Kamis, 31 Maret 2016

DI AMBANG BATAS

"Kath, ingat, les pianomu satu jam lagi. Jangan berpura-pura sakit perut seperti minggu lalu!"

Ibumu berkata ketus di depan pintu kamar. Bibir terpulas warna darah itu membentuk sudut tajam. Matanya menatapmu setajam belati.

"Iya, Ma." Kau bergumam mengiyakan, tak berani menatap mata ibumu walau sekadar meyakinkan, bahwa kau sungguhan sakit saat itu.

Dengan gerak lambat kau turun ke ruang bawah. Dari balkon kamar, suara kaku jari-jarimu menekan tuts piano samar terdengar. Kau sama sekali tak berbakat.

***

"Kath! Waktunya les renang! Pelatih barumu sudah menunggu di kolam! Ini sudah hampir jam 5 pagi. Jangan telat!"

Ibumu menggedor pintu kamar berkali-kali. Dari pintu ke arah balkon yang kau biarkan terbuka, aku melihatmu kian membenamkan tubuh ke dalam selimut hangat.

Dari tempatku berada, kulihat laki-laki itu berdiri di tepi kolam sambil sesekali melirik jam tangannya. Rahangnya kukuh. Dia mengangkat wajahnya tinggi-tinggi saat mengamati sekitar kolam. Raut wajahnya kaku tanpa secuil pun senyum. Sepertinya ia akan sangat keras melatihmu.

***

"Bagaimana hasil ulanganmu bisa hancur semua seperti ini! Mama sudah keluar uang banyak untuk memasukkan kamu ke bimbel bergengsi itu! Belajar apa saja kamu di sana, hah?!" Lagi-lagi hari ini ibumu meledakkan suara.

"Kathrin sudah berusaha, Ma." Kau menjawab lemah sambil menyusut air matamu yang bergulir di pipi.

"Usahamu kurang keras! Seorang keturunan Martodipuro harus mendapatkan nilai sempurna! Nilai delapan dan sembilan ini tidak ada artinya sama sekali!" Ibumu berteriak histeris sebelum membanting pintu dan meninggalkanmu sendirian.

Suara dentuman daun pintu menggetarkan kaca-kaca jendela. Gemanya pun memantul di sekujur tubuhku. Kau menggelegak dalam tangis selepas ibumu pergi. Terhuyung kau menghampiriku, meremas tubuhku kuat-kuat seolah ingin membagi kesedihan dan kemarahanmu sekaligus. Lelah menangis, kau pun bersandar padaku. Membiarkan angin kemarau menghapus habis air matamu.

***

"Kath! Mulai senin depan kau sekolah di rumah, nilai-nilaimu harus dikatrol naik. Mama sudah buat jadwal, jadi tidak alasan lupa, ketiduran, dan lain sebagainya! Tempel ini di tempat kau bisa melihatnya dengan baik!"

Ibumu meninggalkan selembar kertas di atas meja. Ia pergi secepat ia datang. Kau tak menyentuh kertas itu sama sekali, hanya terus menarikan pena dalam genggamanmu. Kertas di meja belajar melayang tertiup angin, jatuh di dekat kakiku. Aku membacanya ....

Senin
05.00 wib-07.00 wib: Les renang
07.15 wib-07.45 wib: Mandi & sarapan
08.00 wib-12.00wib: Home schooling
12.15 wib-12.45 wib: Makan siang
13.00 wib-15.00 wib: Les biola
15.15 wib-17.45 wib: Gym

Oh Tuhan, aku tak sanggup meneruskan. Itu baru hari senin. Sekilas tadi kulihat les-les apa saja yang harus kau ikuti: Matematika, Bahasa Inggris, balet, les kepribadian, Bahasa Perancis, Kimia, dan masih banyak lagi. Monster macam apa ibumu membebani otakmu dengan begitu banyak kegiatan, bahkan usiamu baru 15 tahun! Dan tak ada satu pun jadwal bersenang-senang dengan teman-temanmu? Oh, aku lupa. Kau tak punya teman.

***

"Kath, Mama harus berangkat ke Singapura mengantarkan Papa medical check up. Jangan bolos les vokal pagi ini, Mama akan terus memantaumu!"

Ibumu berkata padamu saat sarapan di meja makan tepi kolam. Ia hendak pergi, tapi masih meninggalkan taring dan matanya di rumah. Bahkan hari minggu pun harus kau habiskan dengan kegiatan yang tak kau sukai.

***

"Satu lap lagi, Kath!"

Pelatihmu berteriak dari pinggir kolam, tangannya menggenggam stop watch.

"Arrghh ... 10 menit 7 detik! Masih terlalu lama, Kath! Saya akan mengusulkan untuk menambah jadwal latihanmu!"

Kau menampar permukaan air dengan muak saat mendengar kata-kata pelatihmu. Kau keluar dari kolam, meraih jubah mandimu, dan pergi meninggalkan orang itu dengan tatapan marah.

Pelatih itu tersenyum sinis di balik punggungmu.

***

"Apa ini?! Cerita picisan! Kamu tidak akan bisa kaya dengan menulis!"

Ibumu melempar helai-helai kertas yang kau coba tunjukkan padanya. Kisah petualangan penuh misteri terbungkus ketegangan. Aku tahu karena kau pernah membacanya keras-keras di teras balkon.

"Ini dunia yang Kath cintai, Ma. Kath mohon Mama mengerti." Kau mengiba, memeluk, dan mencium kaki ibumu.

"Jangan pernah berharap! Kelak kau akan meneruskan bisnis papamu. Dan itu lebih menyejahterakan dibanding kau jadi penulis!" Kata-kata mamamu tajam bagai pedang. Kulihat matamu menyayatkan luka.

"Lalu kenapa Ma, Kath harus les renang, biola, vokal, piano? Toh, itu juga nggak akan ada gunanya di dalam bisnis papa?!"

Plaakk!

"Dasar anak tak tahu diri! Seorang Martodipuro juga harus mempunyai fisik kuat, mental baja, otak cerdas, dan pengetahuan seni yang tinggi! Keluarga kita keluarga terhormat, jangan sampai hal sepele membuat kita direndahkan orang lain! Semua yang Mama lakukan sekarang untuk kamu akan berguna pada waktunya!"

Ibumu membanting pintu di belakangnya setelah memberondongmu dengan kata-kata pahit. Dengan gemetar kau kumpulkan helai demi helai kertas yang bertebaran, mendekapnya erat di dada sambil terus terisak-isak.

***

Jam dua dini hari ....

Kau membuka pintu ke arah balkon. Sisa tangis masih membekas di wajah dan matamu yang sembab. Perlahan kau menghampiriku, sehelai kain membuhul lehermu. Jari-jemarimu gemetar saat kau ikatkan ujung kain yang lain di celah-celah tubuhku. Kau berdiri pada bibir balkon, berpegangan padaku sebelum akhirnya kau lepaskan genggaman dan melompat ke bawah.

***

Mentari pucat, embun bergerombol di dedaunan, siulan burung-burung di atas atap. Pagi yang damai. Namun mendadak kelengangan pagi ini terkoyak oleh lengking suara.

"Astagfirullaaaahh! Nyonyaaa ... Tuaaann!"

"Ada apa sih, Bi, teriak-teriak?!"

"It-ituu, Nya."

"Ya Tuhan, Kathriiinnn!"

~end~

Sumber gambar: Mbah Gugel

Selasa, 29 Maret 2016

FLASH FICTION - SEKUNTUM KAMBOJA DARI HONGKONG

Nduk, panasnya Anjas ndak mau turun. Ibu bawa dia ke rumah sakit, takut ada apa-apa.

Pesan singkat dua hari lalu itu membuyarkan konsentrasi bekerja. Aku mengutuk kecerobohanku lupa mengisi pulsa, hal yang sangat krusial bagi TKI sepertiku yang hanya bisa keluar flat saat libur, hingga harus menunggu lepai singgei [1] untuk mengetahui perkembangan Anjas.

"Ngo cut kai sin." [2] Pamitku pada majikan, lalu bergegas menuju lift dari flatku di sap kau lau, ]3] menekan tombol ground, tempat stasiun kereta listrik, Ferry Pier berada.

"Jadi kita ke Sham Shui Po?"

Kalimat pertama May, temanku, yang sudah menunggu di peron stasiun.

"Kamu sama Yanti aja ya, May. Anakku sakit, mau nelpon ke kampung. Repot juga nggak ada Aryati."

"Aku yo repot Aryati mbali Indo, wis ra nduwe konco sing dodol pulsa elektrik. [4] Kalo pulsaku abis terus kangenku kambuh sama Mas Gatot, duuh ...."

Aku meringis mendengar kata-katanya. Kami lalu saling melambai saat hendit, kereta listrik datang.

Aku menyeberang ke arah pertokoan di sepanjang Ferry Pier, membeli pulsa di salah satu tinwa bodhao, [5] lalu menekan nomor tujuan yang sudah kuhapal di luar kepala.

"Assalamualaikum. Ibu? Gimana Anjas? Masih dirawat? Maafin Ratih baru bisa nelpon, Bu."

"Ratih ...," Suara di seberang menjawab, bukan suara ibu, "ini Bulik Lani. Sing sabar yo, Nduk." [6]

Suara Bulikku bergetar, lirih, lalu terdengar isak tertahan. Apakah ....

"Anjas kenapa, Bulik?! Sakitnya parahkah?!"

"Meninggal ...."

"Ya Allah, Anjaaassss!"

"Bukan Anjas, Tih. Ibumu ... ibumu yang meninggal. Ditabrak bis waktu menyeberang jalan, sepulang dari menjaga Anjas di rumah sakit."

Tubuhku melunglai. Aku jatuh terduduk. Telepon genggam terlepas entah kemana. Ibu, wanita tegar penuh kasih yang aku cintai. Untuknya dan Anjas, aku menyeberangi lautan agar dapat memberi penghidupan yang lebih baik, sebagai wujud baktiku padanya. Tapi hari ini, aku hanya bisa memberinya sekuntum kamboja dari Hongkong ....



Catatan kaki:

[1] Hari Minggu

[2] Saya pergi keluar dulu

[3] Lantai 19

[4] Aku juga repot Aryati pulang ke Indonesia, tidak punya teman lagi yang jual pulsa elektrik

[5] Toko penjual pulsa, kartu telepon, dll

[6] Yang sabar ya, Nak

Minggu, 20 Maret 2016

FLASH FICTION - LANGIT TANPA FAJAR

"Akang kredit datang lagi, Pak. Minggu lalu kita sudah nggak bayar cicilan hape, tadi juga begitu, malu aku disemprot di depan orang banyak. Audy sama Panca juga sudah lima bulan ini nunggak SPP, kapan mau dilunasi?"

"Sabarlah, Bu, nanti Bapak cari-cari pinjaman."

"Kamu ya kok, masih nganggur aja sih, Pak? Kalau aku nggak nyambi jadi tukang cuci, sudah makan batu anak-anak kita!"

Aku menarik napas panjang, mencoba menghilangkan sesak yang mendiami liang dada. Kutinggalkan istriku yang masih mengayun si kecil.

"Mbak Anna tadi nelpon, nanti sore mau ke sini. Dia menunggu jawabanmu."

Kuseret langkah menuju teras, sungguh aku tak ingin mendengar apa pun lagi dari istriku, tidak juga tentang Anna.

Aku tidak siap!

Semoga hujan deras ini tak berubah menjadi gerimis, atau pun mereda, agar wanita itu tak perlu datang. Doaku dalam hati.

"Lempar bolanya ke Mas Abi, Im!"

"Ke Mbak aja, Im, nanti Mbak beliin es krim!"

