalam klub bersorak gegap gempita. Dua orang wanita berpakaian minim melakukan gerakan-gerakan akrobatik pada dua buah pole dance yang terpancang di tepian panggung, sambil sesekali menggoda penonton dengan tarian erotis. Beberapa lelaki yang berada dekat dari pinggir panggung, menyelipkan berlembar-lembar uang pada cup bra dan underwear dua wanita berpenampilan menor tersebut. Atraksi mereka berlangsung selama satu jam dan sampai penampilan mereka usai, suara decak puas serta tepukan gemuruh penonton masih terdengar sampai ke ruang make up.

"Hebat ... bravo! Penampilan kalian bagus sekali! Selvi, kamu pinter cari partner. Gitu, dong!"

"Jangan muji aja, Mam, ininya mana?" Selvi menggesekkan ujung-ujung jarinya. Wanita dengan riasan menor bersuara besar, dengan bentuk rahang tegas, dan kumis samar membayang itu langsung paham. Diambilnya dua amplop dari dalam tas kecil.

"Besok datang lagi, ya. Kamu mesti tanda tangan kontrak. Masih mau nari kan? Siapa namamu tadi?" Wanita yang dipanggil Mam mengalihkan pandang ke perempuan cantik di samping Selvi.

"Nur, Mam. Nur Wahyudin."

"Ah, namamu kurang komersil. Nanti Mami Tata ganti sama yang lebih menjual. Macam si Asep ini, lebih cucoookk ... dengan nama Selvi."

Mami Tata melenggang keluar dari ruang make up meninggalkan Nur dan Asep berdua saja. Nur menatap wajah di depan cermin besar. Perlahan-lahan ia mencopot dua buah bulu mata palsu lalu menghapus riasan wajah. Terakhir kali ia menghapus gincu berwarna darah dari bibirnya. Hati kecil Nur seketika diliputi perasaan lega usai melepaskan wajahnya. Wajah wanita yang terpaksa ia pasang di wajah lelakinya demi membayar hutang sang ayah.


~end~


Sumber gambar: Mbah Gugel

Kamis, 17 Desember 2015

CERMIN - LEWAT TENGAH MALAM

"Lu nyium bau kembang kagak, Jak?"

"Iye, nyium."

"Mirip kembang kuburan gitu kan?"

"He-eh."

"Duh, bulu kuduk gue jadi merinding disko, nih." Somad meraba tengkuknya yang meremang, "baunye tambah santer aje, Jak."

"Berisik, lu! Namanye juga ngeronda! Mau bau kembang, ade maling, ketemu jurig, ya kudu kite hadepin!" Rojak nyolot, sebel sama mental tempenya Somad.

Kali ini memang giliran mereka keliling kampung, aplusan sama Udin dan Jaka yang dua jam lalu sudah melakukan gilirannya.

"Gue pan iseng, Jak. Elu mah, kalu ngomong enteng banget," jawab Somad bersungut-sungut, "e-eh ... lu denger kagak, Jak? Sekarang malah ade ringkikan kuda! Hiiih ...!"

Refleks Somad langsung memeluk Rojak, yang serta merta mendorong tubuhnya.

"Apaan sih, Mad?!" bentak Rojak sewot.

"Ka-kate emak gue, kk-kalu ade suara ring-kikan kuda, lewat tengah mm-malem, berarti ade setan keliaran," jawab Somad terbata.

"Maad ... Somad, nih gue senterin ye, biar lu tau kite ade di mane!"

Tanpa menunggu jawaban Somad, Rojak mengarahkan cahaya senter ke sebelah kanannya yang agak gelap.

"Noohh ... liat!"

"Heheh, kandang kudanye Kang Soleh, ye? Gue lupa, die juragan delman di kampung kite." Somad cengengesan malu, "lha, tapi bau kembangnye?!"

"Itu minyak wangi gue, Mad, boleh dikasih ame si Marni," jawab Rojak sambil mengulum senyum malu.

~end~


Senin, 14 Desember 2015

FLASH FICTION - WANITA BERGAUN MERAH

Aku berkeliling sekali lagi untuk memastikan tak ada pengunjung yang masih berada di area museum. Terkadang ada saja yang nakal, memanfaatkan lorong-lorong gelapnya sebagai tempat berasyik masyuk walaupun telah diingatkan oleh penjaga keamanan. Aku salah satunya.

"Heh, siapa di situ?!"

Benar saja, kulihat sekelebat tubuh berjalan melewati deretan lukisan di blok G.

"Waktu berkunjung sudah habis, Nona," tegurku setelah berhasil mengejar orang yang tadi kulihat.

Kuedarkan pandang, mungkin saja ia bersama kekasihnya, tapi sepertinya ia sendirian. Wanita itu berbalik dan seketika aku tertegun. Wajah orientalnya cantik sekali.

"Pongo ...." [1] Ia berucap lirih.

"Maaf Nona, saya tidak mengerti maksud Anda," jawabku bingung.

Ia mengulangi perkataannya, lalu berbalik dan berjalan sepanjang lorong museum.

"Nona, Anda mau ke mana?!" teriakku lantang.

Ia tak menjawab, tapi gaun merah sutranya, dengan detil bunga-bunga kecil berwarna keemasan yang melambai-lambai, seakan memintaku mengikuti. Aku pun menjajari langkahnya, hingga kami sampai di bagian belakang museum.

"Pongo emkoi." [2]

Wanita itu memperlihatkan pergelangan tangannya yang kosong, lalu menunjuk ke arah sumur tua, yang terdapat di bangunan tambahan yang terpisah dari bangunan induk.

"Ge-lang? Gelangmu jatuh ke dalam sana?"

"Hoak, am." [3]

Seulas senyum hinggap di bibir mungilnya. Sepertinya ia senang, aku paham maksudnya.

"Tunggu sebentar."

Kulongokkan kepala ke dalam sumur, mengarahkan senter yang kubawa hingga cahayanya memantul di permukaan air yang hitam.

"Besok saja kita cari, gelap sekali di dalam sini," gumamku.

Tiba-tiba, satu kesadaran menyergap otakku. Wanita muda? Tengah malam? Hawa dingin merayap di punggungku, secepat kilat aku berbalik. Wanita itu ... matanya kini hanya merupakan lubang hitam!

"Ko cosam lei ...!" [4] lengkingnya tajam, bersamaan kedua tangannya yang menyerupai cakar elang, mendorongku ke dalam sumur.

"Aaahhh ...!" jeritku panjang.

Tubuhku meluncur cepat. Tangan yang tak nampak menampar-nampar kedua pipiku.

"Woooyyy ... bangun, Ndro! Banguuunn ...!"

Aku tergeragap. Peluh membanjiri seluruh tubuhku. Mana wanita tadi? Kualihkan pandang ke seluruh penjuru.

"Lo ... li-liat cewek, yang sama gue, nggak?" tanyaku terbata.

"Cewek? Elo tuh tiduuurr ...! Barusan aja teriak-teriak, jadinya gue tabok." Dika, temanku terkekeh, "makanya, waktunya jaga jangan molor, jadi mimpi aneh-aneh."

Aku hanya terdiam tak percaya, sambil mengelus-elus pipiku yang masih terasa panas.

~end~

Catatan kaki:

[1] Tolong
[2] Tolong bantu saya
[3] Iya, benar
[4] Matilah kau

Ilustrasi gambar: www.pinterest.com

Sabtu, 12 Desember 2015

PUISI - SABDA KOPI

Ngopi,

adalah satu-satunya cara yang aku tahu
untuk membunuh rindu

Pada serbuk-serbuk getir tersesat
di lingkaran bibir, aku bertanya,
"Kapankah rinduku menjelma jadi ledakan?"

Sebagai jawaban mereka akan bergulir
menuju kerongkongan,
mengendap di sana

Ahh, aku tersedak rindu





Sabtu, 05 Desember 2015

FLASH FICTION - SNOW WHITE DAN ABANG RUJAK

"Cermin ... cermin ... siapa yang paling cantik di jagat raya?"
Untuk ke sekian kalinya sang ratu penyihir bertanya pada cermin ajaib miliknya.

"Snow White, Ratuku."

Jawaban yang tak jua berubah membuat ratu penyihir murka.

"Baiklah, kalau begitu akan kubuat ramuan untuk membunuhnya agar aku menjadi yang tercantik!" teriaknya marah.

Siang itu setelah ramuan beracunnya selesai dibuat dan disuntikkan ke dalam sebutir jambu merah, berangkatlah ratu penyihir ke hutan tempat Snow White tinggal dengan menyamar sebagai abang tukang rujak.

"Rujak, Neng, seger lho dimakan siang bentet gini," rayu penyihir.

Snow White yang sedang menjemur pakaian langsung tertarik. Jarang-jarang tukang rujak masuk hutan, biasanya hanya anak-anak sekolah yang mencari jalan pintas menuju sekolah mereka.

"Abang nyasar, ya?" selidik Snow White.

"Enggak tuh, emang sengaja masuk hutan."

"Abang kenapa jualnya rujak?"

"Abang bisanya dagang ini. Emang kenapa, Neng?" tanya penyihir heran.

"Saran saya sih, lain kali kalau masuk hutan lagi, mending abang jualan gado-gado, pecel, atau ketoprak aja."

"Lha ... emangnya kenapa sih, Neng?" Ratu penyihir tambah penasaran, lupa sudah ia akan tujuannya untuk membunuh Snow White.

"Tuuh ... emangnya Abang nggak bisa baca ...?!" Snow White mengarahkan telunjuknya pada plang besar di belakangnya.

Ratu penyihir yang kurang awas penglihatannya memicingkan mata dan membaca dengan keras kata-kata yang tertulis di plang tersebut.

"SNOW WHITE RUJAK & JUS ... menjual aneka macam rujak dan jus buah."

Gubrak! Ratu penyihir pun pingsan dengan sukses.

~The End~

Mau baca Flash Fiction lainnya yang lebih seru? Dapatkan bukunya segera 'Segenggam Air Bah di Atas Loteng' di Penerbit Lovrinz.

Jumat, 04 Desember 2015

PADA PEJAMMU

pada pejammu yang paling rapat, saat kau harap suara-suara dari atas gunung berhenti berkelakar, ternyata gumaman mereka pindah ke atas ranjang. bibir sepimu bergumul pada suara di sudut bantal.

"biar kutikam sunyimu, lelaki," bisiknya penuh getar.

matamu kini menghunus! sejurus suara-suara lain berterbangan keluar. hening membius. tinggal kau dan suara milik si perempuan.

"belatimu tak akan sanggup membunuh apa yang sudah mati, perempuan."

matamu kembali pejam. suara perempuan menghilang, tak lagi mengusikmu.