Minggu, 11 September 2016
BULAN DI ATAS LANGIT JAKARTA
Minggu, 24 Juli 2016
APAKAH KAU MENDENGARKU?
Carl mencicipi kembali Beef Bourguignon andalannya. Setelah tiga jam dimasak dengan anggur merah, daging sapi itu telah memiliki tekstur lembut seperti yang diharapkan. Ia yakin, masakannya akan segera mengembalikan selera makan Isabel yang akhir-akhir ini menghilang. Sekalian ia akan memanfaatkan malam ini untuk menyatakan cintanya pada gadis itu.
.
"Carl, apakah masih lama?!" Suara bernada tinggi terdengar dari ruang makan.
.
"Sebentar lagi, Ma chèrie!"
.
Carl mengecek ulang hasil masakannya. Ia telah mempersiapkan makan malam ala Perancis untuk Isabel. Ada Salad Nicoise untuk mengawali makan malam mereka, berisi sayuran yang ditambah irisan tuna, telur, dan mayones. Lalu tentu saja Beef Bourguignon sebagai menu utama. Ia pun sudah membekukan Creme Brulee dalam lemari es untuk pencuci mulut, tinggal nanti menaburkan gula palem di atasnya lalu dipanggang tiga menit untuk melelehkan gulanya, sebelum dihidangkan.
.
"Voila, makan malam sudah siaaapp ...!"
.
"Ooh ... sepertinya ide buruk, Carl. Bisa kau bawa pergi itu?" Isabel menutup mulut dan hidungnya saat melihat hidangan yang dibawa Carl.
.
"Kenapa?" tanya Carl bingung, "bukankah kau tadi sudah tak sabar?"
.
"Arrgh ... bawa saja, Carl!" Isabel mengibaskan tangannya kesal. Ia berjalan ke arah jendela dan menghirup udara banyak-banyak. Carl segera menyusul setelah sebelumnya meletakkan Salad Nicoise-nya ke atas meja.
.
"Ma chèrie, apakah kau sakit?" tanya Carl khawatir.
.
"Aku baik-baik saja." Isabel menjawab setelah jeda beberapa waktu. Rona wajahnya sudah kembali normal, tak lagi sepucat sebelumnya.
.
"Lalu kenapa? Kau selalu suka masakan buatanku, bukan?"
.
"Oh, maafkan aku Carl, tentu saja aku suka. Masakanmu adalah yang terbaik. Apa jadinya aku, bila tak mempunyai sahabat sebaik kau." Isabel memeluk Carl, mengelus-elus punggungnya sambil berkali-kali memohon maaf.
.
'Ah, kenapa kau hanya menganggapku sahabat?' Batin Carl.
.
"Tapi sepertinya kau muak dengan masakanku." Carl melerai pelukan Isabel.
.
"Itu karena aku hamil!" Isabel berteriak gembira, "sepertinya aku ngidam. Ini calon anakku dan Pierre. Kau masih ingat dia kan, yang aku kenalkan padamu natal kemarin? Well ... kami bertemu lagi tiga bulan lalu, dan semua terjadi begitu saja ...."
.
Isabel terus bercerita panjang lebar, tapi Carl sudah tak mau tahu. Ia kesal, kenapa harus kalah bersaing dengan seorang lelaki. Mendadak ia pun merasa mual.
.
"Uum ... Carla? Apakah kau mendengarku?"
.
.
Tangsel, 1 Juli 2016
(Menang GA-nya Mas Damar, dapat buku The Vanished Man - Jeffery Deaver)
Rabu, 20 Juli 2016
SABDA KOPI
(Event Puisi Bebuku Publisher)
Senin, 11 Juli 2016
AYAH YANG TAK PERNAH ADA
Ibu adalah perempuan terkuat yang pernah aku kenal sepanjang hidupku. Bayangkan saja, dulu saat melahirkanku ke dunia, ibu harus mengalami ujian berat. Ayah pergi dari kami demi perempuan lain, padahal saat itu ibu masih terbaring lemah setelah proses persalinan yang melelahkan. Tak cukup hanya itu, ibu masih harus mencari tempat tinggal baru untuk dirinya dan juga aku, bayi yang baru saja dilahirkannya, karena ia terusir dari tempat tinggal yang lama.
Ya, memang ibu hanya menumpang saja di sana. Ia dan ayah tak punya tempat tinggal tetap, hingga harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Kadang-kadang mereka mendiami pinggir bantaran sungai, di lain kesempatan mereka menghuni lorong-lorong pasar kala malam, rumah-rumah penduduk, emperan toko, di mana pun, sebelum akhirnya harus pergi karena orang-orang yang tidak sudi rumahnya dihuni mereka.
Tak ada air mata. Sedikit pun tak kulihat anak sungai mengalir di sepasang mata tua ibu, saat menceritakan tentang kenangan pedih masa kecilku dulu. Aku yang salah. Aku yang memaksa ibu membangkitkan kisah sedih itu, karena aku ingin tahu di mana ayah. Ibu memang tak sekalipun pernah menyebut perihal lelaki itu. Mungkin hati ibu sudah terluka terlalu dalam, ditinggalkan suami demi perempuan lain di saat hamil besar dan akan melahirkan, terpaksa harus mengurus dan membesarkan aku seorang diri tanpa seorang kepala keluarga yang melindungi.
Ya, sejujurnya kami sangat butuh perlindungan seorang lelaki. Aku butuh ayah! Itulah sebabnya aku bertanya pada ibu ke mana perginya lelaki itu. Seandainya ayah ada, ibu tak akan kesakitan seperti saat ini, setelah menyelamatkan diriku dari gangguan hidung belang. Ibu sudah terlalu tua untuk melawan, tapi ia paksakan juga untuk menyerang pejantan yang ingin menggagahiku. Ibu terluka, tapi aku selamat. Setidaknya untuk saat ini, entahlah bila nanti ada pejantan lain yang mencoba mengusikku. Tanpa ayah, kami harus melindungi diri sendiri. Aku masih terlalu muda, belum terlalu tangguh melawan. Tetapi ibuku, sore tadi dalam keadaan lemah dan nyaris kalah, ia masih berusaha bangkit, menajamkan kembali kukunya, dan melompat menyerang sambil berteriak lantang, "Miaauuww ...!"
Hari ini kami selamat meski tubuh ibu penuh lika-luka, entah esok hari. Kami butuh perlindungan seorang lelaki. Aku butuh ayah.
Tangsel, 10 Juli 2016
(Event FF untuk Novelnya Elfi Ratna Sari, Seribu Kepak Sayap Patahmu)
Senin, 20 Juni 2016
JAMUR-JAMUR DI KAMAR MANDI
Beberapa pekan belakangan, Bimo kerap mengamati pertumbuhan jamur di pojok kamar mandi. Semula jamur-jamur itu hanya seukuran pentol korek, tetapi kian hari kelopak-kelopak berwarna putih kekuning-kuningan itu semakin memekar, dan sekarang sudah melebihi ukuran telapak tangannya. Tumbuhan itu bergerombol di antara lumut yang menempel di dinding bak mandi.
Bimo berjongkok, mulai memetiki seluruh jamur di sana, lalu mewadahinya dengan baskom yang memang sengaja ia bawa.
"Akhirnya ... hari ini aku akan makan enak," senyumnya senang, membawa seluruh jamurnya menuju dapur.
(Pesta Fiksi 04-nya Mbak Carolina Ratri)
Rabu, 15 Juni 2016
JANGAN BILANG SIAPA-SIAPA
Pacarku menginap di rumah. Mom tidak masalah. Ia pikir, kami hanyalah sepasang kekasih yang masih menggebu-gebu, seperti dirinya dulu. Mom salah. Aku dan Jason bahkan belum pernah melakukan 'itu'. Aku hanya senang ngobrol dengannya dan kami bercerita tentang banyak hal sampai larut malam.
LELAKI SENJA
Suatu hari saya membawanya dengan kursi roda keluar rumah.
Sengaja saya membuat agar suara saya terdengar riang, bahagia, mencoba menularkan perasaan yang sama ke dinding hatinya. Kakek pun mengangguk senang.
Tibalah kami di sebuah danau, menikmati saat sang surya mulai tenggelam perlahan ke permukaannya. Saya menunggu, sampai seluruh tubuh mentari terlahap ke dasar air. Dan ketika itu terjadi, saat seluruh warna di sekeliling saya berubah menjadi hitam, saya pun mendorong kursi roda kakek ke arah danau. Melepasnya tenggelam bersama senja.
Sumber gambar: @r3dcarra
Jumat, 10 Juni 2016
MATA-MATA YANG BERSEMBUNYI
(Pesta Fiksi 04-nya Mbak Carolina Ratri)
Rabu, 08 Juni 2016
PUISI - DI UJUNG PERJALANAN
Lalu memerih sudah, serta merta menghilang tatkala kesunyian adalah pilihan yang kau dentumkan ke jantung prahara
PUISI - SEPENGGAL KISAH RINDU
Selasa, 07 Juni 2016
DISTIKON - PERJALANAN
Sepanjang perjalanan yang pekat
Kutasbihkan harap saat jarak menyekat
Jiwa-jiwa kerontang khianati tuannya
Dada membisu melupa syairnya
Air mata tertumpuk di ujung sajadah
Tak lagi luah saat tangan tengadah
Jalan pulang kian jauh menghitam
Langkah terhenti di sudut kelam
Rie||2015
Rabu, 27 April 2016
FLASH FICTION - MAPLE STREET 31
Kamis, 31 Maret 2016
DI AMBANG BATAS
"Kath, ingat, les pianomu satu jam lagi. Jangan berpura-pura sakit perut seperti minggu lalu!"
Ibumu berkata ketus di depan pintu kamar. Bibir terpulas warna darah itu membentuk sudut tajam. Matanya menatapmu setajam belati.
"Iya, Ma." Kau bergumam mengiyakan, tak berani menatap mata ibumu walau sekadar meyakinkan, bahwa kau sungguhan sakit saat itu.
Dengan gerak lambat kau turun ke ruang bawah. Dari balkon kamar, suara kaku jari-jarimu menekan tuts piano samar terdengar. Kau sama sekali tak berbakat.
***
"Kath! Waktunya les renang! Pelatih barumu sudah menunggu di kolam! Ini sudah hampir jam 5 pagi. Jangan telat!"
Ibumu menggedor pintu kamar berkali-kali. Dari pintu ke arah balkon yang kau biarkan terbuka, aku melihatmu kian membenamkan tubuh ke dalam selimut hangat.
Dari tempatku berada, kulihat laki-laki itu berdiri di tepi kolam sambil sesekali melirik jam tangannya. Rahangnya kukuh. Dia mengangkat wajahnya tinggi-tinggi saat mengamati sekitar kolam. Raut wajahnya kaku tanpa secuil pun senyum. Sepertinya ia akan sangat keras melatihmu.
***
"Bagaimana hasil ulanganmu bisa hancur semua seperti ini! Mama sudah keluar uang banyak untuk memasukkan kamu ke bimbel bergengsi itu! Belajar apa saja kamu di sana, hah?!" Lagi-lagi hari ini ibumu meledakkan suara.
"Kathrin sudah berusaha, Ma." Kau menjawab lemah sambil menyusut air matamu yang bergulir di pipi.
"Usahamu kurang keras! Seorang keturunan Martodipuro harus mendapatkan nilai sempurna! Nilai delapan dan sembilan ini tidak ada artinya sama sekali!" Ibumu berteriak histeris sebelum membanting pintu dan meninggalkanmu sendirian.
Suara dentuman daun pintu menggetarkan kaca-kaca jendela. Gemanya pun memantul di sekujur tubuhku. Kau menggelegak dalam tangis selepas ibumu pergi. Terhuyung kau menghampiriku, meremas tubuhku kuat-kuat seolah ingin membagi kesedihan dan kemarahanmu sekaligus. Lelah menangis, kau pun bersandar padaku. Membiarkan angin kemarau menghapus habis air matamu.
***
"Kath! Mulai senin depan kau sekolah di rumah, nilai-nilaimu harus dikatrol naik. Mama sudah buat jadwal, jadi tidak alasan lupa, ketiduran, dan lain sebagainya! Tempel ini di tempat kau bisa melihatnya dengan baik!"
Ibumu meninggalkan selembar kertas di atas meja. Ia pergi secepat ia datang. Kau tak menyentuh kertas itu sama sekali, hanya terus menarikan pena dalam genggamanmu. Kertas di meja belajar melayang tertiup angin, jatuh di dekat kakiku. Aku membacanya ....
Senin
05.00 wib-07.00 wib: Les renang
07.15 wib-07.45 wib: Mandi & sarapan
08.00 wib-12.00wib: Home schooling
12.15 wib-12.45 wib: Makan siang
13.00 wib-15.00 wib: Les biola
15.15 wib-17.45 wib: Gym
Oh Tuhan, aku tak sanggup meneruskan. Itu baru hari senin. Sekilas tadi kulihat les-les apa saja yang harus kau ikuti: Matematika, Bahasa Inggris, balet, les kepribadian, Bahasa Perancis, Kimia, dan masih banyak lagi. Monster macam apa ibumu membebani otakmu dengan begitu banyak kegiatan, bahkan usiamu baru 15 tahun! Dan tak ada satu pun jadwal bersenang-senang dengan teman-temanmu? Oh, aku lupa. Kau tak punya teman.
***
"Kath, Mama harus berangkat ke Singapura mengantarkan Papa medical check up. Jangan bolos les vokal pagi ini, Mama akan terus memantaumu!"
Ibumu berkata padamu saat sarapan di meja makan tepi kolam. Ia hendak pergi, tapi masih meninggalkan taring dan matanya di rumah. Bahkan hari minggu pun harus kau habiskan dengan kegiatan yang tak kau sukai.
***
"Satu lap lagi, Kath!"
Pelatihmu berteriak dari pinggir kolam, tangannya menggenggam stop watch.
"Arrghh ... 10 menit 7 detik! Masih terlalu lama, Kath! Saya akan mengusulkan untuk menambah jadwal latihanmu!"
Kau menampar permukaan air dengan muak saat mendengar kata-kata pelatihmu. Kau keluar dari kolam, meraih jubah mandimu, dan pergi meninggalkan orang itu dengan tatapan marah.
Pelatih itu tersenyum sinis di balik punggungmu.
***
"Apa ini?! Cerita picisan! Kamu tidak akan bisa kaya dengan menulis!"
Ibumu melempar helai-helai kertas yang kau coba tunjukkan padanya. Kisah petualangan penuh misteri terbungkus ketegangan. Aku tahu karena kau pernah membacanya keras-keras di teras balkon.
"Ini dunia yang Kath cintai, Ma. Kath mohon Mama mengerti." Kau mengiba, memeluk, dan mencium kaki ibumu.
"Jangan pernah berharap! Kelak kau akan meneruskan bisnis papamu. Dan itu lebih menyejahterakan dibanding kau jadi penulis!" Kata-kata mamamu tajam bagai pedang. Kulihat matamu menyayatkan luka.
"Lalu kenapa Ma, Kath harus les renang, biola, vokal, piano? Toh, itu juga nggak akan ada gunanya di dalam bisnis papa?!"
Plaakk!
"Dasar anak tak tahu diri! Seorang Martodipuro juga harus mempunyai fisik kuat, mental baja, otak cerdas, dan pengetahuan seni yang tinggi! Keluarga kita keluarga terhormat, jangan sampai hal sepele membuat kita direndahkan orang lain! Semua yang Mama lakukan sekarang untuk kamu akan berguna pada waktunya!"
Ibumu membanting pintu di belakangnya setelah memberondongmu dengan kata-kata pahit. Dengan gemetar kau kumpulkan helai demi helai kertas yang bertebaran, mendekapnya erat di dada sambil terus terisak-isak.
***
Jam dua dini hari ....
Kau membuka pintu ke arah balkon. Sisa tangis masih membekas di wajah dan matamu yang sembab. Perlahan kau menghampiriku, sehelai kain membuhul lehermu. Jari-jemarimu gemetar saat kau ikatkan ujung kain yang lain di celah-celah tubuhku. Kau berdiri pada bibir balkon, berpegangan padaku sebelum akhirnya kau lepaskan genggaman dan melompat ke bawah.
***
Mentari pucat, embun bergerombol di dedaunan, siulan burung-burung di atas atap. Pagi yang damai. Namun mendadak kelengangan pagi ini terkoyak oleh lengking suara.
"Astagfirullaaaahh! Nyonyaaa ... Tuaaann!"
"Ada apa sih, Bi, teriak-teriak?!"
"It-ituu, Nya."
"Ya Tuhan, Kathriiinnn!"
~end~
Sumber gambar: Mbah Gugel
Selasa, 29 Maret 2016
FLASH FICTION - SEKUNTUM KAMBOJA DARI HONGKONG
Nduk, panasnya Anjas ndak mau turun. Ibu bawa dia ke rumah sakit, takut ada apa-apa.
Pesan singkat dua hari lalu itu membuyarkan konsentrasi bekerja. Aku mengutuk kecerobohanku lupa mengisi pulsa, hal yang sangat krusial bagi TKI sepertiku yang hanya bisa keluar flat saat libur, hingga harus menunggu lepai singgei [1] untuk mengetahui perkembangan Anjas.
"Ngo cut kai sin." [2] Pamitku pada majikan, lalu bergegas menuju lift dari flatku di sap kau lau, ]3] menekan tombol ground, tempat stasiun kereta listrik, Ferry Pier berada.
"Jadi kita ke Sham Shui Po?"
Kalimat pertama May, temanku, yang sudah menunggu di peron stasiun.
"Kamu sama Yanti aja ya, May. Anakku sakit, mau nelpon ke kampung. Repot juga nggak ada Aryati."
"Aku yo repot Aryati mbali Indo, wis ra nduwe konco sing dodol pulsa elektrik. [4] Kalo pulsaku abis terus kangenku kambuh sama Mas Gatot, duuh ...."
Aku meringis mendengar kata-katanya. Kami lalu saling melambai saat hendit, kereta listrik datang.
Aku menyeberang ke arah pertokoan di sepanjang Ferry Pier, membeli pulsa di salah satu tinwa bodhao, [5] lalu menekan nomor tujuan yang sudah kuhapal di luar kepala.
"Assalamualaikum. Ibu? Gimana Anjas? Masih dirawat? Maafin Ratih baru bisa nelpon, Bu."
"Ratih ...," Suara di seberang menjawab, bukan suara ibu, "ini Bulik Lani. Sing sabar yo, Nduk." [6]
Suara Bulikku bergetar, lirih, lalu terdengar isak tertahan. Apakah ....
"Anjas kenapa, Bulik?! Sakitnya parahkah?!"
"Meninggal ...."
"Ya Allah, Anjaaassss!"
"Bukan Anjas, Tih. Ibumu ... ibumu yang meninggal. Ditabrak bis waktu menyeberang jalan, sepulang dari menjaga Anjas di rumah sakit."
Tubuhku melunglai. Aku jatuh terduduk. Telepon genggam terlepas entah kemana. Ibu, wanita tegar penuh kasih yang aku cintai. Untuknya dan Anjas, aku menyeberangi lautan agar dapat memberi penghidupan yang lebih baik, sebagai wujud baktiku padanya. Tapi hari ini, aku hanya bisa memberinya sekuntum kamboja dari Hongkong ....
Catatan kaki:
[1] Hari Minggu
[2] Saya pergi keluar dulu
[3] Lantai 19
[4] Aku juga repot Aryati pulang ke Indonesia, tidak punya teman lagi yang jual pulsa elektrik
[5] Toko penjual pulsa, kartu telepon, dll
[6] Yang sabar ya, Nak
Minggu, 20 Maret 2016
FLASH FICTION - LANGIT TANPA FAJAR
"Akang kredit datang lagi, Pak. Minggu lalu kita sudah nggak bayar cicilan hape, tadi juga begitu, malu aku disemprot di depan orang banyak. Audy sama Panca juga sudah lima bulan ini nunggak SPP, kapan mau dilunasi?"
"Sabarlah, Bu, nanti Bapak cari-cari pinjaman."
"Kamu ya kok, masih nganggur aja sih, Pak? Kalau aku nggak nyambi jadi tukang cuci, sudah makan batu anak-anak kita!"
Aku menarik napas panjang, mencoba menghilangkan sesak yang mendiami liang dada. Kutinggalkan istriku yang masih mengayun si kecil.
"Mbak Anna tadi nelpon, nanti sore mau ke sini. Dia menunggu jawabanmu."
Kuseret langkah menuju teras, sungguh aku tak ingin mendengar apa pun lagi dari istriku, tidak juga tentang Anna.
Aku tidak siap!
Semoga hujan deras ini tak berubah menjadi gerimis, atau pun mereda, agar wanita itu tak perlu datang. Doaku dalam hati.
"Lempar bolanya ke Mas Abi, Im!"
"Ke Mbak aja, Im, nanti Mbak beliin es krim!"
Teriakan gegap ketiga anakku di bawah guyuran hujan, sedikit menghibur hati. Miris rasanya saat melihat Baim lebih memilih mengoper bola ke Wida, anakku nomor empat, karena iming-iming jajanan yang jarang bisa ia nikmati. Mendadak renyut di kepalaku semakin menjadi. Suasana nyenyat yang kubutuhkan saat ini, menuntun langkahku menuju kamar.
"Audy, ini buat bayar SPP kamu sama Panca."
"Bu, cantik nggak aku pakai ini?"
"Jadi kan, Bu, beliin Baim sepeda?"
Aku terbangun di keremangan saat mendengar suara gaduh anak-anak. Terhuyung-huyung aku melangkah ke luar kamar, dengan kepala yang masih berat. Pandanganku langsung tertumbuk pada setumpuk bingkisan yang sebagian sudah terbuka.
"Dari siapa itu, Bu?" tunjukku pada pakaian yang melekat di tubuh dua anakku dan uang di genggaman Audy.
"Mbak Anna tadi datang, kamu masih tidur, jadi aku yang buat keputusan."
"Fajar?!"
Seperti orang kerasukan aku berlari ke tempat buaiannya berada. Kosong! Aku berlari lagi ke ruang depan, mendapati istriku menghitung segepok uang.
"Anak kita banyak, Pak, kau sendiri tidak sanggup membiayai. Uang dari Mbak Anna ini, bisa mencukupi kehidupan kita."
"Apa?!"
"Lagi pula kasihan dia, sudah sepuluh tahun menikah belum juga dikaruniai anak."
Mendadak dunia kurasakan berputar lebih cepat, aku pun lenyap ke dalam pusaran gelap tak berujung.
Kamis, 03 Maret 2016
BUKU DUET: NYOOK KITE NGUMPUL!
Penulis: Rosi Ochiemuh & SH Kusuma
Jumlah Halaman: 239 hal
Dimensi: 14x21 cm
Penyunting: Ichi Kudo
Tata Letak: Ichi Kudo
Desain Sampul: Ichi Kudo
Penerbit: LovRinz Publishing
Senin, 15 Februari 2016
FLASH FICTION - GADIS TEROWONGAN
Tiiinn ...!
Begitu kuklakson mobil, gadis kecil itu berlari membuka gerbang masuk terowongan yang menjadi pembatas antara dua desa. Sesudahnya ia menghampiriku lalu mengulurkan tangan. Seribu rupiah milikku segera berpindah ke tangannya.
"Makasih, Tuan, "bisiknya lirih, lalu kembali lagi berlari ke tempatnya semula berdiri, di muka terowongan, setelah lebih dulu memberiku setangkai mawar merah dari dalam keranjang yang dibawanya.
Aneh, mawar untuk apa?
"Harga mawar ini lebih mahal dari uang yang kuberi untukmu," kataku, turun dari mobil dan menghampirinya.
"Tak mengapa, doakan saja Bapak saya selamat," jawabnya datar, matanya tajam menyapu wajahku. Kutaksir usianya sekitar sepuluh tahun. Mantel merah usang yang dikenakannya tampak sedikit kebesaran di tubuhnya yang mungil.
"Bapakmu kenapa?"
"Mati."
Aku terlengak kaget, bukan semata-mata karena jawabannya, tapi lebih kepada ekspresi dingin gadis kecil itu saat mengucapkannya.
"Bapakmu meninggal kenapa?" tanyaku penasaran.
"Ditenggelamkan." Ia menunjuk ke arah danau di sebelah kanan jalan.
Aku kembali terlonjak. Ia tidak bilang tenggelam tapi 'ditenggelamkan'.
"Kapan?"
"Baru saja."
"Apaaa ...?!" Belum lama aku bersamanya tapi gadis ini sudah mengejutkanku berkali-kali.
"Di sebelah mana?! Siapa yang menenggelamkan?!" Aku berlari menuju tepi danau diikuti langkah kakinya yang kaku.
"Di sini?!" tanyaku lagi. Gadis itu mengangguk sekilas.
Aku berlari kembali mengambil senter dari dalam dashboard mobil, melepas mantel dan sepatu karet cepat-cepat, lalu setengah tergesa kumasuki danau. Rasa seperti dicucuki ribuan jarum langsung menyergapku.
Semoga belum terlambat.
Pikirku menggigil, menarik napas panjang bersiap menyelam.
Eeh ... apa itu?
Sudut mataku menangkap senyum ganjil di wajah gadis tadi. Selagi aku berpikir tentang arti senyumannya, satu hentakan kuat dari bawah permukaan air menarik kedua kakiku. Aku terseret masuk ke dalam air danau yang gelap dan beku.
Tangankah ini yang mencengkeramku?
Tanaman air liar membelit kaki serta tubuh. Berjuang aku membebaskan diri darinya mencoba mencapai permukaan. Kakiku menendang-nendang tak terkendali.
"Tolooonnggg ...!" teriakku lemah saat kepalaku muncul di permukaan, tanganku menggapai-gapai udara.
Haap!
Satu tangan kokoh menarikku.
"Uhuuk ... uhuukk!" Muntahan air keluar dari mulut serta hidung. Seseorang tadi telah menyeretku ke daratan. Ia pun tersengal-sengal di sebelahku.
"Gadis kecil tadi, mana?" tanyaku segera begitu telah menguasai napas.
"Tak ada gadis kecil, Tuan." Laki-laki muda itu menatapku aneh.
"Tadi dia di sini!"
"Tak ada seorang pun, Tuan. Hanya Anda. Saya melihat Anda tadi hendak bunuh diri."
"Bunuh diri?!"
Kuedarkan pandang ke seluruh penjuru mencari sosok gadis kecil tadi, hingga mataku tertumbuk pada benda yang teronggok tak jauh dari tanganku.
Mawar merah ....
Aku pun menggigil.
~TAMAT~
Sumber gambar: Mbah Gugel