Senin, 31 Agustus 2015

Sketsa Jingga

MENANTI SENJA

Warna kesumba memenuhi permukaan langit. Senja merah saga, demikian kekasihku menyebutnya, menyerbu sepasang netraku dengan kehangatan yang selalu dibawanya saat bertandang. Senja yang selalu mengantarkan matahari pulang ke pelukan danau kala petang terhidang.

Sepasang kekasih seharusnya tak menyia-nyiakan senja ini, tapi pasangan di depanku seolah tak peduli. Sepertinya mereka datang memang bukan untuk menyimak senja sepertiku. Mereka hanya duduk-duduk, saling tatap, saling membelai wajah, saling berkelakar hingga salah satu di antaranya akan tergelak kepayahan. Si gadis, binar matanya mengingatkan pada binar yang pernah kumiliki. Dulu. Saat jarak belum memisahkan aku dan dirinya.

"Apakah ini senja terakhir yang akan kita nikmati bersama?" tanyaku saat itu sambil mengerjapkan mata berkali, berharap laut yang tergenang di sudut-sudutnya tidak tertumpah ke pangkuan.

"Tentu tidak, Sayang. Kita masih akan selalu menyimaknya berdua," bisik kekasihku, sambil jemarinya merapikan anak-anak rambut yang berlarian di keningku.

"Bagaimana caranya?" Mataku menuntut jawaban.

"Pergilah setiap petang ke danau ini seperti yang biasa kita lakukan. Saat senja meluruhkan matahari ke permukaan danau, aku pun akan menyimaknya dari kotaku. Di situ kau akan pahami, kita menikmati senja bersama."

Lalu kami tersenyum, binar mataku kembali lagi. Ia lalu merengkuhku, membiarkan aku mendengar irama jantungnya, sebagai degup di dadaku.

***

Perpisahan itu pun tiba. Saat mutasi jabatan memaksa kekasihku pindah ke lain kota nun jauh di sana, membakar kota lain dalam hatiku dengan kepergiannya.

"Sebesar apa kau mencintaiku, Sayang?" tanyanya di ujung keberangkatan.

"Seperti kuku di ujung jemari. Sedikit ia tumbuh, tapi tak habis-habis," jawabku, di antara hiruk pikuk manusia di stasiun kota, "dan kau, sebesar apa cintamu?"

"Besar ... sangat besar. Bahkan bagian terbesarnya telah kutitipkan padamu. Maukah kau menjaganya untukku, Sayang?"

Kau menatap dalam-dalam saat aku mengiyakan, seolah mencari kesungguhan di mataku. Dipeluknya aku kembali, terakhir kali, saat peluit keberangkatan mengudara.

"Apakah hatimu tetap hanya menjadi milikku, saat kita jauh?" bisikku di antara isak yang membasah di seluas bahu.

"Aku sudah tak punya hati, sejak aku mencintaimu, Rie," lirihnya lekat, hangat, di cuping telinga.

Aku mendesah, pada kenangan yang menyergapku baru saja. Pada hangat napasnya yang masih kerap kurasakan, di saat kerinduan yang terbentang jarak membunuhku dalam diam.

Sepasang kekasih di depanku beranjak pergi. Tangan mereka bergenggaman, si gadis menyandarkan kepalanya di bahu si pria sepanjang langkah mereka menjauhi danau.

Pandangku beralih, dari sepasang kekasih tadi, ke kartu berukir huruf-huruf emas di pangkuanku. Kueja nama yang tertera di sana dalam hati.

Menikah, Lembayung Kasih dan Senja Kala.

Kususuri huruf-huruf timbul yang mengukir nama mereka dengan jemari, merasakan lagi tiap nyeri yang kembali datang. Pada senjaku yang pergi dan tak kembali, saat aku masih dengan setia menanti senja merah saga.

"Senja sudah memudar, tapi hangatnya masih terasa sampai dada, bukan?"

Suara riang gadis muda di sampingku membuyarkan lamunan. Kulipat kartu undangan yang melusuh di tangan, menyimpannya baik-baik ke dalam tas kecil yang kubawa.

"Sudah siap kembali?" tanyanya.

Aku menatap sekali lagi danau di hadapanku sebelum akhirnya memberi gadis itu anggukan kecil.

"Mari kubantu, Nek." Katanya lagi, lalu mendorong kursi rodaku menuju panti.

Senja di belakangku menghilang berganti gulita yang merayap perlahan. Kelam ... sekelam kenanganku menanti Senjaku kembali.

~the end~