“Kau melukis apa?!”
Aku sedikit mengeraskan
suara. Mungkin gadis itu tak mendengar pertanyaaanku yang pertama karena
terlalu asyik dengan kegiatannya, jadi aku memutuskan mengulangi pertanyaan.
Namun ternyata ia masih tetap membisu, hanya tangannya saja dengan cekatan
membaur beberapa warna di atas palet, lalu ia kembali menggerak-gerakkan kuas
pada udara kosong di depannya.
Ya, gadis itu melukis
bidang hampa. Tak ada kanvas ataupun kayu penyangga kanvas. Yang ada hanyalah
gadis itu, palet, dan kuas, berdiri di atas bangku semen di tengah taman kota
yang sepi pengunjung di jam kerja. Satu pemandangan unik yang membuatku jadi
penasaran dengan segala yang dilakukan gadis cantik itu. Ya, ia cantik, walau
sepertinya gila. Dan aku mulai ikut-ikutan gila karena mengajaknya berbicara.
Gadis itu datang satu
jam yang lalu. Seperti biasa, ia mengenakan gaun putih dan flat shoes berwarna senada. Mungkin itu warna favoritnya, karena
di setiap perjumpaan kami, ia selalu mengenakan warna yang sama. Pakaiannya pun
selalu berupa gaun, menjulur sampai pergelangan kaki, walau dengan model dan
detail dan jenis bahan berbeda.
Waktu aku pertama kali
melihatnya, ia mengenakan gaun out of
shoulder dari bahan katun, memperlihatkan pundaknya yang ringkih. Hari
selanjutnya, ia memakai gaun tanpa lengan dengan detail bunga-bunga kecil
menyebar di bagian rok yang menggembung. Dan hari ini, ia mengenakan gaun satin
berlengan panjang yang melebar di bagian ujung serupa lonceng. Sebuah tas jingga
bercorak batik tergantung di bahu kanan. Ia melihat ke arahku, aku tersenyum,
tapi ia cepat-cepat memalingkan wajah ke arah lain. Tapi syukurlah, ia tak
menyurutkan langkah atau berbalik menjauh. Kaki-kakinya mantap menghampiri
tempatku duduk di bawah pohon angsana.
“Oh, aku tahu! Pasti laut, kan? Kau mencampur
warna biru muda dan tua serta sedikit warna putih. Itu warna laut. Hmm ... atau
mungkin kau melukis awan?”
Gadis itu masih tak
menjawab, membuatku tampak konyol karena berbicara sendirian. Ia turun dari
bangku semen tempatnya berdiri sedari tadi, lalu mengambil cat-cat baru yang
berserakan di rerumputan di bawah bangkunya. Kali ini warna hitam, abu-abu, dan
kembali, sedikit warna putih yang dipilih. Ia mencampur sebagian warna-warna
tadi lalu kembali naik ke atas bangku yang sama.
“Aahh … bulan yang
bulat sempurna di langit Jakarta. Indah sekali!” seruku setelah beberapa lama. Sebenarnya
hanya menebak saja, tapi sepertinya aku benar. Gadis itu berhenti melukis,
tangannya menggantung kaku di udara, lalu perlahan-lahan diturunkan. Ia menoleh padaku dengan dahi berkerut, bibir
kemerah-merahan miliknya yang sedikit basah membuka perlahan, tapi segera
terkatup lagi. Ia urung bicara.
Sebagai gantinya, ia turun
dari atas bangku, berjongkok memberesi peralatan lukis—botol-botol cat,
kuas-kuas, pisau palet—menjejalkan semua ke dalam tas. Ia lalu tergesa-gesa
melangkahkan kakinya menjauh, melewati jogging
track, arena bermain anak, lalu hilang di balik pohon beringin di kelokan
setapak taman.
Setidaknya
sudah ada kemajuan, batinku. Setelah satu minggu lebih,
akhirnya aku tahu apa yang dilukis gadis itu.
Sebenarnya bukan tanpa
alasan aku menegurnya, tapi gadis itu sungguh mengingatkanku pada seseorang di
masa lampau. Amelia, kekasihku, juga sangat mencintai dunia melukis. Namun ia
sering kali mendebatku dengan mengatakan bahwa kegiatannya itu jauh berbeda
dengan melukis.
“Jangan sebut aku
pelukis, aku hanya senang menggambar!” ketusnya suatu kali. Bibir ranumnya
mengerucut, membuatku gemas ingin merasakan kelembutan darinya. Tapi kekasihku
sungguh sedang marah, dan melakukan hal yang kukhayalkan tadi hanya akan
menambah kemarahannya.
“Sama saja, Sayang. Aku
tak melihat perbedaan antara melukis dan menggambar.”
“Tentu saja beda. Aku
tak memakai kanvas, kuas, easel, cat minyak, cat poster, dan jenis-jenis cat
lainnya, atau benda apa pun yang digunakan mereka yang kau sebut pelukis. Aku
cuma pakai ini, konte dan kertas. Dan aku hanya menggambarmu! Jelas sekali
perbedaannya, bukan?”
Aku terbahak. Tanganku
refleks mengacak-ngacak rambut Amelia
yang lurus sebahu lalu lekas menarik
tubuh ringkih itu ke dalam pelukan, sebelum
ia kembali marah karena merasa ditertawakan. Kukecup kening kekasihku dan
meminta maaf karena ‘menuduh’nya sebagai pelukis. Salah satu hal yang kusukai
dari Amelia, ia bukanlah tipe perempuan yang berlarut-larut merajuk karena
berselisih paham. Dengan segera ia memaafkan dan setelahnya kembali memintaku
menjadi obyek lukisannya. Ah, maksudku obyek gambarnya.
“Sayang, bolehkah aku
meminta sesuatu padamu?” bisikku di telinga Amelia. Kekasihku menggeliat, merenggangkan
pelukan. Ditengadahkannya kepala, menatap lekat ke kedalaman mataku. “Meminta
apa?” tanyanya perlahan.
Aku tak langsung
menjawab. Kulepaskan pelukan dan membimbingnya ke salah satu bangku taman.
Setelah kami saling duduk berhadapan, baru kukatakan permohonanku. “Untuk kali
ini saja, buatkan aku gambar yang lain, bukan sketsa wajahku seperti yang
sudah-sudah. Aku sedikit bosan, kau tahu?” ucapku sambil mengedipkan sebelah
mata. Amelia berusaha menarik tangannya dari genggamanku. Agaknya ia tak suka
mendengar permintaan itu.
Dulu aku pernah mengajukan
hal yang sama. Di taman ini juga. Saat itu kukatakan padanya, “Teman-teman yang
main ke kosan mulai menuduhku narsis, karena memajang gambar wajah sendiri di semua sudut kamar.
Mereka tak percaya kau yang melakukannya. Ayolah, Amelia sayangku, buat saja
gambar yang lain.”
“Tidak mau.” Amelia
memberengut kesal. “Kau tahu, kan, aku tergila-gila padamu? Aku cuma ingin
menggambar senyummu matamu kumismu cambangmu rambutmu wajahmu tubuhmu dan
bukannya hal lain di dunia ini sekalipun itu jauh lebih indah. Kau mengingatkanku
pada sesuatu yang selalu membuatku nyaman tiap kali memandangnya, karena itu
aku selalu menggambar dirimu.”
“Oh, ya? Sesuatu apa?”
tanyaku penasaran, namun kekasihku hanya diam seribu bahasa.
Aku boleh saja gagal
hari itu saat memintanya menggambar obyek lain, tapi kali ini aku berkeras. Aku
tahu ia tak suka dipaksa, tapi diriku pun tahu permintaan tadi bukanlah sesuatu
hal yang berlebihan.
“Setidaknya cobalah
dulu. Hanya satu gambar. Tidak lebih. Lalu aku tak akan meminta apa pun lagi
padamu seumur hidupku.” Aku berkata tegas sambil menentang matanya, berharap ia
melihat kesungguhan di sana. Raut wajah Amelia tertekuk, sepasang alis indahnya
menyatu, ia tampak menimbang-nimbang. Lalu lamat-lamat ia mengangguk, mengeluarkan
buku sketsa dari dalam tas, dan mulai menggambar.
Dan sampai kini kusimpan
hasil goresan tangannya walau kami tak lagi bersama.
***
Lelaki itu masih ada di tempat yang
sama. Aku tak suka ia di sana, tapi taman ini milik umum, tak mungkin menyuruhnya
pergi. Lagi pula aku kembali ke sini memang untuk dirinya. Terus terang, senyuman
ganjil lelaki itu menggangguku, juga aroma menyengat yang menguar dari
tubuhnya, apalagi celetukan-celetukannya seperti tadi pagi.
“Lukisanmu bagus. Di mana kau belajar
melukis?”
“Kau memilih
warna-warna yang tepat. Komposisinya sempurna.”
“Ah, itu gambar bulan
yang indah.”
Semua gara-gara Mas
Satrio, redaktur senior, yang mendengar percakapan antara diriku dan Romi,
desainer grafis di kantor kami, tentang
laki-laki yang kulihat di Taman Langsat, taman yang dijuluki Hidden Park, karena memang letaknya yang
tersembunyi di belakang Pasar Burung Barito di selatan Jakarta.
“Itu menarik, Ta, bisa
kau jadikan artikel untuk rubrik ‘Taman Kota’ minggu ini. Semacam mengupas sisi
lain dari keberadaan sebuah taman. Kau masih punya banyak waktu sebelum majalah
kita naik cetak.”
“Mewawancarai orang
gila?!” tanyaku terperanjat.
“Mengapa tidak?” Mas
Satrio tersenyum simpul, sebelum kembali ke ruang kerjanya. Tinggal aku menggaruk-garuk
rambut cepakku yang tak gatal, karena tak tahu bagaimana caranya mewawancarai lelaki
gila.
Seorang pedagang
asongan melintas, aku memanggilnya, lalu meminta sebotol minuman dingin.
“Neng wartawan, ya?”
Pedagang asongan itu berbasa-basi sambil menunjuk ID Card-ku. Mungkin ia juga sudah melihat kamera yang kusandang.
Aku mengangguk.
“Cari berita apaan,
Neng? Di sini, mah, enggak ada yang bisa dijadiin berita,” katanya sok tahu.
“Lagi jalan-jalan aja,
Mang, siapa tahu dapat berita menarik di sini.”
Pedagang asongan itu ber-ooo
panjang sambil melepaskan topinya. Ia kemudian mengipas-ngipas wajah tirusnya
menggunakan topi tersebut.
“Hmm … Mamang lihat
nggak, laki-laki di bawah pohon itu? Bagaimana menurut Mamang, kalau dia dijadikan
berita buat majalah saya?” pancingku.
“Hah?! Yang di sana?!” Pedagang
asongan mengarahkan telunjuknya pada lelaki di bawah pohon angsana di kejauhan.
“Dia sih, orang gila, Neng. Lihat aja cengengesan begitu. Terus tiap ada orang
di dekatnya pasti ditanya, ‘lagi gambar apa? Ngelukis apa?’.”
Aku mengangguk. Itu
pula yang ditanyakan lelaki itu padaku tadi pagi, padahal aku tidak sedang
melukis melainkan memotret lokasi taman.
“Mamang tahu, kenapa dia
jadi begitu?”
“Ya taulah, Neng. Dulu
pacarnya mati di sini, ditusuk jambret yang mau ngerebut tasnya. Perempuan itu mempertahanin mati-matian,
padahal belakangan ketauan kalo dalam tasnya enggak ada barang berharga, cuma
buku gambar doang. Laki-laki itu pas lagi beli minuman sama saya. Persis kayak
Eneng sekarang. Makanya dia jadi stres, Neng. Gila.”
Dadaku membeludak
mendengar penjelasan pedagang asongan itu. Kurogoh saku belakang celana jeans
dan menyerahkan selembar uang untuk membayar minuman, tak lupa berterima kasih atas
informasinya barusan. Setelah ia menghilang di antara rerimbunan bougenvil, aku
bergerak ke arah lelaki di bawah pohon angsana.
Kali ini aku
memerhatikan lelaki itu lebih jelas—rambut yang acak-acakan, berewok tak
terurus, pakaian berkelukur tanah, membuatku jatuh iba padanya. Satu perasaan
yang pagi tadi bahkan tidak ada. Tatapan lelaki itu luruh pada sketsa di
pangkuannya. Perlahan aku berjongkok, ikut mengamati guratan-guratan halus yang
lahir dari tangan terampil. Di sudut kanan bawah terdapat sebuah nama, Amelia.
“Bulan di atas langit
Jakarta,” lirihnya. Lalu setetes air mata bergulir di pipi.
Tangsel, 30 Agustus 2016