Kamis, 03 September 2015

Sketsa Jingga

SEPENGGAL CINTA UNTUK MBOK NIRAH

(BAGIAN I)

Ratmi tergesa-gesa melewati jalan setapak yang licin selepas hujan semalam. Tubuhnya yang gempal tak menghalangi langkahnya yang gesit menghindari genangan air di sana sini. Tujuannya satu, rumah mbok Nirah.

Seperti hari-hari sebelumnya ia membawakan makan siang untuk mbok Nirah, tapi ada yang berbeda kali ini karena ada berita yang dibawanya. Hatinya berkecamuk mengingat apa yang akan ia katakan mungkin akan menggundahkan hati mbok Nirah, dan ia masih belum tahu bagaimana cara menyampaikan berita itu.

"Mbok ... Mbok!"

Ratmi berteriak memanggil saat memasuki halaman rumah mbok Nirah. Dilongokkan wajahnya ke pintu rumah yang sedikit terbuka.

"Aku di sini, Mi!" Terdengar jawaban dari arah belakang.

Bergegas Ratmi menuju arah suara melalui samping rumah, tempat tumpukan kayu bakar terserak berantakan dan kandang ayam yang meruapkan bau tak sedap.

Di atas balai bambu beralaskan tikar pandan yang telah koyak di beberapa tempat, dijumpainya mbok Nirah sedang menyerit daun-daun kelapa dengan sebilah pisau kecil hingga menyisakan batang-batang lidi. Di sampingnya tampak tumpukan lidi yang sudah diikat-ikat dalam gulungan besar.

"Sudah jadi berapa kilo, Mbok," tegur Ratmi.

"Empat ... hampir lima kilo, Mi. Hanya sampai situ kemampuanku, tak bisa lebih banyak lagi," jawab Mbok Nirah lirih. Sambil berbicara, tangan tuanya tak berhenti menyerit daun-daun kelapa.

"Oh iya, Mbok, ini kubawakan makan siang." Ratmi menyodorkan rantang yang sedari tadi dipegangnya.

"Ahh, kau selalu repot-repot, Mi. Aku jadi tidak enak selalu menyusahkanmu." Suara Mbok Ratmi basah, terdengar jelas keharuan yang coba ia tahan.

Antara Ratmi dan mbok Nirah memang tidak ada hubungan keluarga, Ratmi murni hanyalah seorang tetangga yang tinggal tak jauh dari rumah mbok Ratmi. Sudah hampir sepuluh tahun ini mbok Nirah tinggal sebatang kara setelah suaminya meninggal. Jauh lebih lama dari itu, ia dan suami ditinggalkan oleh anak-anak mereka yang pergi merantau dan tak sekalipun pernah kembali hingga detik ini.

"Makanlah dulu, Mbok, tinggalkan dulu pekerjaanmu. Nanti biar aku saja yang membawa lidi-lidi itu ke pengepul."

Selesai berkata-kata Ratmi langsung membuka rantang yang ia bawa, tak lupa di ambilnya piring kaleng dan sendok dari dapur mbok Nirah, pun sekendi air dan gelas. Ratmi begitu fasih dengan yang ia kerjakan, mengingat telah bertahun-tahun ia melakukannya.

Ratmi sendiri sudah berkeluarga, memiliki dua orang anak perempuan yang masih duduk di sekolah dasar. Ia dan suaminya, Jarwo, telah berulangkali mengajak mbok Nirah untuk tinggal bersama mereka, tapi selalu memperoleh penolakan hingga akhirnya hanya inilah yang mampu ia lakukan untuk mbok Nirah.

"Ayo makan sama-sama, Mi, jangan cuma menungguiku seperti yang sudah-sudah," ajak Mbok Nirah setelah selesai mencuci tangannya.

"Tidak Mbok, kau saja. Aku sudah makan tadi sebelum kemari," tolak Ratmi halus.

Mbok Nirah mengangguk. Disendoknya sedikit nasi dan sayur labu siyem yang dibawa Ratmi, juga sepotong tempe. Khusyuk ia menikmati hidangan yang sederhana itu.

Diam-diam Ratmi mengamati mbok Nirah. Hatinya terenyuh melihat gurat-gurat penat tersirat di air muka perempuan tua itu. Pandangannya pun jatuh pada keriput dan urat-urat yang bertonjolan di jari-jemari mbok Nirah, bukti betapa kerasnya hidup yang telah ia jalani.

"Nanti aku saja yang bawa lidi-lidi itu ke Pak Cokro, Mi, kau terlalu sering membantuku padahal lidi-lidi yang harus kau setorkan pun banyak," kata mbok Nirah di sela-sela makannya.

"Oh iya, sudah berapa kilo lidi kau dapat?"

"Dengan bantuan anak-anak dari subuh sampai siang ini aku dapat dua puluh kilo, Mbok. Anak-anak membantu sampai jam sepuluh saja karena siangnya ke sekolah."

Mbok Nirah dan Ratmi adalah buruh lidi. Mereka menyerit daun-daun kelapa hingga menyisakan batangnya saja. Batang lidi yang sudah jadi ini lalu diikat dalam gulungan besar persatu kilonya. Nanti setelah disetorkan ke pengepul, di sana akan diikat-ikat lagi dalam ukuran yang lebih kecil seperti sapu lidi pada umumnya.

"Ah, memang anak-anak manis mereka. Aku mengerjakan sendirian dari kemarin hanya dapat lima kilo. Dengan harga perkilo lidi seribu rupiah, berarti aku cuma bisa beli setengah liter beras, tapi itupun sudah kusyukuri," kata mbok Nirah lambat-lambat. Sesekali terdengar batuknya yang kering membuat Ratmi bertambah iba.

Penuturan mbok Nirah barusan kian membuatnya bingung untuk menyampaikan berita dari pak Cokro, terlebih lagi mbok Nirah sangat menggantungkan hidup dari pekerjaannya sebagai buruh lidi. Ratmi meremas-remas ujung roknya dengan gelisah. Apa jadinya nasib mbok Nirah kalau sampai ia tahu ....

"Aku sudah selesai, Mi, ayo kita berangkat."

Ratmi terkesiap kaget, tidak dilihatnya Mbok Nirah telah membereskan piring dan rantang yang ada di balai. Lamunannya sebentar tadi membuat ia tidak menyadari semuanya.

"Aku ambil lidi-lidiku dulu, Mbok," sahut Ratmi. Urung ia sampaikan berita itu akhirnya.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar