Rabu, 27 April 2016

FLASH FICTION - MAPLE STREET 31

Nyanyian bernada ceria menyambut Heidi saat ia melewati pintu besar. Sebuah kotak hitam diselubungi tirai berwarna senada di bagian depannya, membuka perlahan. Sejumlah boneka kayu terikat di seutas tali, bergelantungan, bernyanyi dengan suara ceria di dalamnya. Heidi terpukau. Bibirnya berkomat-kamit mengikuti lagu yang tengah dimainkan.
 
Tapi ... apa itu?!
 
Heidi mendekat. Boneka di pojok kotak hitam itu berbeda. Ia terperanjat ketika benda kecil itu tiba-tiba mengangkat wajahnya.
***
 
Rumah di atas bukit cemara, bercat warna-warni dengan hiasan permen lolipop besar memenuhi permukaan dindingnya, selalu menarik perhatian Heidi. Seperti hari ini, ia berdiri di seberang jalan Maple, menatap rumah besar bernomor 31 tersebut dengan sepasang mata biru besar penuh hasrat.
Seperti apa di dalamnya? Batinnya.
 
"Madam Turquoise akan menyihir anak nakal yang ke sana, dan kau takkan pernah kembali." Suara Isabel, sahabatnya, kembali terngiang-ngiang.
"Tapi aku bukan anak nakal, takkan terjadi apapun padaku," gumam Heidi dan mantap melangkahkan kaki mungilnya menaiki bukit.
Kelinci-kelinci berwarna biru dan oranye menyambut kedatangannya. Beberapa berlarian di sela-sela kaki hingga suatu ketika membuatnya jatuh tertelungkup.
"Hei ...!" teriaknya marah, tapi seketika ia tersentak. Kelinci tadi berdiri sangat dekat dari cuping hidungnya. Muka binatang lucu itu berbercak-bercak merah dan giginya berkawat. Mata kecilnya tampak ketakutan.
Mengapa kelinci itu berwajah seperti Greg Corner?
Heidi ingat, anak nakal itu menumpahkan bekal makan siangnya minggu lalu, dan beberapa hari ini ia tak melihatnya di sekolah.
"Hei ... tunggu!" Heidi segera bangkit, mengejar kelinci tadi yang melesat cepat menuju puncak.
Saat Heidi tiba di atas, kelinci itu sudah menghilang. Samar, telinganya menangkap nyanyian mengalun dari dalam rumah. Penasaran, ia mendorong pintunya perlahan sambil menahan napas.
Kotak besar berwarna hitam menyambut Heidi. Tirai hitam di bagian depannya membuka perlahan. Beberapa boneka kayu bergelantungan, bernyanyi ceria dengan mimik wajah kaku.
Heidi ikut bernyanyi, tapi ekor matanya terpaku pada boneka di sudut kanan.
Yang itu bukan dari kayu, dan sepertinya ia menangis. Pikirnya.
"Hei, kau kenapa?!" teriak Heidi seraya mendekat. Suara nyanyian seketika senyap. Boneka itu tiba-tiba mengangkat wajahnya. Mata biru besarnya memerah penuh air mata.
"Kau nakal, masuk rumah orang tanpa izin!"
Heidi terperanjat. Boneka itu ... aku?


Rie||2015