Senin, 07 September 2015

YANG HILANG (PART I)

Alunan musik Gambang Kromong terdengar dari seberang jalan. Tergesa aku turun dari angkot, dan hampir saja lupa membayar ongkos kalau saja tidak diteriaki abang sopir.

"Neng Negro, ongkosnya belom!"

Ups, negro. Enam bulan tinggal di Indonesia, tepatnya di Jakarta, tidak membuat kupingku terbiasa dengan panggilan rasis itu.

Ya, itu rasis. Bahkan di Eropa dan Amerika julukan itu diharamkan, walau banyak juga orang-orang di Aussie memanggilku begitu. Kupikir, hanya karena aku berkulit legam dan berambut keriting kaku, tidak lantas membuat setiap orang berhak memanggilku negro.

"You're late again, Sista." Zaqi berbisik di telinga saat aku mengambil posisi di sebelahnya.

"Traffic jam," jawabku singkat.

Segera aku keluarkan Tehyan dari sarungnya, membuka buku notasi lagu, lalu menyimak sudah sampai di mana permainan mereka sebelum akhirnya konsentrasi menggesek Tehyan. Lagu Sip Pat Mo.

"Jaga temponye, Lik!"

"Zaqi, lu masuknye kecepetan!"

"Yang pegang Tehyan ame Kongahyan tolong selarasin nadanye!"

Teriakan ayah Tatang, pelatih kami, nyaring terdengar di selasar gedung BLK (Balai Latihan Kesenian) ini.
"Neng Clara, pas bagian Mitra main Tehyan sendiri, ente berenti dulu geseknye!" Ayah Tatang menegurku, aku menatapnya bingung.

"When Mitra plays solo, all of other Tehyaner is stopping rub the string." Zaqi menerjemahkan. Aku mengangguk paham.

Ayah Tatang, pria bertubuh tambun berumur empat puluhan tahun itu, sebenarnya memiliki pribadi yang lucu dan menyenangkan, tapi semuanya berubah saat sesi latihan dimulai. Air mukanya akan berubah mengeras, teriakan atau pun teguran akan sering keluar dari mulutnya saat kami melakukan kesalahan.
Kami berlatih sampai sekitar dua jam lagi, sampai akhirnya ayah Tatang memberi aba-aba selesai saat jam menunjukkan pukul lima.

"Mau langsung capcus, Clara? Nongkrong dulu aja bareng kita, yuk," ajak Kelik, pemain Sukong di grup, saat aku membereskan peralatan Tehyan. Selagi aku masih mencerna kata-kata Kelik, Sisi sang vokalis ikutan nimbrung.

"Ayah Tatang ultah. Kita semua mau ditraktir makan di mie aceh Ali. Kamu ikut ya?"

"E-at tuge-dher?" Kelik menambahkan kaku.

"Okay."

Aku tidak yakin apa yang mereka katakan, tapi sepertinya jawaban itu yang mereka inginkan. Terbukti keduanya langsung berteriak kegirangan.

"Lik, bantuin dulu, dong!" Tiba-tiba Iwan, pemain Kromong, berteriak memanggil.

Diisyaratkan kepalanya pada Gambang dan Kromong yang belum dikembalikan ke ruang alat. Iwan sendiri sibuk menggotong Gong bersama dengan bang Pendi, beberapa orang lelaki lainnya memindahkan Gendang.
Pekerjaan mengembalikan alat-alat musik yang berat ke ruang alat, memang menjadi urusan kaum lelaki. Kami yang perempuan, kebagian membereskan alat-alat yang lebih ringan seperti, Tehyan, Kongahyan, dan Sukong. Ketiganya alat musik gesek, hampir sama dengan rebab hanya berbeda di ukuran tempurung (batok kelapa), dan senarnya.

"Clara, somebody is looking for you."

Tahu-tahu Zaqi menepuk pundakku. Di grup Gambang Kromong, dia yang paling dekat denganku, bahasa Inggrisnya juga paling baik.

"Who?"

"Well, it's rather weird. She said that she's your twins. But she doesn't look like you." Kulihat kebingungan tampak jelas di wajahnya, jantungku sendiri berdetak lebih cepat. Mungkinkah?

"Dia bilang namanya Cindy. Is that true, Clara? Dia, kembaranmu?"

Aku tak menghiraukan kata-kata Zaqi, karena detik berikutnya aku bangkit dari duduk, menengok ke arah yang ditunjuk Zaqi, dan yah ... benar. Gadis itu ada di sana, tampak cantik seperti biasa dengan rambut ikal pirang, mata biru besar, dan kulit putihnya. Seseorang yang sempat menorehkan luka, seseorang yang membuatku pergi dari Australia dan memilih menjejakkan kaki di tanah Indonesia. 

"Sis ...." Sapaan Cindy pertama kali saat aku menghampirinya.

"Mau apa lagi?! Mau membuat kacau hidupku di sini?!"

Di depanku Cindy tampak salah tingkah. Aku berbalik meninggalkannya, meneruskan pekerjaanku sebelumnya.

"Sis, dengar dulu. Aku ...."

"Saat ini aku tak ingin mendengar apa pun darimu!" bentakku.

Nada kerasku dan kehadiran Cindy rupanya menarik perhatian teman-temanku. Terbukti beberapa kali kutangkap kata 'twins' dari mulut Zaqi, bahkan sempat kudengar Sisi berteriak, "OMG ...!" sambil menggeleng kuat-kuat. Ya, siapa yang akan percaya. Aku si legam punya kembaran berkulit putih.

"Clara, please, we need to talk."

"Nggak ada lagi yang harus kita bahas!"

"I miss you, Sis."

"Nonsens!"

"Noo ... it's true. Aku masih tak percaya waktu kamu memutuskan pergi. Kenapa kau tak pernah mau menerima teleponku? Dan emailku, tak satu pun kau balas."
Aku diam saja tak menggubris kata-kata Cindy, pura-pura merapikan susunan bukuku yang sudah rapi. Dari ekor mata tampak ayah Tatang sibuk menggiring teman-temanku ke ruangan sebelah, meninggalkan aku bersama Cindy berdua saja.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar