Minggu, 20 Maret 2016

FLASH FICTION - LANGIT TANPA FAJAR

"Akang kredit datang lagi, Pak. Minggu lalu kita sudah nggak bayar cicilan hape, tadi juga begitu, malu aku disemprot di depan orang banyak. Audy sama Panca juga sudah lima bulan ini nunggak SPP, kapan mau dilunasi?"

"Sabarlah, Bu, nanti Bapak cari-cari pinjaman."

"Kamu ya kok, masih nganggur aja sih, Pak? Kalau aku nggak nyambi jadi tukang cuci, sudah makan batu anak-anak kita!"

Aku menarik napas panjang, mencoba menghilangkan sesak yang mendiami liang dada. Kutinggalkan istriku yang masih mengayun si kecil.

"Mbak Anna tadi nelpon, nanti sore mau ke sini. Dia menunggu jawabanmu."

Kuseret langkah menuju teras, sungguh aku tak ingin mendengar apa pun lagi dari istriku, tidak juga tentang Anna.

Aku tidak siap!

Semoga hujan deras ini tak berubah menjadi gerimis, atau pun mereda, agar wanita itu tak perlu datang. Doaku dalam hati.

"Lempar bolanya ke Mas Abi, Im!"

"Ke Mbak aja, Im, nanti Mbak beliin es krim!"

Teriakan gegap ketiga anakku di bawah guyuran hujan, sedikit menghibur hati. Miris rasanya saat melihat Baim lebih memilih mengoper bola ke Wida, anakku nomor empat, karena iming-iming jajanan yang jarang bisa ia nikmati. Mendadak renyut di kepalaku semakin menjadi. Suasana nyenyat yang kubutuhkan saat ini, menuntun langkahku menuju kamar.

"Audy, ini buat bayar SPP kamu sama Panca."

"Bu, cantik nggak aku pakai ini?"

"Jadi kan, Bu, beliin Baim sepeda?"

Aku terbangun di keremangan saat mendengar suara gaduh anak-anak. Terhuyung-huyung aku melangkah ke luar kamar, dengan kepala yang masih berat. Pandanganku langsung tertumbuk pada setumpuk bingkisan yang sebagian sudah terbuka.

"Dari siapa itu, Bu?" tunjukku pada pakaian yang melekat di tubuh dua anakku dan uang di genggaman Audy.

"Mbak Anna tadi datang, kamu masih tidur, jadi aku yang buat keputusan."

"Fajar?!"

Seperti orang kerasukan aku berlari ke tempat buaiannya berada. Kosong! Aku berlari lagi ke ruang depan, mendapati istriku menghitung segepok uang.

"Anak kita banyak, Pak, kau sendiri tidak sanggup membiayai. Uang dari Mbak Anna ini, bisa mencukupi kehidupan kita."

"Apa?!"

"Lagi pula kasihan dia, sudah sepuluh tahun menikah belum juga dikaruniai anak."

Mendadak dunia kurasakan berputar lebih cepat, aku pun lenyap ke dalam pusaran gelap tak berujung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar