Sabtu, 31 Oktober 2015

PADA SEBUAH DIAM II

pada sebuah diam, kata-kata berloncatan menjadi moncong senjata yang menyalakkan dusta. engkau menganyamnya dengan rapi pada selembar pelepah pisang. Oi, itukah pelepah tempat kita dulu bernaung dari raungan hujan?

ah, hujan pun telah lama terdiam, tak ada badai untuk kutarikan sepi sepi begini. mungkin musim musim penghujan telah kembali ke musim musim kelabu. bukankah hanya ada diam di musim itu?

atau mungkin musim musim penghujan tetap ada, hanya saja diriku yang memilih untuk tak lagi menari. urung mengibaskan derai yang bergelayut di tepi tepi gaunku. memilih diam walau genderang petir telah memberikan aba-aba," hujan ini milikmu, perempuan!" teriaknya.

pada sebuah diam, aku menjadi diriku yang asing, engkau menjelma dirimu yang tak kutahu. kita memilih diam. hanya terpekur menatapi air hujan yang terus menerus mengecupi sela sela jemari.






Jumat, 30 Oktober 2015

PADA SEBUAH DIAM

Pada sebuah diam
Kata-kata menjelma gelimangan
bintang
Di langit utara masih tersimpan
rinduku yang masygul
Terbungkus dalam wingit malam
Di sepi-sepi ketiadaan

/Kita memberi jarak pada kisah
yang belum usai/

Pada sebuah diam
Doa-doa adalah mimpi berhamburan
Segala harap lesap di pelupuk
rembulan
Menjadi lumuran air mata

/Kita mengendap pada bisu di
musim musim kelabu/








Senin, 26 Oktober 2015

PUISI - DIA BAPAKKU

Bapakku,
Di punggungnya ia menjala matahari menjadi ketabahannya yang sangat

Berkerau guguran air mata ia kumpulkan menjadi musim semi; aku bertunas dari aliran tanah dan air di sela-sela jemarinya, tanak di rahim ibu

Saat langit memekar, terompah bapakku berderap sepanjang pesisir. Angin dan debu menjadi hulubalang, menebah renta langkah di gorong-gorong perjalanan

Meski kerap terjungkal bapakku bangkit kembali, mengokang popor kesungguhan dengan beribu mesiu ketulusan, mencambuki diri berkali berperih-perih sendiri demi kami, anak istri

Bapakku,
Walau rambut telah menyemai salju, lembing mata hilang peluru, tapak-tapak cadasnya mulai berlumut dicekoki benalu, tapi ia masih mampu memanggul karang ke puncak mercusuar
 
Aku pastikan, ia pun masih sanggup menyunggi letusan merapi di atas kepalanya


Rie||2015


(Event Ayah LovRinz telat kirim)

Rabu, 21 Oktober 2015

SEKELUMIT KISAH MARNO

Namanya Sumarno, tapi cukup panggil dia Marno. Ia berprofesi sebagai kuli bangunan. Perawakannya sedang saja, berkulit legam karena banyak terbakar sinar matahari, dan memiliki badan yang cukup berotot.
Namun jangan salah ... penampilan itu akan berubah drastis kala malam menjelang. Ia seketika menjelma menjadi Marini. Waria sintal, cantik, lembut nan eksotis, menurut dirinya sendiri. Tapi bagi aku, sang tukang ojek langganan, bedak, lipstik, atau bulu mata anti badai yang melekat itu tidak bisa menutupi garis-garis keras wajahnya. Dan urat-urat yang bertonjolan di tangan, tentu saja jauh dari kesan lembut.
Seperti biasa, tepat jam delapan malam aku telah tiba di rumah kontrakan Marno. Ia sudah menungguku di teras.

"Man, gue belom makan. Tar jangan langsung ke tempat mangkal, kita mampir dulu beli gorengan di warung Mpok Zaenab. Oke, Man?!" kata Marno sambil nangkring di jok belakang. Aku mengacungkan jempol tanda setuju.

Motor kustarter, kami pun melaju. Seperti malam-malam lalu, Marno akan menceritakan kisahnya sepanjang perjalanan kami, bagian menarik yang kadang membuatku miris atau malah tertawa geli.

"Man, jadi kuli bangunan itu memang bisa mengisi perut, bayar kontrakan, ngirim uang ke emak di kampung, sama buat nambah-nambah isi celengan, tapi sebenarnya pekerjaan itu gak srek di jiwa gue. Beda sama jadi waria, bagi gue itu adalah panggilan hidup!" Suara Marno timbul tenggelam di antara ingar-bingarnya kendaraan.

"Kok bisa?!" teriakku, mengalahkan deru angin.

"Bisalah! Gue yakin lu juga gitu. Lu ngojek pasti karena tuntutan supaya dapur rumah bisa terus ngebul, Man. Tapi corat-coret yang sering lu buat di bungkus rokok itu berkata banyak. Penyair ... itulah panggilan jiwa lu!"

Kata-kata Marno telak menohok jantung. Aku membisu seribu bahasa, hanya dalam hati diam-diam mengiyakannya.

"Gue pernah mundur tiga kali dari tiga rencana pernikahan, Man. Kebayang kan lu, gimana gue ngadepin semuanya saat itu? Berat, Man! Semata-mata karena gue mau jadi laki-laki normal, pengen bisa kasih cucu seperti harapan emak!"

"Terus?!" tanyaku, setelah jeda yang cukup panjang. Mungkin riuhnya suara klakson bersahutan dari banyak kendaraan, memecah konsentrasi Marno bercerita.

"Intinya gue gak cinta mereka, Man. Gue gak bisa nafsu sama cewek dan gue gak mau menyakiti mereka dengan memberi harapan palsu!"

Sampai di situ Marno tidak melanjutkan kalimatnya. Aku pun tak bertanya lebih lanjut, memilih berkonsentrasi pada jalanan di depan kami. Lewat satu perempatan, aku berbelok ke kiri melewati jalan kecil penuh lubang, sebelum akhirnya kurang lebih dua ratus meter sampailah kami di warung milik Mpok Zaenab.

"Kopi dua sama gorengannya, Mpok!" pesan Marno setelah kami duduk.

Tak berapa lama muncullah Mahmud, anak bungsu Mpok Zaenab—masih berselempang kain sarung, mungkin pulang dari surau—mengantarkan pesanan.

"Makan tuh, Man." Marno mengarahkan dagunya ke sepiring gorengan di depan kami, ia sendiri memilih meneguk kopinya.

"Gue suka puisi-puisi lu, Man," kata Marno tiba-tiba, "dalem banget lu punya kata-kata." Ia menatapku serius di antara kepul asap rokok yang disulutnya.

"Cuma tulisan iseng," jawabku dengan mulut penuh.

"Harusnya dijadiin buku aja semua tulisan lu itu, sayang kalo cuma berakhir di bungkus rokok," usul Marno. Ia menatapku lekat.

"Iya." Hanya itu ucapku, lalu kembali mencomot tahu isi.

"Gue suka cowok romantis. Menurut gue kalo cowok jago bikin puisi berarti dia romantis."

Entah mengapa kata-kata Marno meremangkan bulu kuduk. Punggungku terasa dingin, tahu isi ini mendadak mandek di tenggorokan. Cepat kuraih kopi milikku dan meminumnya sampai tandas.

"Lu itu tipe gue, Man. Apalagi perut gendut lu itu, suka bikin gue gemes pengen gelitikin."

Kali ini wajah Marno sudah sejengkal dari mukaku. Seulas senyum darinya tak berhasil menghentikan cucuran keringat dingin di sekujur tubuhku.

"Maman, mau gak lu jadi pacar gue?"

Tangan Marno sudah merayap menggenggam jemari tanganku. Aku tak tahu apa yang terjadi kemudian, karena detik berikutnya kepalaku berkunang-kunang dan tubuhku meluncur mulus ke tanah. Segalanya menjadi gelap.

~TAMAT~

Event KBM (juara favorit) dengan kata kunci: bulu mata anti badai, gorengan, sarung, celengan, mundur tiga kali.



Sumber gambar: Mbah Gugel





 

Sabtu, 17 Oktober 2015

PEKERJAAN BERDARAH

Lelaki bermuka bopeng serta berkumis tebal itu kembali mengamat-amati golok besar di tangannya. Ia berdecak puas, tampak seringai memantul lewat bilah golok yang telah tajam terasah. Langkah berikut, dikenakannya topeng ski. Ia tak pernah alpa memakai benda satu itu tiap menjalankan pekerjaannya.

"Aku tidak suka cipratan darah pada mukaku."

Itu yang ia katakan saat aku pernah menanyakannya dulu. Aku, asistennya selama belasan tahun melakukan pekerjaan berdarah, dan tugas utamaku adalah mengasah goloknya setajam mungkin sebelum ia gunakan.

"Aku masih punya hati, Min. Aku tak ingin korbanku merasa kesakitan saat kugorok leher mereka." Kata-kata yang sering ia ucapkan saat mengawasi pekerjaanku.

"Tunggu di sini, Min. Nanti kau bawa kepalanya setelah aku selesai, "perintahnya, membuyarkan lamunanku baru saja. Lalu ia menghilang ke balik pintu besar.

Tak berapa lama jeritan-jeritan berkumandang menyayat telinga. Perutku berontak menahan mual yang hampir mencapai tenggorokan, saat terbayang tubuh-tubuh terkapar tak bernyawa dan genangan darah yang harus aku bersihkan sesudahnya.

Hoeekk!

Setelah beberapa menit, aku masih bersandar lemas pada dinding kamar mandi yang gelap tak berpelita. Terkuras sudah isi perutku.

"Min! ... Parmin!"

Kupicingkan mata di kegelapan, lalu beringsut keluar dari kamar mandi. Ia, Kang Dikin, sudah menungguku. Tangan kanannya mencengkeram potongan kepala.

"Ahh ... sudah kerja lama sama aku masih saja sering muntah. Payah kamu!" omel Kang Dikin sambil menggeleng-gelengkan kepala melihatku mengelap bekas muntahan di sudut bibir, "antar nih, kepala kambing ke rumahnya Cak Mat. Sudah ditunggu istrinya mau dibuat gulai."

"Cuma itu aja, Kang?" tanyaku, masih lemas.

"Ya enggak dong, Min ... kamu balik lagi nanti ke sini! Aku sama Kang Mitra masih harus ngulitin sama motong-motong dagingnya, habis itu baru kamu antar ke warung satenya Cak Mat. Sekalian kamu antar juga pesanan Bu Dirman untuk aqiqah cucunya, 'kan satu arah rumahnya. Gimana sih, kok nggak paham-paham sama tugasmu!"

Kang Dikin berlalu meninggalkanku masih dengan omelan-omelan meluncur dari mulutnya. Kulirik kepala kambing yang ditinggalkannya di lantai. Mata hewan itu begitu sayu, lidahnya menjulur, dan darah tampak merembes keluar dari sela-sela lehernya yang menganga. Perutku kembali berontak, dan ...

Hoeekk!

Kembali aku muntah, tanpa sempat berlari ke kamar mandi.



~SELESAI~


Sumber gambar: Mbah Gugel



Selasa, 13 Oktober 2015

#prompt92 - TANGIS METEOR

Satu kelas mendadak kipas-kipas waktu Matahari masuk.

"Mat, kaga bisa ape lu redupin dikit sinar lu? Gile, panas banget, nih!" Pluto yang sebangku sama Matahari nyeletuk kesal.

"Saya baru bisa redup nanti sore, To. Kamu sendiri kan juga tahu." Matahari menjawab kalem. Dia sudah biasa dengan segala macam komplain teman-temannya, jadi memilih tidak ambil pusing.

"Kalo kepanasan mending duduknya sama aku aja, To." Venus yang memang sudah lama naksir Pluto menawarkan diri.

"Beuh, kaga dah. Mending gue pindah duduk ame Jupe. Elu pan panasnye sebelas dua belas ame Matahari," sembur Pluto sambil melangkah ke arah Jupiter.

"Eeh ... Pluto! Berapa kali eyke bilang, nama eyke Ju-pi-ter. Bukannya Jupe! Gue lekong sejati, ngerti nggak yey?" Jupiter marah-marah dengan gaya melambai.

"Mane ade nyang percaye lu laki, kalu gaye lu macem ulet keket kerendem minyak tanah begono," Pluto nyengir bajing. Jupiter langsung buang muka. Kesal.

