Senin, 07 September 2015

YANG HILANG (PART II)

"Sis, look at me!" Cindy menyentak tanganku, "aku kehilanganmu, Sis. Bahkan sampai sekarang aku tidak tahu mengapa kamu memilih kuliah di Indonesia, padahal kita sama-sama diterima di UWA?!"

"You know exactly why! Jangan bilang kamu lupa farewell party di high school kita!"

"Aku tidak lupa, Clara. Justru itu salah satu sebabnya aku ke sini. Aku ingin minta maaf."

"Kau pikir dengan minta maaf masalah selesai?"

"Lalu aku harus apa? Mencium kakimu? Bersujud mohon ampun? Gee, Sis, kenapa kamu terus mengingatnya? Malam itu kami cuma bercanda."

"Bagimu bercanda, bagiku itu penghinaan. Aku saudaramu, tapi kau dan gerombolanmu selalu mengatai-ngatai aku seperti Clarabella, tokoh sapi di film kartun. Apa aku harus tertawa disamakan dengan binatang walau itu hanya, apa katamu itu? Kartun yang manis? Dia tetap sapi!"

"Come on, Clara. Marahmu tidak pada tempatnya." Kudengar Cindy mendengus geli.

"Ini yang katamu datang untuk minta maaf? Bahkan aku tidak melihatmu merasa bersalah atas peristiwa itu!"

"Sis, itu hanya poster."

"Ya, hanya poster! Hanya poster wajahku bersanding dengan muka Clarabella 'Si Sapi' yang kau dan teman-temanmu pasang lengkap dengan tulisan 'The Real Twins'. Di sepanjang lorong sekolah, di semua lantai!" jeritku.

"Well, it's not a big deal, kamu terlalu main perasaan. It's just jokes!"

"Oh, begitu. Lelucon, huh?! Jadi menurutmu juga lucu, saat kalian mengunciku di toilet sekolah? Lucu, saat Mike meninju mukaku karena dia bilang dia benci negro? Lucu, saat kalian menumpahkan bekal makan siangku, melempar sepatuku ke ring basket, menyembunyikan PR Math sampai aku dihukum Mr. Flinch, membuang science projectku ke tong sampah, dan lain sebagainya itu! Lucu menurutmu?!"

"Aku sadari yang itu memang sedikit keterlaluan."

Aku mendelikkan mata padanya.

"Okay ... okay, hampir sebagian besar perbuatan kami kepadamu sangat keterlaluan. I'm really sorry, tapi aku bersumpah tidak tahu kalau Mike pernah memukulmu."

"Bagaimana mungkin kau tidak tahu, semua kejahilan kalian adalah rancanganmu!"

"Clara, please, aku jauh-jauh ke sini karena aku tahu aku salah. Aku hanya tidak tahu bagaimana caranya meyakinkanmu bahwa aku sungguh-sungguh."

"Kau bisa memulainya dengan berlaku jujur, dan berhenti berpura-pura seolah kau tak tahu apa pun, seolah itu hal biasa untukmu." Sekilas kulihat Cindy berkaca-kaca sebelum ia cepat-cepat menundukkan wajahnya.

"Kita memang berbeda, Cindy. Aku sama dengan Daddy, hitam. Kamu dengan kulitmu yang bagai pualam itu sama persis dengan Mommy. Tapi itu tidak menjadikan kamu berhak untuk menghinaku, saudara kembarmu sendiri. Berkali-kali. Dan puncaknya malam itu," ucapku tajam.

Kuluapkan semua emosiku yang tertahan selama ini. Betapa pernikahan campuran antara Dad yang Nigeria dan Mom yang asli Australia, telah membuat hidupku mengalami perlakuan rasial dari lingkunganku di Aussie, bahkan di sini. Di depanku Cindy menangis sesunggukan.

"I envy you, Clara. Itulah sebabnya kulakukan semua itu." Di antara sengguknya, Cindy mencoba menjelaskan.

"What?! Apa aku tidak salah dengar? Kamu? Iri padaku?"

"Nope, kamu nggak salah dengar. Kamu ingat, Mom selalu memuji kepintaranmu memasak. Lalu Daddy selalu bangga dengan nilai-nilaimu yang memuaskan. Kamu seperti Super Girl, kamu mampu melakukan apa pun, sedang aku?"

Aku menatapnya linglung, tak percaya dengan apa yang kudengar. Kujatuhkan tubuh di sampingnya, dan tanpa sadar aku telah memeluknya.

"Tapi Mom juga selalu memuji kecantikanmu di depan teman-temannya. Dan Dad, dia cuma mau kamu yang bantu dia cuci mobil, karena aku tidak pernah becus tentang hal itu," kataku masih setengah linglung.

"Lalu apa artinya, Sis?" Cindy menjauhkan tubuhnya dariku.

"Dipuji karena jago cuci mobil dan dipamer-pamerkan ke orang-orang sebagai putri cantik seperti dalam dongeng. Apa gunanya? Bahkan mereka tega kasih nama aku Cinderella sedangkan kau Clarabella. Bukan kamu saja yang jadi bahan olok-olokkan, Sis."

Cindy tertawa panjang mengingat kekonyolan nama kami, entah apa yang merasuki benak orangtua kami dulu saat memberi nama itu kepada kami. Lamat-lamat aku ikut tertawa bersamanya. Awalnya agak kaku, lalu segalanya mengalir begitu saja. Aku tertawa terbahak-bahak di samping Cindy yang sampai terbungkuk-bungkuk.

"So, can you forgive me now, Clara? Untuk semua salahku?"

Cindy meraih tanganku dan menatapku dalam setelah tawa kami menghilang. Raut mukanya yang serius menatapku penuh harap.

"Can you ...?" ulang Cindy lagi.

Aku terdiam, tak segera memberi jawaban. Kuakui kalau aku pun merindukan Cindy. Berada jauh darinya dengan menerima tawaran Uncle Budi dan Aunty Steffy untuk kuliah di sini, tak membuatku berhenti memikirkannya. Di sudut hati kecilku, sebenarnya telah lama aku memaafkan Cindy.

"At least ...."

"Asal saja apa?" potongnya cepat.

"Asal kamu maafin aku juga, dengan semua perasaan irimu itu yang aku tidak tahu, yang membuat kita bermusuhan lama."

"Okay, aku maafin," jawab Cindy cepat. Senyumnya merekah, kami lalu berpelukan hangat.

"Eits, satu lagi," kataku.

"Apa?"

"Kamu harus datang liat perform aku di Gedung Kesenian Jakarta minggu depan. Pakai kebaya encim."

"Perform apa? Yang tadi sempat aku lihat itu? Kereeen, musik apa namanya? Kok kamu bisa mainin? Kuliah kamu gimana? Kebaya encim, itu apa?"

Aku hanya tergelak mendengar berondongan pertanyaan Cindy, kubiarkan saja ia dengan pertanyaannya. Satu yang pasti, aku bahagia kami sudah berbaik kembali. Kami yang hilang sudah saling menemukan. Menemukan saudaraku. Kembaranku!


~the end~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar