Kamis, 03 September 2015

Sketsa Jingga

SEPENGGAL CINTA UNTUK MBOK NIRAH

(BAGIAN II)

Di pengepulan ....

"Ini saja, Mbok?" tanya pak Cokro sambil membantu menurunkan gulungan-gulungan besar lidi dari gendongan Mbok Nirah.

"Iya, Pak."

"Lima kilo!" teriak anak buah Pak Cokro usai menimbang.

"Jadi lima ribu ya, Mbok." Pak Cokro mengangsurkan selembar lima ribuan sebagai upah mbok Nirah.

"Oh iya, sudah dikabari Ratmi tho, Mbok?" tanya Pak Cokro sambil menatap mbok Nirah dari balik kacamata tebalnya.

"Kabar apa ya, Pak?" Mbok Nirah tampak kebingungan.

"Lha ... gimana kamu ini, Mi. Tadi pagi sudah aku pesenin tho?!" Pak Cokro menatap tajam Ratmi melalui bahu Mbok Nirah.

Berdiri di belakang Mbok Nirah, Ratmi hanya membuka dan menutup mulutnya berkali-kali, tapi tak satu pun kata yang keluar. Tangannya bergerak-gerak memberi isyarat agar Pak Cokro tidak mengatakan apa pun.

"Kamu kenapa?! Kayak mujaer begitu!" bentak Pak Cokro.

"Jadi begini, Mbok. Mulai besok Mbok dan yang lainnya tidak usah menyetor lidi lagi. Kebun kelapa Pak Jumadi, tempat kalian mendapatkan bahan baku lidi sudah dibeli orang Jakarta. Dengar-dengar mau dijadikan tempat peristirahatan. Kalau aku sih, sudah resmi jadi mandor di sana."

Sampai sini pak Cokro berdehem, membasahi tenggorokannya dengan segelas kopi lalu melanjutkan kalimatnya.

"Bapak-bapak buruh tani yang mau cari penghasilan tambahan bisa ikut proyek pembangunan itu mulai minggu depan, sedangkan ibu-ibu macam si Ratmi ini yang masih gesit bisa bantu-bantu urusan perut, kateringnya begitulah. Tapi yang sepuh-sepuh, yaa ... maaf, tidak bisa diberdayakan."

Rentetan kata-kata pak Cokro yang diucapkannya tanpa tedeng aling-aling begitu menohok batin mbok Nirah. Entah apalagi yang pak Cokro katakan , karena tiba-tiba segalanya tampak gelap bagi mbok Nirah. Kepalanya berkunang-kunang, detik berikutnya ia kehilangan kesadaran seiring jeritan Ratmi meneriakkan namanya.

~o0o~

Terbangun dari pingsannya, mbok Ratmi mendapati dirinya berada di tempat yang berbeda. Ia terbaring di kasur yang empuk, tidak seperti dipannya yang keras dan dingin, dalam kamar kecil yang ditata apik walaupun dengan perabotan yang sederhana. Kepalanya terasa berat saat ia memaksakan diri untuk bangun.

"Mbookk ...! Syukurlah kau telah siuman!"

Dari balik tirai pemisah menyembul tubuh Ratmi, yang lalu tergopoh-gopoh membantu mbok Nirah bersender pada tumpukan bantal.

"Minumlah dulu, Mbok," kata Ratmi lagi. Dituangkannya segelas air dari kendi air di samping tempat tidur, "kami sangat mencemaskanmu, Mbok. Kau sudah pingsan dari kemarin."

"A-apa?" Mbok Nirah tampak linglung.

"Kau begitu terpukul dengan perkataan Pak Cokro, itulah yang membuatmu pingsan, Mbok," terang Ratmi.

"Ja-jadi ... semua itu benar tho, Mi? A-aku, tidak punya pekerjaan lagi?" Terbata-bata Mbok Nirah berucap sementara air matanya sudah jatuh tak terbendung lagi.

Untuk beberapa saat Ratmi hanya terdiam. Dielus-elusnya punggung renta itu, bersimpati atas perasaan sedih mbok Nirah yang meluap-luap.

"Mbok ...," panggil Ratmi akhirnya setelah jeda yang cukup panjang.

"Aku dan Mas Jarwo mengerti kesulitanmu, Mbok. Berulangkali kami menawarkan padamu untuk tinggal bersama kami agar kami dapat mengurusmu, tapi bukankah kau selalu menolak? Padahal kau sudah aku anggap seperti ibuku sendiri, Mbok. Aku sangat menyayangimu." Ratmi menarik napas panjang sebelum melanjutkan.

"Aku pun tahu, kau takkan mau diberikan bantuan cuma-cuma walau hanya sedikit uang untuk menyambung hidupmu."

"Itu karena aku bukan peminta-minta, Mi. Pantang bagi aku menadahkan tangan pada siapa pun selama aku masih punya kemampuan," potong Mbok Nirah di sela isakannya.

"Aku mahfum itu, Mbok, karena itu kami menawarkan pekerjaan untukmu." Sampai di sini Ratmi berhenti untuk melihat reaksi mbok Nirah, tapi mbok Nirah hanya diam ... menyimak.

"Mas Jarwo berencana mengembang biakkan ternak ikan di belakang rumah. Tentu saja kami butuh bantuan tenaga untuk mengurus ikan-ikan itu nantinya, memberi makan dan yang lainnya. Kami pun akan memberikan upah yang layak sesuai pekerjaan yang dilakukan. Nah, Mbok ... maukah kau memberikan tenagamu untuk menolong kami? Bekerja bersama-sama kami?" tanya Ratmi hati-hati.

Lama tak terdengar jawaban sampai akhirnya ....

"Aku mau, Mi. Alhamdulillah, segala puji bagi-Mu, ya Allah," seru Mbok Ratmi penuh rasa syukur. Dipeluknya Ratmi dengan penuh kasih, berdua mereka berpelukan dan bertangisan.

Di luar terdengar azan Zuhur berkumandang mengiringi kebahagiaan di hati mbok Nirah. Betapa masih ada sepenggal cinta untuknya, dari seorang perempuan sederhana bernama Ratmi dan keluarga kecilnya.

~Tamat~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar