Damita menarik napas. Di tangannya tergenggam sapu tangan biru muda bermotif bunga. Sekelebat wajah kanak tiba-tiba terbayang begitu saja di depannya bagai sebuah potongan fragmen.
"Aku melihatnya. Gadis kecil berkepang, memakai gaun berenda biru. Ia sedang menikmati lolipopnya di bangku taman bermain. Ada perempuan bersamanya."
"Bagaimana ciri-cirinya?" Sebuah suara menginterupsi. Damita mengernyitkan dahi.
"Rambut keriting sebahu. Wajah bulat ... kulit sawo matang. Memakai baju terusan putih. Dia berbicara dengan laki-laki berkepala botak. Ada tato naga di lengan kanan."
"Itu susternya. Apa yang kamu tahu dari benda ini?" Si lelaki bersuara berat menyodorkan sehelai gaun berbercak darah. Damita menyentuh benda itu, tapi seketika menarik kembali tangannya.
"Ada apa? Kau melihat apa?! Suara si lelaki terdengar mendesak. Mau tidak mau, Damita kembali mengulurkan tangannya.
"Gadis itu di sana. Tangan dan kakinya terikat. Ia ketakutan! 'Mommy ... mommy, jangaaann ...!', begitu tangisnya." Damita mengisak.
"Ayo, teruskan. Kau melihat lelaki bertato naga?"
Damita menarik napas panjang, diremasnya gaun itu dengan tangan bergetar. Semua kembali terpampang jelas. Gadis kecil. Ruang bawah tanah. Jerit tangis. Sebilah belati. Cipratan darah di wajah pelaku.
"Pak, saya butuh rihat sejenak." Damita menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha mengenyahkan wajah barusan.
"Oke, saya kasih waktu satu jam!" Lelaki bersuara berat mengangguk, menyilakan Damita keluar ruangan.
"Paakkk ... bagaimana? Ada kabar tentang pembunuh anak saya?!"
Seorang wanita berpenampilan glamor menabrak Damita di depan pintu. Tubuh mungilnya langsung terjerembap. Si wanita hanya melirik sekilas, lalu tanpa merasa bersalah kembali memberondong lelaki berseragam—yang tadi bersama Damita—dengan pertanyaan.
"Maafkan istri saya, dia begitu terpukul dengan kematian putri kami." Seorang pria membantu Damita berdiri. Wajahnya murung, lingkaran hitam tampak membayang di bawah mata.
"Tidak apa-apa." Damita bergumam sambil menepuk-nepuk bagian celananya yang kotor.
"Cecil memang cuma anak tiri, Pak, tapi kami begitu dekat. Saya merindukannya setiap waktu. Terkadang saya seperti mendengar suaranya memanggil 'Mommy' ...."
Suara ocehan si wanita terhenti berganti ledakan tangis. Sang suami bergegas menghampiri, berusaha menenangkan. Tersengguk-sengguk istrinya terduduk di kursi yang semula ditempati Damita. Saat itulah mata mereka bertabrakan. Damita tersentak.
Mata dinginnya? Seraut wajah tadi? Mendadak suara Cecil kecil terngiang-ngiang di telinga Damita, 'Mommy ... mommy ... jangaaaan!'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar