Rabu, 30 September 2015

IA YANG KEMBALI


"Aku di danau, aku masih hidup!"

Andhita tersentak, terbangun dari tidurnya dengan keringat sebesar-besar jagung. Mimpi yang sama selama tiga malam ini.

Harus kucari tahu sekarang, katanya dalam hati.

Danau di belakang rumah tampak pekat, hanya sedikit cahaya bulan membantu penglihatannya saat berjalan menuju dermaga.

"Sekar ...!" pekik Andhita tertahan, tak ingin terdengar orang lain.

Angin teramat keras mendadak menampar tubuh Andhita.

"Aku di sini." Satu suara dingin menjawab.

Andhita menoleh cepat, secepat Sekar mencekik lehernya dan menariknya ke dasar danau. Sama seperti yang dilakukan Andhita tiga hari lalu padanya.

~end~

Kamis, 24 September 2015

RAHASIA RUMAH KOSONG

"Masak sih, kayak apa setannya?"

"Kuntilanak nge-pink yang nongol lagi?"

"Genderuwo ijo kayak minggu kemarin, bukan?"

"Lo sampe ngompol gak liatnya?"

Pertanyaan teman-temannya yang bertubi-tubi membuat Rojak kewalahan untuk menjawab.

"Tunggu ... tunggu, gue bingung jawabnya kalo gini!" teriaknya, "yang pasti tuh setan sempet nabok pipi gue, liat niih ...." Rojak pun memamerkan pipinya yang kebiruan.

"Iih, sadis! Berarti kita gak bisa main bola di rumah kosong ini lagi, dong?" Imran yang paling tengil angkat bicara.

"Udah dua mingguan si Rojak mulu yang diganggu, jangan-jangan besok giliran kita." Pita, satu-satunya cewek di kelompok Rojak, bergidik ngeri.

"Hmm ... ya udah, mulai besok kita pindah main bolanya di lapangan belakang rumah Pakde Miko," putus Anji, yang paling dituakan di kelompok.

"Serem ah, Pakde Miko kan galak. Inget gak waktu bola kita masuk pekarangannya?"

"Serem mana, Dun, sama ditabok jurig?!" Arya ikut berkomentar, "udah deh, sekarang juga kita cabut dari sini. Tengkuk gue jadi merinding disko, nih!"

Rombongan teman-teman Rojak pun bangkit berdiri setelah diskusi kecil mereka di depan pagar rumah kosong, urung main bola di pekarangan luas rumah itu.

"Gue nanti nyusul ke lapangan, ngambil sendal gue dulu yang ketinggalan!" teriak Rojak.

"Masih berani lo?" tanya Midun heran.

"Takut sih, tapi gimana lagi, tuh sendal baru dibeliin mama, tar ditanyain lagi."

Midun tak bertanya lagi, langsung berlari mengejar teman-temannya yang telah jauh.

Pelan-pelan Rojak membuka pintu pagar rumah kosong, terdengar derit dari engsel pintu yang telah berkarat. Ditariknya napas dalam-dalam lalu bergegas menuju halaman belakang. Langkahnya tergesa-gesa, sesekali ia menengok ke belakang karena merasa ada yang mengawasi. Tiba-tiba ....

"Dek!"

"Aaahhh ...!" jerit Rojak tertahan.

"Aduuh, maaf Dek, ndak maksud ngagetin je. Cuma mau ngasihken sendalnya yang tadi disuruh umpetin. Wis muleh kabeh kanca-kancamu, toh?"

"Gak ngerti ah, maksud Pakde."

"Sudah pulang semua kawan-kawanmu?"

"Iya De, pindah ke lapangan Pakde Miko. Pakde gak usah takut ketahuan lagi. Mulai hari ini kita gak akan main di sini."

"Matur nuwun sanget, eeh , makasih banyak, Dek."

"Sama-sama, Pakde. Semoga cepet dapat kontrakan yang layak, gak tinggal di rumah yang udah mau rubuh kayak gini."

"Aamiin."

Setelah mengucapkan salam, Rojak pun berlalu pergi. Merasa bersyukur dapat membantu Pakde Cahyo, penjual bakso di dekat sekolahnya yang kiosnya kebakaran beberapa waktu lalu.

Semua rekayasanya tentang kuntilanak nge-pink, genderuwo ijo, hanyalah caranya agar teman-temannya tak mengetahui keberadaan Pakde Cahyo, karena tinggal di rumah kosong itu tanpa ijin dari RT setempat.

"Gak sia-sia ikut Komunitas Make Over," lirih Rojak berucap yang ditujukan untuk dirinya sendiri sambil mengusap pipinya yang kebiruan, hasil riasannya sendiri.

~selesai~

(Sumber gambar: Twitter)

Jumat, 18 September 2015

BILA SAJA AKU KAU

Bila saja aku, bila saja kau
bila kita mampu bicara tanpa ragu
tentu takkan datang kelu
ciptakan bisu

Bila saja aku, bila saja kau
bila kau simak apa mauku
sebelum menuntut apa maumu
pasti sembilu itu takkan tancapkan pilu
di relung-relung kalbu

Bila saja aku, bila saja kau
bila kita sama mau padamkan api
sebelum jadi abu
tinjumu takkan mengepal di mukaku
tinggalkan parut membiru

Bila saja aku, bila saja kau
bila dulu aku cukup berani mengaku
bukan kau kutuju
mungkin bisa kuledakkan batu di kepalamu
hingga airmata tak perlu mengadu

Bila saja aku, bila saja kau
bila waktu memihakku dulu
kau aku takkan terikat janji semu
patahkan hatiku

Bila saja aku, bila saja kau
bila tak perlu sama tahu
bila tak mau tahu
bila aku membisu
bila kau jauhi aku
tak mungkin kau aku menyatu
karena bukan mauku




Jumat, 11 September 2015

#Prompt87 - DAWAI YANG HILANG

"Kau sudah lama menungguku, Samuel?"

Satu suara lembut menyapa, menggelitik rongga-rongga telinga. Tubuh Alina meluncur turun dari dalam lubang gitar, meliuk-liuk pada lantai layaknya ular sebelum akhirnya memanjat tungkai kakiku.

Di pangkuanku tubuhnya memadat, rambut keperakan miliknya berdenting halus memainkan nada-nada melankolis.

"Aku menanti ini,"–aku meremas rambut peraknya–"kenapa kau lama sekali?!"

Alina membisu. Jemariku lalu mulai mencabuti beberapa helai rambutnya hingga nyanyian tadi terhenti.

"Kau hanya mencintai rambutku bukan, Samuel?"

Alina beranjak, menatapku lekat dengan sepasang mata keperakan.

"Tidak, kau salah. Yang kucintai  hanyalah tubuh mudaku, Alina. Kau tak tahu betapa tersiksanya hidup di tubuh renta itu, bila kau sedikit saja datang terlambat."

Tanganku terulur, helaian rambut perak di tanganku berlomba turun. Kaki-kaki mereka dengan gesit berlarian menuju gitar tuaku yang tak berdawai. Sampai di sana mereka berhenti, menatap Alina.

"Ayo Alina, katakan pada mereka."

Alina bergeming.

"Aku sudah membantumu selama bertahun-tahun. Apa imbalannya untukku kali ini, Samuel?"

"Ap-apa?! Kau tak pernah meminta apa pun sebelumnya!"

"Aku memintanya sekarang."

"Kumohon Alina, cepat perintahkan mereka! Aku sudah mulai menua!"

Aku berlari menuju cermin di dinding kamar. Rambut hitam tebal kebanggaanku perlahan memutih. Kusingkap bajuku. Tak ada lagi dada bidang berotot, yang tersisa hanya selembar tubuh kering dengan tulang-tulang rusuk bertonjolan.

"Apa imbalannya, Samuel?"

Di depanku Alina seolah mengulur waktu. Riapan rambut peraknya kembali bersenandung, kali ini nadanya menghentak, membentur dinding otak. Seketika ingatanku melayang pada tubuh ranum perempuan-perempuanku. Oh, aku sangat merindukan mereka.

"Apa pun akan kuberikan, tapi tolong bantu aku!"

Aku berteriak panik. Kulitku mulai mengelam, keriput menjalar keluar dari lubang telinga memenuhi area wajah dan tubuh. Punggungku berderit, tulang-tulangnya saling dorong memaksaku membungkuk.

"Alina ...," panggilku putus asa.

Di depanku Alina tersenyum misterius.

"Anak-anak, mulailah bermain!" teriak Alina.

Helai-helai rambut perak tadi mengangguk. Tubuh ramping mereka memanjat gitar tua, terus masuk melalui celah handle, lalu mengikat tubuh mereka pada stemmer gitar.
Terdengar kembali nada-nada magis tanpa seorang pun memetiknya.

"Aah, aku merasakannya, Alina!"

Aku tertawa, berputar-putar sambil merentangkan kedua tangan, memejamkan mata menikmati sensasi aneh saat sel-sel tubuhku diperbarui.

Kubuka mata. Cermin di dinding memantulkan wajah rupawan dengan senyum menawan. Aku kembali muda.

Nada-nada indah masih terus berdentingan memenuhi udara.

"Katakan Alina, apa keinginanmu? Cintaku kah, tubuhku?"

Alina perlahan mendekat. Mata keperakannya berpendar-pendar,"-tapi bukankah kau tidak mencintaiku, Samuel?"-lalu dua bulir kristal perak meluncur jatuh.

"Lalu apa maumu?" tanyaku datar.

"Aku ingin pergi. Selamanya."

Mendadak lantunan nada-nada terhenti. Helai-helai dawai perak melepaskan ikatan mereka.

"Ja-jangan. Tidak mungkin. K-kau ti-dak akan me-melakukannya!"

Suaraku? Nadanya kembali tua dan parau. Oh, tidak!

Tubuh Alina kembali meluruh seperti sehelai sutra, meliuk-liuk di lantai, lalu merambat naik memasuki lubang gitar. Helaian dawai perak berlarian menyusul Alina.

"Aaarrgghh!"

Bersamaan dawai perakku menghilang, tubuhku kembali ringkih, tulang-tulang di punggung menendangku hingga aku kembali terbungkuk.

"Alina ...."

Hampa. Tiada sahut. Aku menangis seketika, meraba dawai yang kini tiada, berharap tubuh mudaku kembali.

Rie||110915

Sumber gambar: Lukisan Pablo Picasso 'The Old Guitarist'



Rabu, 09 September 2015

#FFRABU - SENYUM TERAKHIR

Adegan di film tadi begitu membekas di benakku. Ya, memang itu yang seharusnya dilakukan terhadap kekasih yang berselingkuh. Tokoh prianya telah melakukan hal yang tepat, dan ia tidak bersalah sedikit pun atas perbuatannya. Aku pun akan melakukan hal yang sama seandainya aku jadi dia.
Aku senang film ini yang kami tonton, walau Senna sempat mengusulkan yang lain.

"Pink Cadillac aja, itu lagi box office."

"Senyum Terakhir sepertinya lebih menarik, Sayang."

Senna gelisah di kursinya, ia melirikku berkali-kali.

"Senna ...," panggilku.

Gadisku menoleh, aku memberinya senyum terakhir, membuka pintu mobil, dan melompat, tepat sebelum mobilku masuk ke dalam jurang. Seperti adegan di film tadi.

Rie||090915

#FFRabu
@mondayFF


Sumber gambar: Mbah Gugel


Senin, 07 September 2015

YANG HILANG (PART I)

Alunan musik Gambang Kromong terdengar dari seberang jalan. Tergesa aku turun dari angkot, dan hampir saja lupa membayar ongkos kalau saja tidak diteriaki abang sopir.

"Neng Negro, ongkosnya belom!"

Ups, negro. Enam bulan tinggal di Indonesia, tepatnya di Jakarta, tidak membuat kupingku terbiasa dengan panggilan rasis itu.

Ya, itu rasis. Bahkan di Eropa dan Amerika julukan itu diharamkan, walau banyak juga orang-orang di Aussie memanggilku begitu. Kupikir, hanya karena aku berkulit legam dan berambut keriting kaku, tidak lantas membuat setiap orang berhak memanggilku negro.

"You're late again, Sista." Zaqi berbisik di telinga saat aku mengambil posisi di sebelahnya.

"Traffic jam," jawabku singkat.

Segera aku keluarkan Tehyan dari sarungnya, membuka buku notasi lagu, lalu menyimak sudah sampai di mana permainan mereka sebelum akhirnya konsentrasi menggesek Tehyan. Lagu Sip Pat Mo.

"Jaga temponye, Lik!"

"Zaqi, lu masuknye kecepetan!"

"Yang pegang Tehyan ame Kongahyan tolong selarasin nadanye!"

Teriakan ayah Tatang, pelatih kami, nyaring terdengar di selasar gedung BLK (Balai Latihan Kesenian) ini.
"Neng Clara, pas bagian Mitra main Tehyan sendiri, ente berenti dulu geseknye!" Ayah Tatang menegurku, aku menatapnya bingung.

"When Mitra plays solo, all of other Tehyaner is stopping rub the string." Zaqi menerjemahkan. Aku mengangguk paham.

Ayah Tatang, pria bertubuh tambun berumur empat puluhan tahun itu, sebenarnya memiliki pribadi yang lucu dan menyenangkan, tapi semuanya berubah saat sesi latihan dimulai. Air mukanya akan berubah mengeras, teriakan atau pun teguran akan sering keluar dari mulutnya saat kami melakukan kesalahan.
Kami berlatih sampai sekitar dua jam lagi, sampai akhirnya ayah Tatang memberi aba-aba selesai saat jam menunjukkan pukul lima.

"Mau langsung capcus, Clara? Nongkrong dulu aja bareng kita, yuk," ajak Kelik, pemain Sukong di grup, saat aku membereskan peralatan Tehyan. Selagi aku masih mencerna kata-kata Kelik, Sisi sang vokalis ikutan nimbrung.

"Ayah Tatang ultah. Kita semua mau ditraktir makan di mie aceh Ali. Kamu ikut ya?"

"E-at tuge-dher?" Kelik menambahkan kaku.

"Okay."

Aku tidak yakin apa yang mereka katakan, tapi sepertinya jawaban itu yang mereka inginkan. Terbukti keduanya langsung berteriak kegirangan.

"Lik, bantuin dulu, dong!" Tiba-tiba Iwan, pemain Kromong, berteriak memanggil.

Diisyaratkan kepalanya pada Gambang dan Kromong yang belum dikembalikan ke ruang alat. Iwan sendiri sibuk menggotong Gong bersama dengan bang Pendi, beberapa orang lelaki lainnya memindahkan Gendang.
Pekerjaan mengembalikan alat-alat musik yang berat ke ruang alat, memang menjadi urusan kaum lelaki. Kami yang perempuan, kebagian membereskan alat-alat yang lebih ringan seperti, Tehyan, Kongahyan, dan Sukong. Ketiganya alat musik gesek, hampir sama dengan rebab hanya berbeda di ukuran tempurung (batok kelapa), dan senarnya.

"Clara, somebody is looking for you."

Tahu-tahu Zaqi menepuk pundakku. Di grup Gambang Kromong, dia yang paling dekat denganku, bahasa Inggrisnya juga paling baik.

"Who?"

"Well, it's rather weird. She said that she's your twins. But she doesn't look like you." Kulihat kebingungan tampak jelas di wajahnya, jantungku sendiri berdetak lebih cepat. Mungkinkah?

"Dia bilang namanya Cindy. Is that true, Clara? Dia, kembaranmu?"

Aku tak menghiraukan kata-kata Zaqi, karena detik berikutnya aku bangkit dari duduk, menengok ke arah yang ditunjuk Zaqi, dan yah ... benar. Gadis itu ada di sana, tampak cantik seperti biasa dengan rambut ikal pirang, mata biru besar, dan kulit putihnya. Seseorang yang sempat menorehkan luka, seseorang yang membuatku pergi dari Australia dan memilih menjejakkan kaki di tanah Indonesia. 

"Sis ...." Sapaan Cindy pertama kali saat aku menghampirinya.

"Mau apa lagi?! Mau membuat kacau hidupku di sini?!"

Di depanku Cindy tampak salah tingkah. Aku berbalik meninggalkannya, meneruskan pekerjaanku sebelumnya.

"Sis, dengar dulu. Aku ...."

"Saat ini aku tak ingin mendengar apa pun darimu!" bentakku.

Nada kerasku dan kehadiran Cindy rupanya menarik perhatian teman-temanku. Terbukti beberapa kali kutangkap kata 'twins' dari mulut Zaqi, bahkan sempat kudengar Sisi berteriak, "OMG ...!" sambil menggeleng kuat-kuat. Ya, siapa yang akan percaya. Aku si legam punya kembaran berkulit putih.

"Clara, please, we need to talk."

"Nggak ada lagi yang harus kita bahas!"

"I miss you, Sis."

"Nonsens!"

"Noo ... it's true. Aku masih tak percaya waktu kamu memutuskan pergi. Kenapa kau tak pernah mau menerima teleponku? Dan emailku, tak satu pun kau balas."
Aku diam saja tak menggubris kata-kata Cindy, pura-pura merapikan susunan bukuku yang sudah rapi. Dari ekor mata tampak ayah Tatang sibuk menggiring teman-temanku ke ruangan sebelah, meninggalkan aku bersama Cindy berdua saja.



YANG HILANG (PART II)

"Sis, look at me!" Cindy menyentak tanganku, "aku kehilanganmu, Sis. Bahkan sampai sekarang aku tidak tahu mengapa kamu memilih kuliah di Indonesia, padahal kita sama-sama diterima di UWA?!"

"You know exactly why! Jangan bilang kamu lupa farewell party di high school kita!"

"Aku tidak lupa, Clara. Justru itu salah satu sebabnya aku ke sini. Aku ingin minta maaf."

"Kau pikir dengan minta maaf masalah selesai?"