Saturnus, sahabatnya Jupiter, tidak terima kalau teman baiknya itu dijadikan bahan tertawaan. Ia pun bangkit dari duduknya sambil bertolak pinggang.

"To, jaga mulut kamu kalau bicara! Nggak sopan tauk, menghina teman sendiri begitu!"

"Yaelah, Sa ... Sa. Gue pan cuman becanda doang, nape jadi elu nyang keki, sih? Noohh ... si Jupe aje kaga ngamuk kayak elu!"

"Sa darling, makasih udah belain eyke, Say. Tapi mending kita berdua nggak usah dengerin omongan si Combro. Nggak penting, Cyiiinn ...!"

Penghuni kelas Galaksi kembali bersorak, kali ini mendukung Jupiter. Memang yang lain juga kadang sebal sama tingkah laku dan kata-kata Pluto yang suka nyablak. Dengar-dengar, logatnya Pluto berubah karena terbawa logat pacarnya, si Bumi.

"Sstt ... Mars kenapa, tuh?" Uranus menunjuk ke arah jendela. Sedari tadi memang hanya Mars yang tidak peduli dengan semua keributan di kelasnya.

"Lu kenape, Bro?" Pluto memghampiri Mars diikuti teman-temannya yang lain.

"Meteor ... dia akhirnya kembali," bisik Mars lirih. Pandangnya sendu mendongak Jagat Raya.

Gerombolan temannya ikut melihat ke atas. Larik-larik api memenuhi angkasa layaknya hujan, melaju lesat dengan kecepatan tinggi.

"Pacar yey bukannya cuma satu ya, Mars? Kok datengnya sekeluarga?"

"Bukan, Jup. Itu bukan keluarganya, tapi air matanya," desah Mars. Tiba-tiba ia melompat keluar jendela kelas.

"Air mata? Kenapa si Meteor nangis?" tanya Merkurius yang tadi ikut mencuri dengar.

"Kita liat aja deh, Mer, kayaknya bakal romantiisss ...." Jupiter menangkupkan kedua tangan di pipi, membayangkan apa yang akan terjadi.

Di luar jendela Mars merentangkan tangan lebar-lebar, menghayati tiap jatuhnya air mata Meteor. Meresapi hujan tangis kekasihnya. Hujan Meteor. Tiba-tiba satu cahaya sangat panas jatuh dengan bunyi ledakan memekakkan telinga. Meteor tiba.

"Me, kamu kembali." Mars merengkuh gadis di depannya. Tubuh gemerlapan itu terisak dalam dekapan Mars.

"Seperti janjiku bukan, Mars. Kekuatan cinta akan selalu membawaku kembali walau aku tidak bisa menetap lama di sini," isak Meteor.

"Tak apa, Sayang. Kita nikmati waktu yang sedikit ini sebaik mungkin." Mars merenggangkan tangannya, matanya menatap wajah Meteor yang berpendar-pendar dengan penuh kasih.

Kedua sejoli itu lalu pergi sambil bergandengan tangan, diikuti tatapan iri teman-temannya.

"So sweeett ...," seru Jupiter sambil mengusap matanya yang basah.



Rie||131015






Sabtu, 10 Oktober 2015

PULANG

"Ayaah!"

Rania berteriak gembira saat membuka pintu dan mendapati sang ayah dalam seragam loreng kebanggaan, memberinya senyuman paling menawan.

"Ayah kenapa lama? Rania kangen," celoteh Rania sambil memeluk sang ayah, "ayah kok kotor amat? Bau lagi. Pasti Ayah belum mandi!" Gadis kecil itu tiba-tiba melepaskan pelukannya dan menutup hidung, tanpa menunggu jawaban sang ayah.

"Rania ...," bisik lirih ibunda.

Rania tidak memedulikan teguran ibunya, ia tetap menutup hidung lalu melangkah mundur selangkah demi selangkah menjauhi sang ayah. Sebentar kemudian ia berlari dan berloncatan dari kursi ke kursi yang tertata rapi di luar rumah.

Hari itu ibunda Rania memang telah menyiapkan segala keperluan, untuk menyambut kepulangan suami tercinta dari tugas negara menjaga perbatasan di wilayah Papua Nugini. Tiga hari lalu bahkan sang suami ikut terjun langsung dalam upaya pembebasan warga sipil, yang mengalami penyanderaan di wilayah Keerom.

