Jumat, 27 November 2015

CERPEN RELIGI - LABIRIN CINTA IS

Johannes Andrews, itulah nama laki-laki yang aku cintai dan mencintaiku. Tiga tahun sudah kami merajut kasih dan selama itu pula aku menutupi hubunganku dengannya dari keluarga, karena ada hal besar yang menghalangi hubungan kami. Tapi seperti kata pepatah, sepintar apapun menyimpan bangkai baunya toh akan tercium juga, dan saat berita tentang hubunganku dengan Jo akhirnya terendus keluarga, itulah awal dari keretakanku dengannya.

"Kau gila, Is! Kau mau mengakhiri hubungan kita hanya demi menuruti kemauan orangtuamu?! Pikir panjang lagi, Is!" Urat-urat di kening Jo bertonjolan, rahangnya mengatup kuat-kuat menahan dorongan emosi yang begitu besar.

"Kamu harus mengerti posisiku, Jo. Di mata agamaku hubungan kita ini tidak mungkin, dan papaku, sekarang beliau sedang ...."

"Kamu sudah tahu konsekuensinya tiga tahun yang lalu, jadi jangan kasih argumen basi kepadaku! Aku nggak mau kita putus!" potong Jo cepat, dan sebelum aku sempat menjelaskan apapun lagi, Jo sudah pergi meninggalkan aku.

Tinggallah aku mematung sendiri dengan berjuta perasaan berkecamuk di benak. Peristiwa yang menimpa papa minggu lalu tiba-tiba terekam kembali di ingatan ....

"Papa sudah tahu semua," desis papa geram, tahu-tahu saja beliau sudah berdiri di depan pintu kamar saat aku melipat sajadah usai menunaikan salat Isya, tak dapat lagi kututupi kekagetanku, dan kusadari mukaku memerah menahan malu, "jauhi Johannes, kamu sudah bikin hancur hati orangtua, bertobatlah segera karena kau pun tahu agama kita melarang hubungan yang kamu lakukan!" bentak papa, kerut-merut di pelipisnya bergerak-gerak menahan luapan amarah.

"Pah, saya ...."

"Papa belum selesai!" Gelegar suara papa membungkam mulutku seketika, "Papa sudah mengatur supaya minggu depan kamu bisa berta'aruf [1] dengan Ken. Dia anak baik, baru selesai mondok dari pesantren ternama, dan yang terpenting bersamanya kamu bisa memperbaiki akhlakmu yang rusak!" tandas papa cepat.

"Pah, saya nggak bisa! Saya mencintai Jo, Pah," kataku dengan suara bergetar.

Plaakk!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi. Darah mengalir dari sudut bibirku yang pecah.

"Ka-kauu ... menji ... jikkan! Berani melawan orangtua haah ...?!" Tangan papa yang sudah bersiap menamparku lagi terhenti di udara, tangan kirinya meremas bagian dada sedangkan air mukanya mengernyit kesakitan. Keringat dinginnya mengucur deras dan sebelum mampu kusanggah, tubuh papa meluncur jatuh ke lantai.

"Papaaa!" Teriakanku pecah memenuhi udara bersamaan tubuhku memeluk orangtua yang sangat aku kasihi.

Tanpa terasa bulir air jatuh di sudut mata dan segera kuseka dengan punggung tangan. Selalu begitu, selalu ada haru tiap aku mengingat kejadian yang membuat papa kini tergolek di rumah sakit, dan semuanya karena aku! Segera kustarter motor meninggalkan pelataran parkir mall tempatku tadi bertemu dengan Jo dengan pikiran yang kian kalut.

***

Pulang kerja seperti biasa aku mampir ke rumah sakit. Ada nyeri yang amat sangat, saat aku hanya mampu melihat papa dari balik kaca pintu ruang perawatan. Mama melarangku masuk, karena takut akan mempengaruhi kondisi papa yang mulai stabil. Tadi aku bertemu dengan Om Angga, dokter keluarga yang menangani papa. Penuturannya padaku kembali menjejali otakku dengan pikiran buruk.

"Is, papamu sudah pernah anfal [2] sebelumnya dan yang kedua ini jauh lebih parah. Sekali lagi papamu mendapat pukulan sehebat ini, nyawa papamu bisa tak tertolong. Om harap, kamu dan anggota keluarga lainnya bisa menjaga perasaan papamu, jangan sampai membebaninya dengan pikiran berat." Om Angga menatapku memohon pengertian.

Aku tak kuasa menjawab apa pun hingga akhirnya hanya mengangguk lemah. Seolah-olah aku memasuki labirin waktu dan tak bisa tentukan arah tujuan, hingga terjebak aku di dalamnya.

***

Danau belakang kampusku dulu, sore ini tidak begitu ramai. Di sinilah Jo pernah menyatakan perasaannya. Setelah perang batin yang bergolak cukup lama, akhirnya aku tiba pada satu keputusan.

"Is ...," Sebuah tepukan ringan mampir di bahuku, "bagaimana papamu?" tanya Jo, seraya menjatuhkan tubuhnya yang kekar di rerumputan di sampingku. Sepasang mata elang dengan barisan alis tebalnya menatapku khawatir.

"Buruk, tapi aku memintamu datang bukan untuk membicarakan tentang papa, Jo, tapi kita," kataku tajam. Ada getir terasa saat mengucapkannya, tapi aku tidak boleh mundur lagi. Inilah saatnya!

"Aku akan pindah agama, Is, kalau itu masalahnya. Demi kamu ... demi kita," ucap Jo tiba-tiba membuatku melengak kaget. Apa maksudnya?

"Tidak akan mengubah keadaan, Jo! Kau tahu ada hal yang lebih besar dari itu! Lagipula aku tak ingin kau pindah agama hanya karena aku, bukan karena dirimu yang menginginkannya!" sentakku pahit.

"Aku mencintaimu, Is, aku akan berkorban apa pun untukmu!"

Teriakan Jo menarik perhatian segerombolan mahasiswa yang lewat di dekat kami. Beberapa di antaranya tertawa tertahan, beberapa lainnya memandang sinis, tapi Jo tampak tak peduli.

"Pelankan suaramu, Jo," bisikku dengan tatap khawatir.

"Kenapa? Kamu malu?! Kamu malu punya pacar aku?!" teriaknya lagi lebih keras dari sebelumnya. Jo sudah berdiri di depanku kini dengan mata berapi-api.

"Aku mau kita putus, Jo. Aku akan menyalahkan diriku seumur hidup kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi pada papa," kataku cepat, dan secepat itu pula aku membuang pandang dari matanya sebelum kulihat api itu lagi.

"Kamu menyerah, Is? Kamu mau mengorbankan hidup dan kebahagiaanmu sendiri?!"

"Iya ...," anggukku lemah.

"Lihat aku, Is! Lihat aku dan jawab kalau memang itu maumu!" Dicengkeramnya kedua bahuku, dipaksanya agar menatap matanya.

"Iya! Aku mau menyudahi hubungan kita dan itu kemauanku, keputusanku!" Kutentang matanya kuat-kuat dan seketika aku tertegun. Bukan lagi api yang kulihat di sana, tapi luka ... mata yang selalu kukagumi itu menyayatkan luka, dan tak dapat kutarik kembali kata-kataku untuk menghapus luka itu.

"Baiklah ... selamat tinggal, Is," bisik Jo lirih setelah beberapa lama.

Aku terpaku. Detik berikutnya hanya kulihat siluet punggungnya, menjauh bersama senja yang luruh ke permukaan danau. Labirin cinta penuh liku yang kujalani bersamanya ternyata berakhir di sini. Seperti ini.

***

"Pah ...," bisikku di telinganya, "saya sudah turuti permintaanmu. Saya pun ingin bertobat, Pah. Dosa saya begitu besar, tapi
bukankah Allah menerima taubat seorang hamba, selama nyawanya belum sampai di. kerongkongan, Pah." [3] Tangisku pecah tak tertahankan lagi, di sampingku mama ikut terisak pilu.

"Ismail  ... anakku," Suara papa terbata-bata, "alhamdulillah, Allah telah memberimu hidayah."

Kulihat air mata menetes di pipi papa. Bertiga kami hanyut dalam keharuan di ruang kamar rumah sakit.

Telah kuputuskan untuk berta'aruf dengan gadis bernama Ken Lila Zuraida. Nama yang cantik, secantik parasnya yang diperlihatkan mama lewat selembar foto. Tak ada getar saat melihatnya, tidak seperti saatku bersama Jo. Namun aku ingin meraih kembali cinta-Nya dan menjadi lelaki sejati seperti harapan orangtuaku.

~selesai~

Ket:

[1] Perkenalan atau proses saling mengenal antara laki-laki dan perempuan sebelum menikah yang dalam prosesnya selalu dimediasi oleh perwakilan dari kedua belah pihak (pimpinan, guru ngaji, atau juga orangtua).
[2] Serangan jantung.
[3] HR. At Tirmidzi.







Jumat, 20 November 2015

ARSENIK

"Paakk ... buka pintunya, Paakk! Jangan lakukan ituu ...! Bukaaa!"

Suara pintu dihujani pukulan dan benturan bercampur lengking tangis wanita, merobek langit-langit kamar. Menginfeksi ruang seluas 2x3 meter persegi, menghantam liang-liang telinga, berdentam di antara derit kaki ranjang, tapi semua kegaduhan barusan sedikit pun tak menyurutkan niat lelaki 40-an tahun itu untuk terus melenguh dan mengembik di atas polos tubuh seorang gadis belia.

"Aaahh ...!"

Lelaki bertubuh tambun itu bahkan tak malu-malu berteriak usai hasratnya tertuntaskan. Masih dengan napas tersengal ia berguling ke samping tubuh si gadis, mendesah nikmat, dan menyeringai puas. Sebentar kemudian suara dengkurannya mendominasi segala bentuk suara.

Si gadis belia yang berbaring di sebelahnya, masih sama seperti setengah jam yang lalu. Tetap diam ... kaku ... tak bergeming, bagai seonggok kayu api terguyur hujan semalaman hingga tak sanggup menyala. Matanya tak berkesip, hanya memandang ke satu titik hampa di langit-langit kamar.

Suara wanita di balik pintu kembali terdengar. Rintihnya menyayat, sisakan gema di kaca-kaca jendela.

"Paakk ... tolong jangan lakukan, Paakk! Dia anakmuuu ...!"

THE BEGINNING ...

Kamis, 19 November 2015

ENJAMBEMEN - SEKODI SAJAK KOPI UNTUKMU, LELAKI

Terenduskah
wangi rinduku
di cangkir kopimu,
kekasih?
Di puncak malam ini
reguklah
segala kesumatku
yang bergumpal
dalam jelaga
kopimu.
December 18 at 23:32 pm
Jangan jatuhkan
air mata
saat rindu
membusuk
di gelas kopimu, Rie.
Telah kurapalkan
sebaris
puisi
dalam cangkir
kopinya,
niscaya segarlah
kembali
ingatan tentangmu
yang masih di sini
menanti.
December 18 at 20:03 pm
Sudahkah setan enyah
dari batang otakmu,
lelaki?
Berhari hari
mereka bergentayangan
membuatmu nyaris
lupakanku.
Bila tak henti juga
mereka kongkow kongkow
guyur saja
dengan racikan kopiku.
Kali ini
aku ramukan
hammerhead,
barista menyebutnya
'tembakan dalam gelap'.
Izinkan aku
menembak
setan setanmu, lelaki.
Agar diriku hadir
kembali
di hati.
December 14 at 2:51pm
Reguk kopiku, Lelaki.
Di sana kusimpan
tangis termagis.
December 2014
Masihkah kau
butuh kopiku,
Lelaki?
Pagi ini aku hanya punya
kopi tubruk,
kuracik bersama cintaku
yang mabuk.
Di cangkirmu
yang kuanyam
dengan duri duri
mawar
kuseduhkan mereka
untukmu.
Semoga kau tak ngilu
tertusuk
saat mereguk.
December 12 at 7:39 am
Hanya mampu
memagut
bibir cangkir kopimu,
lelaki.
Betapa kudamba
hangat yang kureguk
barusan
adalah hangat bibirmu
yang sepi.
December 10 at 4:52 pm
Mengapa kau racikkan
puisi sedih
ke dalam cangkir cangkir
kopi kita, kekasih?
Mereguknya telah membuatku
merasa kehilangan
engkau.
December 9 at 2:19 pm
Matamu, pukat rinduku.
Di matamu
aku ingin ngopi
hingga tandas
arak api rindu ini.
December 7 at 11:30 pm
Malam berkarat
di kotaku, bung.
Rinduku kapalan sudah
sedang yang kumampu
hanyalah
setubuhi
kopi malammu.
December 6 at 8:44pm
Kuracikkan untukmu
kopi yang sombong, Lelaki.
Betapa tidak?
Karena di dalamnya
kutambahkan rinduku
yang kuat
dan kasihmu
yang tegar.
Lelaki, nikmatilah
kesombongan cinta.
December 3 at 3:36pm
Seandainya kopi itu
migrain,
pasti aku memintamu
berhenti
mereguknya, Lelaki.
Tapi ternyata
kopi bagimu serupa
bibirku yang candu
hingga kubiarkan
engkau
menyesapnya
berulangkali.
December 1 at 7:16 am
Lelakiku,
Jika kopi adalah masalah,
maka sebaiknya
jangan ada kopi
di antara kita.
Tapi jika kopi
adalah kasih sayang,
semoga kopi
terus menerus
hadir
bercangkir cangkir
di pagi siang
sore malam
dan dini hari
kita.
Dan pagi ini
kusuguhkan kopi
yang sangat kental
untukmu
karena pekatnya
kasih sayangku
teramu di dalamnya.
Lelaki, reguklah ia
sepenuh hati.
November 29 at 11:33 pm
Lelaki,
jangan pandangi saja
kopi yang sedari tadi
kuseduh untukmu.
Aku telah selundupkan
diriku
kedalam engkau
agar kita bisa
menikmati
kopi itu bersama.
November 26 at 7:26 am
Roti gambang paling cocok
menemani
kopi pagimu, Lelaki.
Sedangkan engkau
adalah seorang
yang tepat
menemani hidupku
kelak.
November 26 at 1:38 am
ngopi adalah caraku
memahami keheningan
dirimu
yang kerap teraduk
di ampas kopiku.
November 2014
Pagi, Lelaki.
Sesaplah aroma
kopimu
sebelum kau
mereguknya.
Gairahku
yang tak terbendung
semalaman
kuracik bersama
pucuk pucuk gairahmu
di sana.
Rasakanlah
betapa nakal
dan liarnya
kopi pagimu.
November 21 at 11:45 pm
Mana yang lebih pahit,
kekasih?
Kopi yang kuseduh
dari bulir bulir
kecintaanku padamu
yang tersekap
di dada?
Atau air mataku
yang baru saja
tercampur
dalam kopi
dini harimu?
November 10 at 7:35 pm
Selamat pagi, Lelakiku.
Kopimu dingin
semalaman
dikecupi embun embun
penantianku.
Mengapa tak segera
mereguk
bulir bulir rindu itu
sebelum nanti
terlanjur
mengkristal.
Lelaki,
ada apa denganmu?
Begitu perihkah
sayap belatiku
memelukmu
hingga kau siap
untuk pergi
di detik
yang tak kumengerti.
Maka izinkan
aku menyeduh
kopimu
sekali saja.
Sebelum sayapmu
sendiri
tumbuh
dan kau terbang
menjauhi
perempuanmu.
November 2014
Yang kuhirup sedari tadi
ternyata ampas kopi.
Pahitnya
menyerupai rindu
yang tak tersampai.
November 2014
Aroma pagi
demikian hijau
dari embun-embun
yang menumpuk
semalaman
di rerumputan.
Lelaki,
apa kabarmu
pagi ini?
Masihkah kau
kelabu?
Seduhlah kopi
yang kuramu
dari derita
para musafir
di puncak sinai.
Mereka mendendangkan
syair kasmaran
bermalam malam
hingga tangis mereka
jatuh
menjelma ribuan butir
kasih terdalam.
Kupunguti satu-satu
seraya tak henti
hatiku
menahan haru.
Ternyata sepiku
ikut mengisak
di sana.
Lelakiku,
teguklah segera
jangan ragu.
Kopi dari butiran
kasih terdalam
agar tersemai ia
dalam hati
mengekalkan
ikatan kita.