"Lalu aku harus apa? Mencium kakimu? Bersujud mohon ampun? Gee, Sis, kenapa kamu terus mengingatnya? Malam itu kami cuma bercanda."

"Bagimu bercanda, bagiku itu penghinaan. Aku saudaramu, tapi kau dan gerombolanmu selalu mengatai-ngatai aku seperti Clarabella, tokoh sapi di film kartun. Apa aku harus tertawa disamakan dengan binatang walau itu hanya, apa katamu itu? Kartun yang manis? Dia tetap sapi!"

"Come on, Clara. Marahmu tidak pada tempatnya." Kudengar Cindy mendengus geli.

"Ini yang katamu datang untuk minta maaf? Bahkan aku tidak melihatmu merasa bersalah atas peristiwa itu!"

"Sis, itu hanya poster."

"Ya, hanya poster! Hanya poster wajahku bersanding dengan muka Clarabella 'Si Sapi' yang kau dan teman-temanmu pasang lengkap dengan tulisan 'The Real Twins'. Di sepanjang lorong sekolah, di semua lantai!" jeritku.

"Well, it's not a big deal, kamu terlalu main perasaan. It's just jokes!"

"Oh, begitu. Lelucon, huh?! Jadi menurutmu juga lucu, saat kalian mengunciku di toilet sekolah? Lucu, saat Mike meninju mukaku karena dia bilang dia benci negro? Lucu, saat kalian menumpahkan bekal makan siangku, melempar sepatuku ke ring basket, menyembunyikan PR Math sampai aku dihukum Mr. Flinch, membuang science projectku ke tong sampah, dan lain sebagainya itu! Lucu menurutmu?!"

"Aku sadari yang itu memang sedikit keterlaluan."

Aku mendelikkan mata padanya.

"Okay ... okay, hampir sebagian besar perbuatan kami kepadamu sangat keterlaluan. I'm really sorry, tapi aku bersumpah tidak tahu kalau Mike pernah memukulmu."

"Bagaimana mungkin kau tidak tahu, semua kejahilan kalian adalah rancanganmu!"

"Clara, please, aku jauh-jauh ke sini karena aku tahu aku salah. Aku hanya tidak tahu bagaimana caranya meyakinkanmu bahwa aku sungguh-sungguh."

"Kau bisa memulainya dengan berlaku jujur, dan berhenti berpura-pura seolah kau tak tahu apa pun, seolah itu hal biasa untukmu." Sekilas kulihat Cindy berkaca-kaca sebelum ia cepat-cepat menundukkan wajahnya.

"Kita memang berbeda, Cindy. Aku sama dengan Daddy, hitam. Kamu dengan kulitmu yang bagai pualam itu sama persis dengan Mommy. Tapi itu tidak menjadikan kamu berhak untuk menghinaku, saudara kembarmu sendiri. Berkali-kali. Dan puncaknya malam itu," ucapku tajam.

Kuluapkan semua emosiku yang tertahan selama ini. Betapa pernikahan campuran antara Dad yang Nigeria dan Mom yang asli Australia, telah membuat hidupku mengalami perlakuan rasial dari lingkunganku di Aussie, bahkan di sini. Di depanku Cindy menangis sesunggukan.

"I envy you, Clara. Itulah sebabnya kulakukan semua itu." Di antara sengguknya, Cindy mencoba menjelaskan.

"What?! Apa aku tidak salah dengar? Kamu? Iri padaku?"

"Nope, kamu nggak salah dengar. Kamu ingat, Mom selalu memuji kepintaranmu memasak. Lalu Daddy selalu bangga dengan nilai-nilaimu yang memuaskan. Kamu seperti Super Girl, kamu mampu melakukan apa pun, sedang aku?"

Aku menatapnya linglung, tak percaya dengan apa yang kudengar. Kujatuhkan tubuh di sampingnya, dan tanpa sadar aku telah memeluknya.

"Tapi Mom juga selalu memuji kecantikanmu di depan teman-temannya. Dan Dad, dia cuma mau kamu yang bantu dia cuci mobil, karena aku tidak pernah becus tentang hal itu," kataku masih setengah linglung.

"Lalu apa artinya, Sis?" Cindy menjauhkan tubuhnya dariku.

"Dipuji karena jago cuci mobil dan dipamer-pamerkan ke orang-orang sebagai putri cantik seperti dalam dongeng. Apa gunanya? Bahkan mereka tega kasih nama aku Cinderella sedangkan kau Clarabella. Bukan kamu saja yang jadi bahan olok-olokkan, Sis."

Cindy tertawa panjang mengingat kekonyolan nama kami, entah apa yang merasuki benak orangtua kami dulu saat memberi nama itu kepada kami. Lamat-lamat aku ikut tertawa bersamanya. Awalnya agak kaku, lalu segalanya mengalir begitu saja. Aku tertawa terbahak-bahak di samping Cindy yang sampai terbungkuk-bungkuk.

"So, can you forgive me now, Clara? Untuk semua salahku?"

Cindy meraih tanganku dan menatapku dalam setelah tawa kami menghilang. Raut mukanya yang serius menatapku penuh harap.

"Can you ...?" ulang Cindy lagi.

Aku terdiam, tak segera memberi jawaban. Kuakui kalau aku pun merindukan Cindy. Berada jauh darinya dengan menerima tawaran Uncle Budi dan Aunty Steffy untuk kuliah di sini, tak membuatku berhenti memikirkannya. Di sudut hati kecilku, sebenarnya telah lama aku memaafkan Cindy.

"At least ...."

"Asal saja apa?" potongnya cepat.

"Asal kamu maafin aku juga, dengan semua perasaan irimu itu yang aku tidak tahu, yang membuat kita bermusuhan lama."

"Okay, aku maafin," jawab Cindy cepat. Senyumnya merekah, kami lalu berpelukan hangat.

"Eits, satu lagi," kataku.

"Apa?"

"Kamu harus datang liat perform aku di Gedung Kesenian Jakarta minggu depan. Pakai kebaya encim."

"Perform apa? Yang tadi sempat aku lihat itu? Kereeen, musik apa namanya? Kok kamu bisa mainin? Kuliah kamu gimana? Kebaya encim, itu apa?"

Aku hanya tergelak mendengar berondongan pertanyaan Cindy, kubiarkan saja ia dengan pertanyaannya. Satu yang pasti, aku bahagia kami sudah berbaik kembali. Kami yang hilang sudah saling menemukan. Menemukan saudaraku. Kembaranku!


~the end~


Minggu, 06 September 2015

SUATU MALAM BERSAMA DHEA

Kenalin, nama gue Harmoko, panggilan Komo. Gue jomblo, dan nggak ada di diri gue yang patut dibanggakan. Gue cuma tinggal di kost-an di gang sempit, punya kerjaan tapi belum cukup buat menghidupi diri sendiri apalagi buat jajanin anak orang, tampang pas-pasan, dan satu-satunya kendaraan yang gue punya cuma vespa warisan kakek. Bayangin deh bututnya.

Kalaupun masih ada yang bisa gue banggain, mungkin cuma si Dhea. Siapa tuh, Dhea? Pasti mau nanya gitu kan? Baca aja cerita gue di bawah, tar juga tahu.

***

"Awas ya, jangan sampe malu-maluin gue."

"Yaelah, Mo, tenang aja keless. Lu kan tahu gue orangnya kucing malu-malu."

"Malu-malu kucing!"

"Yah, itu. Pokoknya lu nggak usah khawatir. Oke?! Capcus kita?"

Setengah terpaksa, gue mengiyakan niat agak baiknya Dhea untuk jadi pacar gadungan gue malam ini. Haiyah! Apa pula artinya itu?

Gini, bulan September yang basah ini rupanya diminati orang-orang untuk kawin, eeh, nikah. Terbukti dari banyaknya undangan pernikahan mampir ke gubuk sunyi gue nan sepi.

Sebagai jomblo rada teladan alias jordan (gue ogah dibilang jones: jomblo ngenes), gue sih cuek-cuek aja kalaupun harus datang ke acara kawinan seorang diri. Paling rada nyesek kalo ketemu teman-teman terus ditanya, 'gandengan lu mana?', 'masih jomblo aja dari dulu', 'kapan nyusul?', 'awas lho, kelamaan bisa jadi perjaka tua', bla bla bla.

Beda sama Dhea, tetangga kost gue yang hobinya cari makan gratisan termasuk di acara kawinan. Dia bilang, berarti gue harus ngebuktiin ke mereka bahwa gue sebenarnya laku walau tampang gue absurd, punya pacar bohay semlohay walau gadungan, punya karir cemerlang di pom bensin tempat kerja gue, cuma kalau sampai sekarang belum nikah, itu karena kepentok biaya. Hhm ... ini sih, si Dhea mau jatuhin gue namanya.

Intinya, si Dhea nawarin diri jadi pacar gadungan, karena ngarep makan gratis di kawinan sobat gue, Rio. Yang bikin ketar-ketir, gue hafal banget kalo Dhea makannya banyak. Takutnya dia malu-maluin, tapi kalo nggak diiyain kasian juga, tuh anak seharian belum makan.

Menurut pengakuannya, dia cuma ngemil mie rebus dua mangkok, martabak sisa semalem empat lonjor, segelas gede kolak pisang dari ibu kost yang tumbeeenn baek, lontong sayur satu setengah piring. Nah, yang setengah piring punya gue tuh diembat.

Ya sudahlah, demi perut Dhea yang sudah berteriak lapaaarr, akhirnya terdamparlah kami berdua di kawinannya Rio.

"Wooyyy, Komo my brooo, dateng juga lu, my maaan!"

Rio langsung meluk plus nepok-nepok punggung begitu gue kasih selamat. Saras, bininya, ngelirik Rio jutek. Wajar sih kata gue. Penganten kan harusnya jaim dikitlah, tapi si Rio gue liatin dari pas gue dateng emang petakilan banget.

"Wah, siapa nih, Mo, tumben?"

Nah, gini nih yang bikin males. Tumben katanya? Ketahuan banget jomblonya.

"Haiii, kenalin. Dhea, pacarnya Komo. Semoga langgeng ya perkawinannya."

Dasar edun, Dhea maen ngenalin diri sendiri aja. Tapi bagus deh, gue jadi nggak beban karena harus ngeboong, asal gue jangan kelamaan di deket Rio kalo nggak mau ditanya-tanya.

"Eeh Rio, antriannya panjang, nih. Tar lagi ngobrolnya."

Gue ngelambaiin tangan, dan tanpa perlu gue seret dari pelaminan, Dhea langsung ngucluk ke meja prasmanan.

"Saatnya makaaannn," bisik Dhea di kuping gue. Dalam hati gue langsung baca ayat Kursi sama doa-doa pendek, semoga nih anak makannya nggak kalap.

"Luh nghaak mhakhang, Mho?"

Doa gue mungkin kurang khusyuk, karena tanpa perasaan bersalah, dengan mulut penuh Dhea nawarin gue makan, untuk kesekian kalinya. Padahal perut gue udah mules saking cemasnya. Gimana enggak, semua orang termasuk yang punya hajat ngelirik jutek ke gue dan Dhea. Kalo gue taksir, ada deh si Dhea makan empat nampan. Nampan ya, bukan piring!

"Buruan makannya, gue mau pulang!" pekik gue tertahan.

"Gue belom nyobain kambing gulingnya, Mo."

Baru aja gue mau marahin tuh anak, tiba-tiba ....

"Hiikk ... aakkhh ... aarrggkk!"

"Lu napa, Dhe?!"

Gue teriak panik, tapi Dhea cuma nunjuk-nunjuk ke arah mulutnya sambil masih bikin suara-suara aneh.

"Aakhh ... haarrggkk!"

Gue manggil-manggil namanya panik, orang di sekeliling gue pada ngumpul. Lalu entah darimana datangnya, tahu-tahu ada seorang bapak segede kulkas jumbo dua pintu nepok-nepok leher dan punggung Dhea dari belakang.

"Hoeekk!"

Sepotong tulang ayam yang lumayan gede keluar dari mulut Dhea. Tuh anak langsung bersandar lemas di bangku, mukanya pucet, tuh bapak-bapak disalamin hampir semua orang.

"Pacarnya bawa pulang aja, Mas. Lagian sih, makan ayam sama tulang-tulangnya."

"Iya, malu juga kan, diliatin orang-orang. Pulang aja gih."

Kok, tuh orang berdua ngedesak gue banget ya? Pas gue tegesin mukanya, mereka adalah mbak-mbak yang kebagian tugas nge-cek makanan di meja prasmanan. Seinget gue lagi, mereka tadi sempet lirik-lirikan cemas sama ibu mertuanya Rio, waktu Dhea bolak-balik ke meja prasmanan untuk ke tujuh kalinya.

"Mo, mintain plastik, Mo." Tiba-tiba Dhea berucap lemah.

"Lu kenapa? Mau muntah?!"

Gue panik! Males banget kan kalo bener-bener Dhea muntah di tempat. Di acara kawinan orang pula.

"Bukan Mooo  ...!" Dhea mendelik gemas.

"Terus buat apa?"

"Buat cupcake yang di sono, "-Dhea menunjuk ke deretan gubuk-gubuk makanan-"buat dibawa pulang."

"Enggak! Ayo pulang!" Gue berdesis di depannya. Sok najemin mata gue walo terhalang kacamata.

Setengah merengut Dhea manut. Gue terlalu malu buat pamit sama Rio, akhirnya langsung aja pergi.

"Kan gue udah bilang, jangan malu-maluin!" omel gue begitu nyampe parkiran.

"Emangnya gue bikin lu malu?" Dhea memandang gue polos.

"Bangeeett!"

"Ya udah, maaf, sih."

Gue menghela napas. Asli sebel, nih cewek minta maaf kayaknya enteng banget. Emang kelar gitu rasa malu gue begitu dia minta maaf?

"Dhe, emang dari dulu makan lu banyak kayak gitu?" tanya gue penasaran sambil make jaket motor gue.

"Enggak sih, baru setahun ini abis Rendra mutusin gue."

Gue langsung nengok ke dia, tuh anak lagi ngurek-ngurek aspal pake ujung sepatu ketsnya. Perasaan tiap malming dia jarang ada di kost-an.

"Kalo malming gue biasa jalan sendiri atau bareng temen-temen sesama jombloers, bukan jalan sama pacar," kata Dhea lagi seolah membaca pikiran gue.

"Terus, karena putus makanya pelarian lu ke makan, gitu?"

"Yaah, nggak juga. Gue cuma berharap badan gue jadi melaaarrr, supaya kalo akhirnya ada cowok yang mau sama gue, berarti dia tertarik sama gue bukan dari segi fisik."

Gue mengangguk-angguk, mencoba menganalisa alasannya. Secara fisik, Dhea emang kece badai, bodinya aja ngalahin gitar spanyol. Jadi kalo dia ngarep ada cowok yang nggak tertarik ke dia secara fisik, ya susah banget.

"Tapi lu liat kan, Mo, badan gue segini-gini aja. Mungkin gue nggak bakat 'kali ya gendut?" sambung Dhea.

Sampai sini Dhea ketawa, lamaaa banget, terus nangis. Ih, aneh nih anak.

"Kenapa, Dhe?"

"Mo, lu nyadar nggak sih? Kalo gue nggak gendut juga, terus gimana gue bisa ngetes ketulusan cowok yang mau deketin gue?! Capek Mo, tiap pacaran ternyata gue nemuin kenyataan kalo cowok gue cuma menilai fisik. Gitu ada yang fisiknya lebih oke, gue ditinggalin. Kampret kan?!

"Enak yang alami dari sononya kayak elu, Mo."

"Maksudnya?"

"Yah, tampang elu kan di bawah standar, plus lu pake kacamata minus yang tebelnya ngalahin wedgesnya ibu kost yang bikin tampilan lu langsung anjlok. Badan lu cungkring, kulit gelap yang jauh dari eksotis, tinggi badan yang terlampau menjulang kayak layang-layang. Buat selera pasar, ibaratnya kalo didiskon, belum tentu elu dilirik, Mo."

Deg!

Nancep banget omongan Dhea di hati gue, nyelekiiit banget, bangeettt!

"Terus?"

"Sekarang lu jomblo, Mo, tapi kalo sampe ada cewek yang naksir sama lu, sumpah, berarti itu cewek emang mencintai lu apa adanya, dan elu beruntung banget. Lu nggak perlu susah-susah kayak gue buat ngetes orang yang ngedeketin lu. Ngerti kan maksud gue?"

Lama banget sebelum akhirnya gue ngangguk, dan sepanjang perjalanan kami balik ke kost-an, otak gue terus mengulang-ulang omongan Dhea tadi, bahwa gue beruntung ... beruntung!

Senyum gue mengembang. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, berkat Dhea, tetangga kost yang kalo ngomong asal njeplak, gue telah melihat diri gue dari sudut pandang berbeda.

Nama gue Harmoko, panggil aja Komo. Gue bangga dengan hidup dan kehidupan yang gue punya.




Jumat, 04 September 2015

PERJALANAN

#distikon

Sepanjang perjalanan yang pekat
Kutasbihkan harap saat jarak menyekat

Jiwa-jiwa kerontang khianati tuannya
Dada membisu melupa syairnya

Air mata tertumpuk di ujung sajadah
Tak lagi luah saat tangan tengadah

Jalan pulang kian jauh menghitam
Langkah terhenti di sudut kelam



Kamis, 03 September 2015

Sketsa Jingga

SEPENGGAL CINTA UNTUK MBOK NIRAH

(BAGIAN II)

Di pengepulan ....

"Ini saja, Mbok?" tanya pak Cokro sambil membantu menurunkan gulungan-gulungan besar lidi dari gendongan Mbok Nirah.

"Iya, Pak."

"Lima kilo!" teriak anak buah Pak Cokro usai menimbang.

"Jadi lima ribu ya, Mbok." Pak Cokro mengangsurkan selembar lima ribuan sebagai upah mbok Nirah.

"Oh iya, sudah dikabari Ratmi tho, Mbok?" tanya Pak Cokro sambil menatap mbok Nirah dari balik kacamata tebalnya.

"Kabar apa ya, Pak?" Mbok Nirah tampak kebingungan.

"Lha ... gimana kamu ini, Mi. Tadi pagi sudah aku pesenin tho?!" Pak Cokro menatap tajam Ratmi melalui bahu Mbok Nirah.

Berdiri di belakang Mbok Nirah, Ratmi hanya membuka dan menutup mulutnya berkali-kali, tapi tak satu pun kata yang keluar. Tangannya bergerak-gerak memberi isyarat agar Pak Cokro tidak mengatakan apa pun.

"Kamu kenapa?! Kayak mujaer begitu!" bentak Pak Cokro.

"Jadi begini, Mbok. Mulai besok Mbok dan yang lainnya tidak usah menyetor lidi lagi. Kebun kelapa Pak Jumadi, tempat kalian mendapatkan bahan baku lidi sudah dibeli orang Jakarta. Dengar-dengar mau dijadikan tempat peristirahatan. Kalau aku sih, sudah resmi jadi mandor di sana."

Sampai sini pak Cokro berdehem, membasahi tenggorokannya dengan segelas kopi lalu melanjutkan kalimatnya.

"Bapak-bapak buruh tani yang mau cari penghasilan tambahan bisa ikut proyek pembangunan itu mulai minggu depan, sedangkan ibu-ibu macam si Ratmi ini yang masih gesit bisa bantu-bantu urusan perut, kateringnya begitulah. Tapi yang sepuh-sepuh, yaa ... maaf, tidak bisa diberdayakan."

Rentetan kata-kata pak Cokro yang diucapkannya tanpa tedeng aling-aling begitu menohok batin mbok Nirah. Entah apalagi yang pak Cokro katakan , karena tiba-tiba segalanya tampak gelap bagi mbok Nirah. Kepalanya berkunang-kunang, detik berikutnya ia kehilangan kesadaran seiring jeritan Ratmi meneriakkan namanya.

~o0o~

Terbangun dari pingsannya, mbok Ratmi mendapati dirinya berada di tempat yang berbeda. Ia terbaring di kasur yang empuk, tidak seperti dipannya yang keras dan dingin, dalam kamar kecil yang ditata apik walaupun dengan perabotan yang sederhana. Kepalanya terasa berat saat ia memaksakan diri untuk bangun.

"Mbookk ...! Syukurlah kau telah siuman!"

Dari balik tirai pemisah menyembul tubuh Ratmi, yang lalu tergopoh-gopoh membantu mbok Nirah bersender pada tumpukan bantal.

"Minumlah dulu, Mbok," kata Ratmi lagi. Dituangkannya segelas air dari kendi air di samping tempat tidur, "kami sangat mencemaskanmu, Mbok. Kau sudah pingsan dari kemarin."

"A-apa?" Mbok Nirah tampak linglung.

"Kau begitu terpukul dengan perkataan Pak Cokro, itulah yang membuatmu pingsan, Mbok," terang Ratmi.

"Ja-jadi ... semua itu benar tho, Mi? A-aku, tidak punya pekerjaan lagi?" Terbata-bata Mbok Nirah berucap sementara air matanya sudah jatuh tak terbendung lagi.

Untuk beberapa saat Ratmi hanya terdiam. Dielus-elusnya punggung renta itu, bersimpati atas perasaan sedih mbok Nirah yang meluap-luap.

"Mbok ...," panggil Ratmi akhirnya setelah jeda yang cukup panjang.

"Aku dan Mas Jarwo mengerti kesulitanmu, Mbok. Berulangkali kami menawarkan padamu untuk tinggal bersama kami agar kami dapat mengurusmu, tapi bukankah kau selalu menolak? Padahal kau sudah aku anggap seperti ibuku sendiri, Mbok. Aku sangat menyayangimu." Ratmi menarik napas panjang sebelum melanjutkan.

"Aku pun tahu, kau takkan mau diberikan bantuan cuma-cuma walau hanya sedikit uang untuk menyambung hidupmu."

"Itu karena aku bukan peminta-minta, Mi. Pantang bagi aku menadahkan tangan pada siapa pun selama aku masih punya kemampuan," potong Mbok Nirah di sela isakannya.

"Aku mahfum itu, Mbok, karena itu kami menawarkan pekerjaan untukmu." Sampai di sini Ratmi berhenti untuk melihat reaksi mbok Nirah, tapi mbok Nirah hanya diam ... menyimak.

"Mas Jarwo berencana mengembang biakkan ternak ikan di belakang rumah. Tentu saja kami butuh bantuan tenaga untuk mengurus ikan-ikan itu nantinya, memberi makan dan yang lainnya. Kami pun akan memberikan upah yang layak sesuai pekerjaan yang dilakukan. Nah, Mbok ... maukah kau memberikan tenagamu untuk menolong kami? Bekerja bersama-sama kami?" tanya Ratmi hati-hati.

Lama tak terdengar jawaban sampai akhirnya ....

"Aku mau, Mi. Alhamdulillah, segala puji bagi-Mu, ya Allah," seru Mbok Ratmi penuh rasa syukur. Dipeluknya Ratmi dengan penuh kasih, berdua mereka berpelukan dan bertangisan.

Di luar terdengar azan Zuhur berkumandang mengiringi kebahagiaan di hati mbok Nirah. Betapa masih ada sepenggal cinta untuknya, dari seorang perempuan sederhana bernama Ratmi dan keluarga kecilnya.

~Tamat~

Sketsa Jingga

SEPENGGAL CINTA UNTUK MBOK NIRAH

(BAGIAN I)

Ratmi tergesa-gesa melewati jalan setapak yang licin selepas hujan semalam. Tubuhnya yang gempal tak menghalangi langkahnya yang gesit menghindari genangan air di sana sini. Tujuannya satu, rumah mbok Nirah.