"Sudah Bu, ulah dikejar. Rania teh, biar saya saja yang ngawasin," ucap perlahan seorang tetangga menawarkan bantuan. Ia segera berlari ke arah Rania sambil memperbaiki kerudungnya yang lepas ditiup angin.

Ibu Rania kembali mengalihkan perhatiannya pada sang suami. Dirinya tak kuasa menahan kerinduan. Segera saja ia mendekap dan membelai wajah suaminya. Rasa sesak menggumpal di hati, meledak dalam jerit isak tertahan.

"Bunda kenapa nangis, sih? Kan ayah udah pulang, gak ninggalin kita lagi buat tugas." Rania sudah kembali berlarian di antara ayah ibunya.

"Rania, ulah ganggu Bunda, atuh. Kita main lagi, yuk."

"Gak mau! Aku mau sama-sama ayah. Gak pa-pa bau, yang penting ayah gak pergi lagi."

Gadis kecil itu meronta dalam gendongan tetangganya. Ia menjerit, menangis, memanggili ayah tercinta.

"Bu Ajeng, ambulance sudah siap. Upacara pemakaman Bapak akan segera dilaksanakan. Menunggu titah Ibu."

Tiada jawaban. Sang bunda hanya terus memeluk suaminya yang tersenyum dalam peti jenazah.

Rie||2015

( Alhamdulillah, ini kemarin menang event hari TNI )

Sabtu, 03 Oktober 2015

MEMORI METROMINI

Sumpah, orang tua saya Jawa 22-nya, tapi emang muka saya rada-rada Batak :-D

Walau awalnya bete dikira orang Batak, tapi ternyata justru muka kebatak-batakkan saya ini menguntungkan pas jaman sekolah!

Saat pulang dari sekolah saya yang ada di daerah Panglima Polim (pasti banyak yang tahu kan SMU Texas 46 :-P ), saya jadi sering digratisin kalau naik metromini 610 jurusan Pondok Labu-Blok M :-D

Kok bisa?

Pasti mau nanya gitu kan?

Ya bisalah! Karena mayoritas sopir dan kernet metromini itu kan asalnya dari tanah batak ya. Jadinya rasa kedaerahan tuh kental banget kalo liat ada orang dari daerah yang sama. Nah, gini lho ceritanya.

Saya paling seneng kalo naek bis, duduk paling belakang deket jendela. Alasannya, kayaknya keren dan agak-agak misterius gitu kalo diliat orang lain. Eeaaaa ... :v

Dari sini mulailah percakapan antara kondektur dan penumpang yang berujung naek kagak bayar. Ehehheheeh

Kondektur: "Sekolah di Texas kau?"
Saya: "Iya, Bang."

Kondektur: "Sering ikut tawuran? Cewek-cewek sekolah kau sering kuliat ikut tawuran."

Saya: "Itu angkatan dulu, Bang, tawurannya juga sesama cewek. Kalo angkatan saya udah insyaf. Tapi ada juga sih, dua orang temen saya yang suka ikut tawuran cowok-cowok."

Kondektur: "Ooh ... begitu? Kau ini orang Batak, bukan? Mukamu macam orang Batak saja."

Saya: "Iya, Bang." (setelah melakukan penyangkalan tapi gak dipercaya)

Kondektur: "Ah, benar kataku. Margamu apa?"

Saya: "Siregar." (nyomot marga temen)

Kondektur: (ngomong bahasa daerahnya)

Saya: "Saya gak ngerti, Bang. Saya gede di Jakarta."

Kondektur: "Ah, macam mana pulak. Harusnya kau belajar, biar paham bahasa nenek moyang kau."

Saya: (manggut-manggut)

Percakapan terhenti. Kondektur ini lalu bolak-balik nagihin ongkos ke penumpang lain. Tapi saya kok gak ditagih-tagih? Pikir saya.

Saya: "Bang, ini ongkosnya. Lupa ya?" (ngangsurin duit)

Kondektur: "Ah, sudah simpan saja tak usah bayar."

Saya: "Makasih, Bang." (nyengir bajing)