Jumat, 25 Desember 2015
FLASH FICTION - WAJAH YANG LAIN
Kamis, 17 Desember 2015
CERMIN - LEWAT TENGAH MALAM
"Lu nyium bau kembang kagak, Jak?"
"Iye, nyium."
"Mirip kembang kuburan gitu kan?"
"He-eh."
"Duh, bulu kuduk gue jadi merinding disko, nih." Somad meraba tengkuknya yang meremang, "baunye tambah santer aje, Jak."
"Berisik, lu! Namanye juga ngeronda! Mau bau kembang, ade maling, ketemu jurig, ya kudu kite hadepin!" Rojak nyolot, sebel sama mental tempenya Somad.
Kali ini memang giliran mereka keliling kampung, aplusan sama Udin dan Jaka yang dua jam lalu sudah melakukan gilirannya.
"Gue pan iseng, Jak. Elu mah, kalu ngomong enteng banget," jawab Somad bersungut-sungut, "e-eh ... lu denger kagak, Jak? Sekarang malah ade ringkikan kuda! Hiiih ...!"
Refleks Somad langsung memeluk Rojak, yang serta merta mendorong tubuhnya.
"Apaan sih, Mad?!" bentak Rojak sewot.
"Ka-kate emak gue, kk-kalu ade suara ring-kikan kuda, lewat tengah mm-malem, berarti ade setan keliaran," jawab Somad terbata.
"Maad ... Somad, nih gue senterin ye, biar lu tau kite ade di mane!"
Tanpa menunggu jawaban Somad, Rojak mengarahkan cahaya senter ke sebelah kanannya yang agak gelap.
"Noohh ... liat!"
"Heheh, kandang kudanye Kang Soleh, ye? Gue lupa, die juragan delman di kampung kite." Somad cengengesan malu, "lha, tapi bau kembangnye?!"
"Itu minyak wangi gue, Mad, boleh dikasih ame si Marni," jawab Rojak sambil mengulum senyum malu.
~end~
Senin, 14 Desember 2015
FLASH FICTION - WANITA BERGAUN MERAH
Aku berkeliling sekali lagi untuk memastikan tak ada pengunjung yang masih berada di area museum. Terkadang ada saja yang nakal, memanfaatkan lorong-lorong gelapnya sebagai tempat berasyik masyuk walaupun telah diingatkan oleh penjaga keamanan. Aku salah satunya.
"Heh, siapa di situ?!"
Benar saja, kulihat sekelebat tubuh berjalan melewati deretan lukisan di blok G.
"Waktu berkunjung sudah habis, Nona," tegurku setelah berhasil mengejar orang yang tadi kulihat.
Kuedarkan pandang, mungkin saja ia bersama kekasihnya, tapi sepertinya ia sendirian. Wanita itu berbalik dan seketika aku tertegun. Wajah orientalnya cantik sekali.
"Pongo ...." [1] Ia berucap lirih.
"Maaf Nona, saya tidak mengerti maksud Anda," jawabku bingung.
Ia mengulangi perkataannya, lalu berbalik dan berjalan sepanjang lorong museum.
"Nona, Anda mau ke mana?!" teriakku lantang.
Ia tak menjawab, tapi gaun merah sutranya, dengan detil bunga-bunga kecil berwarna keemasan yang melambai-lambai, seakan memintaku mengikuti. Aku pun menjajari langkahnya, hingga kami sampai di bagian belakang museum.
"Pongo emkoi." [2]
Wanita itu memperlihatkan pergelangan tangannya yang kosong, lalu menunjuk ke arah sumur tua, yang terdapat di bangunan tambahan yang terpisah dari bangunan induk.
"Ge-lang? Gelangmu jatuh ke dalam sana?"
"Hoak, am." [3]
Seulas senyum hinggap di bibir mungilnya. Sepertinya ia senang, aku paham maksudnya.
"Tunggu sebentar."
Kulongokkan kepala ke dalam sumur, mengarahkan senter yang kubawa hingga cahayanya memantul di permukaan air yang hitam.
"Besok saja kita cari, gelap sekali di dalam sini," gumamku.
Tiba-tiba, satu kesadaran menyergap otakku. Wanita muda? Tengah malam? Hawa dingin merayap di punggungku, secepat kilat aku berbalik. Wanita itu ... matanya kini hanya merupakan lubang hitam!
"Ko cosam lei ...!" [4] lengkingnya tajam, bersamaan kedua tangannya yang menyerupai cakar elang, mendorongku ke dalam sumur.