Seperti hari-hari sebelumnya ia membawakan makan siang untuk mbok Nirah, tapi ada yang berbeda kali ini karena ada berita yang dibawanya. Hatinya berkecamuk mengingat apa yang akan ia katakan mungkin akan menggundahkan hati mbok Nirah, dan ia masih belum tahu bagaimana cara menyampaikan berita itu.

"Mbok ... Mbok!"

Ratmi berteriak memanggil saat memasuki halaman rumah mbok Nirah. Dilongokkan wajahnya ke pintu rumah yang sedikit terbuka.

"Aku di sini, Mi!" Terdengar jawaban dari arah belakang.

Bergegas Ratmi menuju arah suara melalui samping rumah, tempat tumpukan kayu bakar terserak berantakan dan kandang ayam yang meruapkan bau tak sedap.

Di atas balai bambu beralaskan tikar pandan yang telah koyak di beberapa tempat, dijumpainya mbok Nirah sedang menyerit daun-daun kelapa dengan sebilah pisau kecil hingga menyisakan batang-batang lidi. Di sampingnya tampak tumpukan lidi yang sudah diikat-ikat dalam gulungan besar.

"Sudah jadi berapa kilo, Mbok," tegur Ratmi.

"Empat ... hampir lima kilo, Mi. Hanya sampai situ kemampuanku, tak bisa lebih banyak lagi," jawab Mbok Nirah lirih. Sambil berbicara, tangan tuanya tak berhenti menyerit daun-daun kelapa.

"Oh iya, Mbok, ini kubawakan makan siang." Ratmi menyodorkan rantang yang sedari tadi dipegangnya.

"Ahh, kau selalu repot-repot, Mi. Aku jadi tidak enak selalu menyusahkanmu." Suara Mbok Ratmi basah, terdengar jelas keharuan yang coba ia tahan.

Antara Ratmi dan mbok Nirah memang tidak ada hubungan keluarga, Ratmi murni hanyalah seorang tetangga yang tinggal tak jauh dari rumah mbok Ratmi. Sudah hampir sepuluh tahun ini mbok Nirah tinggal sebatang kara setelah suaminya meninggal. Jauh lebih lama dari itu, ia dan suami ditinggalkan oleh anak-anak mereka yang pergi merantau dan tak sekalipun pernah kembali hingga detik ini.

"Makanlah dulu, Mbok, tinggalkan dulu pekerjaanmu. Nanti biar aku saja yang membawa lidi-lidi itu ke pengepul."

Selesai berkata-kata Ratmi langsung membuka rantang yang ia bawa, tak lupa di ambilnya piring kaleng dan sendok dari dapur mbok Nirah, pun sekendi air dan gelas. Ratmi begitu fasih dengan yang ia kerjakan, mengingat telah bertahun-tahun ia melakukannya.

Ratmi sendiri sudah berkeluarga, memiliki dua orang anak perempuan yang masih duduk di sekolah dasar. Ia dan suaminya, Jarwo, telah berulangkali mengajak mbok Nirah untuk tinggal bersama mereka, tapi selalu memperoleh penolakan hingga akhirnya hanya inilah yang mampu ia lakukan untuk mbok Nirah.

"Ayo makan sama-sama, Mi, jangan cuma menungguiku seperti yang sudah-sudah," ajak Mbok Nirah setelah selesai mencuci tangannya.

"Tidak Mbok, kau saja. Aku sudah makan tadi sebelum kemari," tolak Ratmi halus.

Mbok Nirah mengangguk. Disendoknya sedikit nasi dan sayur labu siyem yang dibawa Ratmi, juga sepotong tempe. Khusyuk ia menikmati hidangan yang sederhana itu.

Diam-diam Ratmi mengamati mbok Nirah. Hatinya terenyuh melihat gurat-gurat penat tersirat di air muka perempuan tua itu. Pandangannya pun jatuh pada keriput dan urat-urat yang bertonjolan di jari-jemari mbok Nirah, bukti betapa kerasnya hidup yang telah ia jalani.

"Nanti aku saja yang bawa lidi-lidi itu ke Pak Cokro, Mi, kau terlalu sering membantuku padahal lidi-lidi yang harus kau setorkan pun banyak," kata mbok Nirah di sela-sela makannya.

"Oh iya, sudah berapa kilo lidi kau dapat?"

"Dengan bantuan anak-anak dari subuh sampai siang ini aku dapat dua puluh kilo, Mbok. Anak-anak membantu sampai jam sepuluh saja karena siangnya ke sekolah."

Mbok Nirah dan Ratmi adalah buruh lidi. Mereka menyerit daun-daun kelapa hingga menyisakan batangnya saja. Batang lidi yang sudah jadi ini lalu diikat dalam gulungan besar persatu kilonya. Nanti setelah disetorkan ke pengepul, di sana akan diikat-ikat lagi dalam ukuran yang lebih kecil seperti sapu lidi pada umumnya.

"Ah, memang anak-anak manis mereka. Aku mengerjakan sendirian dari kemarin hanya dapat lima kilo. Dengan harga perkilo lidi seribu rupiah, berarti aku cuma bisa beli setengah liter beras, tapi itupun sudah kusyukuri," kata mbok Nirah lambat-lambat. Sesekali terdengar batuknya yang kering membuat Ratmi bertambah iba.

Penuturan mbok Nirah barusan kian membuatnya bingung untuk menyampaikan berita dari pak Cokro, terlebih lagi mbok Nirah sangat menggantungkan hidup dari pekerjaannya sebagai buruh lidi. Ratmi meremas-remas ujung roknya dengan gelisah. Apa jadinya nasib mbok Nirah kalau sampai ia tahu ....

"Aku sudah selesai, Mi, ayo kita berangkat."

Ratmi terkesiap kaget, tidak dilihatnya Mbok Nirah telah membereskan piring dan rantang yang ada di balai. Lamunannya sebentar tadi membuat ia tidak menyadari semuanya.

"Aku ambil lidi-lidiku dulu, Mbok," sahut Ratmi. Urung ia sampaikan berita itu akhirnya.

(Bersambung)