November 3 at 8:21 am

Sumber gambar: Google


Selasa, 10 November 2015

SETULUS KASIHNYA

"Yakin masih mau nulis? Siap dibombardir sama kritikus? Siap tulisanmu dibedah sampai kamu nangis darah?!"

Aku menunduk, tak berani menatap mata Kak Shinta, lalu nyaris tak terdengar aku menjawab ....

"Masih, Kak ... siap."

"Terus kenapa nangis hanya karena gak tembus event? Kenapa ngeluh jari sakit semua, gara-gara kebanyakan ngetik? Kenapa selalu alasan, 'Lagi writer's block'? Nonsens tauk!"

Blaamm!

Selalu begitu, setelah puas meluapkan amarahnya, Kak Shinta akan keluar dari kamarku sambil membanting pintunya.

"Sabar ya, Sayang, Kak Shinta begitu kan karena ia mendukungmu."

Mama, benteng terakhir untukku berkeluh kesah, akan memompa semangatku kembali dengan kata-katanya yang sesejuk embun. Beda sekali dengan kakakku yang satu itu.

"Masak ada orang kasih dukungan caranya begitu, Mah?" jawabku bersungut-sungut, sambil masih merebahkan kepalaku di pangkuan mama.

"Kakakmu cuma ingin kamu yakin dengan pilihanmu, apakah kamu serius atau tidak."

"Tapi kan gak harus ngomel-ngomel juga. Emang enak apa dibentak-bentak."

"Itu kan untuk mempersiapkan kamu di dunia yang kamu geluti. Apa yang kakakmu lakukan belum seberapa, dengan apa yang akan kamu hadapi di luar sana. Kamu harus punya mental baja!"

Aku terdiam, mencoba menelaah semua perkataan mama. Sedikit demi sedikit aku mengakui kebenaran kata-katanya.

"Kakakmu itu sangat sayang padamu, Riska. Dia orang pertama yang membaca tulisanmu, mengumpulkan file-file tulisanmu yang tercecer karena kamu sembrono, orang yang selalu siap begadang untuk kamu. Ingat, nggak?"

Perlahan-lahan ingatan itu kembali berlarian di otakku. Kak Shinta yang rela membuatkan coklat panas saat aku menulis sampai malam, Kak Shinta yang giat mengikutsertakan aku dalam event-event menulis, Kak Shinta yang nemenin begadang karena aku takut sendirian, padahal besoknya ia harus ngantor pagi, Kak Shinta yang, aah ... mama benar, aku hanya menilai buruk apa yang kakakku lakukan. Padahal di balik itu semua, tersembunyi kebaikan hati dan ketulusan kasihnya yang tak kulihat sebelumnya.

"Mah, Kak Shinta di mana?"

"Belum pulang kantor, lembur. Kenapa?"

Aku malu mengatakannya pada mama, tapi saat ini yang ingin aku lakukan adalah, menghambur ke pelukan kakakku sambil berucap, "Terima kasih, Kak. Aku sayang Kakak."

Senin, 02 November 2015

PADA SEBUAH DIAM III

pada sebuah diam, nada nada menjadi kerontang dalam ingatan yang legam. tak ada lagi ruang untuk bercengkerama tentang hujan dan retak retak tanah yang dulu kita ketahui sebagai sepasang kekasih. hujan lebih sering meluapkan dirinya hingga mengalir menuju sungai sungai yang akhirnya bermuara ke laut, enggan menyelusup ke celah celah tanah yang semula menampung kerinduannya namun kini mulai berpaling pada angin.

"terbangkanlah aku, angin, biar kuluruh menjadi debu karena hujan tak lagi menginginkanku," pintanya.

lalu angin mengembuskannya kuat kuat sampai seluruh tubuhnya menyerpih menjadi sahara dan tiba di sebuah daratan dengan tebing gamping di salah satu sisinya dan samudera di sisi lainnya. lalu tanah yang telah menjadi sahara melipat sepinya dalam diam yang diam diam merayap datang.

sesekali ia akan memandang samudera mencari jejak sang hujan, namun seketika ia akan berpaling dan menyembunyikan air matanya di sudut sudut tajam tebing gamping. "ahh, bukankah ia telah melupakan ...," bisiknya pada desir angin sebelum ia kembali melipat hening sepinya, pada sebuah diam.