Teriakan gegap ketiga anakku di bawah guyuran hujan, sedikit menghibur hati. Miris rasanya saat melihat Baim lebih memilih mengoper bola ke Wida, anakku nomor empat, karena iming-iming jajanan yang jarang bisa ia nikmati. Mendadak renyut di kepalaku semakin menjadi. Suasana nyenyat yang kubutuhkan saat ini, menuntun langkahku menuju kamar.

"Audy, ini buat bayar SPP kamu sama Panca."

"Bu, cantik nggak aku pakai ini?"

"Jadi kan, Bu, beliin Baim sepeda?"

Aku terbangun di keremangan saat mendengar suara gaduh anak-anak. Terhuyung-huyung aku melangkah ke luar kamar, dengan kepala yang masih berat. Pandanganku langsung tertumbuk pada setumpuk bingkisan yang sebagian sudah terbuka.

"Dari siapa itu, Bu?" tunjukku pada pakaian yang melekat di tubuh dua anakku dan uang di genggaman Audy.

"Mbak Anna tadi datang, kamu masih tidur, jadi aku yang buat keputusan."

"Fajar?!"

Seperti orang kerasukan aku berlari ke tempat buaiannya berada. Kosong! Aku berlari lagi ke ruang depan, mendapati istriku menghitung segepok uang.

"Anak kita banyak, Pak, kau sendiri tidak sanggup membiayai. Uang dari Mbak Anna ini, bisa mencukupi kehidupan kita."

"Apa?!"

"Lagi pula kasihan dia, sudah sepuluh tahun menikah belum juga dikaruniai anak."

Mendadak dunia kurasakan berputar lebih cepat, aku pun lenyap ke dalam pusaran gelap tak berujung.

Kamis, 03 Maret 2016

BUKU DUET: NYOOK KITE NGUMPUL!

Judul Buku: Nyook Kite Ngumpul!
Penulis: Rosi Ochiemuh & SH Kusuma
Jumlah Halaman: 239 hal
Dimensi: 14x21 cm
Penyunting: Ichi Kudo
Tata Letak: Ichi Kudo
Desain Sampul: Ichi Kudo
Penerbit: LovRinz Publishing
Harga: Rp 49.000,- (belum ongkir)

Kumpulan cerita NYOOK KITE NGUMPUL! mengajak kalian semua menikmati keseruan kisah-kisah di dalamnya.
Pantengin kisah Aladin bersama Bimbim dan Ucok, yang mencoba menguak isu Kolor Ijo di Kampung Duren dalam GENTAYANGAN, jangan lewatkan pula kisah mereka saat melawan sejumlah preman di SEMAKIN MAJU KE DEPAN, lalu bagaimana Aladin dan Ucok bisa berurusan dengan para pemakai narkoba? Simak ceritanya di KEHILANGAN SOFI, dan keseruan cerita lainnya.

Jangan lupa baca juga kisah Mail dan Zuki saat memburu cewek blasteran yang doyan ngedip-ngedipin mata dalam TARUHAN, lalu simak trik jitu mereka berdua saat menyelamatkan diri dari RAZIA RAMBUT, serta nikmati kesialan Mail saat mau memberi SUAPAN CINTA ke cewek gebetannya, dan masih banyak lagiii ...!

Lebih dari 50 cerita gokil dalam satu buku ini layak menjadi bacaan favorit kalian. Cocok buat para Ibu Rumah Tangga sebagai obat penghilang jenuh selain nonton drama Turki, pas buat mahasiswa yang pengen nostalgia masa remaja, dan pastinya orang kantoran yang lagi ada deadline kerjaan, dijamin pusingnya ilang baca buku ini.

Satu lagi, untuk para Jomblowers, dijamin nggak akan ngerasa kesepian lagi dan bakal terhibur abis baca bukunya. So, buruan serbuuu ...! Jangan sampai kehabisan :-D

* Untuk pemesanan bisa melalui blog ini atau inbox ke FB Rie Kusuma, Rosi Ochiemuh, dan Penerbit LovRinz.