"Aaahhh ...!" jeritku panjang.
Tubuhku meluncur cepat. Tangan yang tak nampak menampar-nampar kedua pipiku.
"Woooyyy ... bangun, Ndro! Banguuunn ...!"
Aku tergeragap. Peluh membanjiri seluruh tubuhku. Mana wanita tadi? Kualihkan pandang ke seluruh penjuru.
"Lo ... li-liat cewek, yang sama gue, nggak?" tanyaku terbata.
"Cewek? Elo tuh tiduuurr ...! Barusan aja teriak-teriak, jadinya gue tabok." Dika, temanku terkekeh, "makanya, waktunya jaga jangan molor, jadi mimpi aneh-aneh."
Aku hanya terdiam tak percaya, sambil mengelus-elus pipiku yang masih terasa panas.
~end~
Catatan kaki:
[1] Tolong
[2] Tolong bantu saya
[3] Iya, benar
[4] Matilah kau
Ilustrasi gambar: www.pinterest.com
Sabtu, 12 Desember 2015
PUISI - SABDA KOPI
Ngopi,
adalah satu-satunya cara yang aku tahu
untuk membunuh rindu
Pada serbuk-serbuk getir tersesat
di lingkaran bibir, aku bertanya,
"Kapankah rinduku menjelma jadi ledakan?"
Sebagai jawaban mereka akan bergulir
menuju kerongkongan,
mengendap di sana
Ahh, aku tersedak rindu
Sabtu, 05 Desember 2015
FLASH FICTION - SNOW WHITE DAN ABANG RUJAK
"Cermin ... cermin ... siapa yang paling cantik di jagat raya?"
Untuk ke sekian kalinya sang ratu penyihir bertanya pada cermin ajaib miliknya.
"Snow White, Ratuku."
Jawaban yang tak jua berubah membuat ratu penyihir murka.
"Baiklah, kalau begitu akan kubuat ramuan untuk membunuhnya agar aku menjadi yang tercantik!" teriaknya marah.
Siang itu setelah ramuan beracunnya selesai dibuat dan disuntikkan ke dalam sebutir jambu merah, berangkatlah ratu penyihir ke hutan tempat Snow White tinggal dengan menyamar sebagai abang tukang rujak.
"Rujak, Neng, seger lho dimakan siang bentet gini," rayu penyihir.
Snow White yang sedang menjemur pakaian langsung tertarik. Jarang-jarang tukang rujak masuk hutan, biasanya hanya anak-anak sekolah yang mencari jalan pintas menuju sekolah mereka.
"Abang nyasar, ya?" selidik Snow White.
"Enggak tuh, emang sengaja masuk hutan."
"Abang kenapa jualnya rujak?"
"Abang bisanya dagang ini. Emang kenapa, Neng?" tanya penyihir heran.
"Saran saya sih, lain kali kalau masuk hutan lagi, mending abang jualan gado-gado, pecel, atau ketoprak aja."
"Lha ... emangnya kenapa sih, Neng?" Ratu penyihir tambah penasaran, lupa sudah ia akan tujuannya untuk membunuh Snow White.
"Tuuh ... emangnya Abang nggak bisa baca ...?!" Snow White mengarahkan telunjuknya pada plang besar di belakangnya.
Ratu penyihir yang kurang awas penglihatannya memicingkan mata dan membaca dengan keras kata-kata yang tertulis di plang tersebut.
"SNOW WHITE RUJAK & JUS ... menjual aneka macam rujak dan jus buah."
Gubrak! Ratu penyihir pun pingsan dengan sukses.
~The End~
Mau baca Flash Fiction lainnya yang lebih seru? Dapatkan bukunya segera 'Segenggam Air Bah di Atas Loteng' di Penerbit Lovrinz.
Jumat, 04 Desember 2015
PADA PEJAMMU
pada pejammu yang paling rapat, saat kau harap suara-suara dari atas gunung berhenti berkelakar, ternyata gumaman mereka pindah ke atas ranjang. bibir sepimu bergumul pada suara di sudut bantal.
"biar kutikam sunyimu, lelaki," bisiknya penuh getar.
matamu kini menghunus! sejurus suara-suara lain berterbangan keluar. hening membius. tinggal kau dan suara milik si perempuan.
"belatimu tak akan sanggup membunuh apa yang sudah mati, perempuan."
matamu kembali pejam. suara perempuan menghilang, tak lagi mengusikmu.