Jumat, 25 Desember 2015

FLASH FICTION - WAJAH YANG LAIN

"Ingat, hutang ayahmu masih dua puluh juta! Waktumu cuma sampai besok pagi!"

Dua orang bertato di sekujur badan dan berwajah garang itu akhirnya pergi juga setelah memberikan ultimatum. Nur membantu ayahnya yang berkelukur tanah dan tampak lebam di beberapa bagian wajah. Diajaknya sang ayah masuk rumah menjauhi pandangan sinis dan cibiran dari para tetangga yang cuma menonton di luar pagar.

"Maafkan bapak, Nur." Sang ayah berbisik pilu usai menandaskan segelas air putih yang diberikan anaknya.

"Kenapa bapak nggak bilang sama Nur kalau butuh modal dagang? Kenapa harus pinjam sama Pak Danu? Dia itu lintah darat, Pak! Pinjaman lima juta saja sudah bengkak jadi sebegitu besar!"

"Bapak ngaku salah, Nur. Tapi semua tidak akan begini kalau uang bapak tidak dirampok di jalan. Bahkan uang pinjaman itu belum terpakai sama sekali." Ayah Nur menarik napas masygul. Dadanya kembali sesak bila teringat kejadian tiga bulan lalu, saat motornya dibegal sekelompok lelaki bermotor dan kendaraan serta tas berisi sejumlah uang hasil pinjamannya dibawa kabur.

Nur terdiam. Ia sadar, tak bisa sepenuhnya menyalahkan sang ayah. Kejadian itu sama sekali di luar dugaan. Masih untung ayahnya tidak terluka. Ditariknya napas lalu diembuskan kuat-kuat seolah ingin melepaskan beban yang menghimpit dada. Pekerjaannya sebagai instruktur pole dance memang cukup menjanjikan, tapi harus membayar sejumlah besar uang dalam waktu semalam? Bagaimana mungkin? Benaknya mengembara, mengingat kembali tawaran yang diajukan sahabat karibnya, Asep.

"Kerjaannya enak, gampang, tapi duitnya gede."

"Halal nggak?"

"Jiaahh ... hari gini masih nanyain begituan. Mau kagak? Kasih kabar ke gue ya, kapan pun lu siap."

Nur meraih telepon genggamnya di saku celana. Dengan mantap ditekannya satu buah nomor di daftar kontak. Ia tahu harus menjawab apa pada Asep.

***

Penonton di dalam klub bersorak gegap gempita. Dua orang wanita berpakaian minim melakukan gerakan-gerakan akrobatik pada dua buah pole dance yang terpancang di tepian panggung, sambil sesekali menggoda penonton dengan tarian erotis. Beberapa lelaki yang berada dekat dari pinggir panggung, menyelipkan berlembar-lembar uang pada cup bra dan underwear dua wanita berpenampilan menor tersebut. Atraksi mereka berlangsung selama satu jam dan sampai penampilan mereka usai, suara decak puas serta tepukan gemuruh penonton masih terdengar sampai ke ruang make up.

"Hebat ... bravo! Penampilan kalian bagus sekali! Selvi, kamu pinter cari partner. Gitu, dong!"

"Jangan muji aja, Mam, ininya mana?" Selvi menggesekkan ujung-ujung jarinya. Wanita dengan riasan menor bersuara besar, dengan bentuk rahang tegas, dan kumis samar membayang itu langsung paham. Diambilnya dua amplop dari dalam tas kecil.

"Besok datang lagi, ya. Kamu mesti tanda tangan kontrak. Masih mau nari kan? Siapa namamu tadi?" Wanita yang dipanggil Mam mengalihkan pandang ke perempuan cantik di samping Selvi.

"Nur, Mam. Nur Wahyudin."

"Ah, namamu kurang komersil. Nanti Mami Tata ganti sama yang lebih menjual. Macam si Asep ini, lebih cucoookk ... dengan nama Selvi."

Mami Tata melenggang keluar dari ruang make up meninggalkan Nur dan Asep berdua saja. Nur menatap wajah di depan cermin besar. Perlahan-lahan ia mencopot dua buah bulu mata palsu lalu menghapus riasan wajah. Terakhir kali ia menghapus gincu berwarna darah dari bibirnya. Hati kecil Nur seketika diliputi perasaan lega usai melepaskan wajahnya. Wajah wanita yang terpaksa ia pasang di wajah lelakinya demi membayar hutang sang ayah.


~end~


Sumber gambar: Mbah Gugel

Kamis, 17 Desember 2015

CERMIN - LEWAT TENGAH MALAM

"Lu nyium bau kembang kagak, Jak?"

"Iye, nyium."

"Mirip kembang kuburan gitu kan?"

"He-eh."

"Duh, bulu kuduk gue jadi merinding disko, nih." Somad meraba tengkuknya yang meremang, "baunye tambah santer aje, Jak."

"Berisik, lu! Namanye juga ngeronda! Mau bau kembang, ade maling, ketemu jurig, ya kudu kite hadepin!" Rojak nyolot, sebel sama mental tempenya Somad.

Kali ini memang giliran mereka keliling kampung, aplusan sama Udin dan Jaka yang dua jam lalu sudah melakukan gilirannya.

"Gue pan iseng, Jak. Elu mah, kalu ngomong enteng banget," jawab Somad bersungut-sungut, "e-eh ... lu denger kagak, Jak? Sekarang malah ade ringkikan kuda! Hiiih ...!"

Refleks Somad langsung memeluk Rojak, yang serta merta mendorong tubuhnya.

"Apaan sih, Mad?!" bentak Rojak sewot.

"Ka-kate emak gue, kk-kalu ade suara ring-kikan kuda, lewat tengah mm-malem, berarti ade setan keliaran," jawab Somad terbata.

"Maad ... Somad, nih gue senterin ye, biar lu tau kite ade di mane!"

Tanpa menunggu jawaban Somad, Rojak mengarahkan cahaya senter ke sebelah kanannya yang agak gelap.

"Noohh ... liat!"

"Heheh, kandang kudanye Kang Soleh, ye? Gue lupa, die juragan delman di kampung kite." Somad cengengesan malu, "lha, tapi bau kembangnye?!"

"Itu minyak wangi gue, Mad, boleh dikasih ame si Marni," jawab Rojak sambil mengulum senyum malu.

~end~


Senin, 14 Desember 2015

FLASH FICTION - WANITA BERGAUN MERAH

Aku berkeliling sekali lagi untuk memastikan tak ada pengunjung yang masih berada di area museum. Terkadang ada saja yang nakal, memanfaatkan lorong-lorong gelapnya sebagai tempat berasyik masyuk walaupun telah diingatkan oleh penjaga keamanan. Aku salah satunya.

"Heh, siapa di situ?!"

Benar saja, kulihat sekelebat tubuh berjalan melewati deretan lukisan di blok G.

"Waktu berkunjung sudah habis, Nona," tegurku setelah berhasil mengejar orang yang tadi kulihat.

Kuedarkan pandang, mungkin saja ia bersama kekasihnya, tapi sepertinya ia sendirian. Wanita itu berbalik dan seketika aku tertegun. Wajah orientalnya cantik sekali.

"Pongo ...." [1] Ia berucap lirih.

"Maaf Nona, saya tidak mengerti maksud Anda," jawabku bingung.

Ia mengulangi perkataannya, lalu berbalik dan berjalan sepanjang lorong museum.

"Nona, Anda mau ke mana?!" teriakku lantang.

Ia tak menjawab, tapi gaun merah sutranya, dengan detil bunga-bunga kecil berwarna keemasan yang melambai-lambai, seakan memintaku mengikuti. Aku pun menjajari langkahnya, hingga kami sampai di bagian belakang museum.

"Pongo emkoi." [2]

Wanita itu memperlihatkan pergelangan tangannya yang kosong, lalu menunjuk ke arah sumur tua, yang terdapat di bangunan tambahan yang terpisah dari bangunan induk.

"Ge-lang? Gelangmu jatuh ke dalam sana?"

"Hoak, am." [3]

Seulas senyum hinggap di bibir mungilnya. Sepertinya ia senang, aku paham maksudnya.

"Tunggu sebentar."

Kulongokkan kepala ke dalam sumur, mengarahkan senter yang kubawa hingga cahayanya memantul di permukaan air yang hitam.

"Besok saja kita cari, gelap sekali di dalam sini," gumamku.

Tiba-tiba, satu kesadaran menyergap otakku. Wanita muda? Tengah malam? Hawa dingin merayap di punggungku, secepat kilat aku berbalik. Wanita itu ... matanya kini hanya merupakan lubang hitam!

"Ko cosam lei ...!" [4] lengkingnya tajam, bersamaan kedua tangannya yang menyerupai cakar elang, mendorongku ke dalam sumur.

"Aaahhh ...!" jeritku panjang.

Tubuhku meluncur cepat. Tangan yang tak nampak menampar-nampar kedua pipiku.

"Woooyyy ... bangun, Ndro! Banguuunn ...!"

Aku tergeragap. Peluh membanjiri seluruh tubuhku. Mana wanita tadi? Kualihkan pandang ke seluruh penjuru.

"Lo ... li-liat cewek, yang sama gue, nggak?" tanyaku terbata.

"Cewek? Elo tuh tiduuurr ...! Barusan aja teriak-teriak, jadinya gue tabok." Dika, temanku terkekeh, "makanya, waktunya jaga jangan molor, jadi mimpi aneh-aneh."

Aku hanya terdiam tak percaya, sambil mengelus-elus pipiku yang masih terasa panas.

~end~

Catatan kaki:

[1] Tolong
[2] Tolong bantu saya
[3] Iya, benar
[4] Matilah kau

Ilustrasi gambar: www.pinterest.com

Sabtu, 12 Desember 2015

PUISI - SABDA KOPI

Ngopi,

adalah satu-satunya cara yang aku tahu
untuk membunuh rindu

Pada serbuk-serbuk getir tersesat
di lingkaran bibir, aku bertanya,
"Kapankah rinduku menjelma jadi ledakan?"

Sebagai jawaban mereka akan bergulir
menuju kerongkongan,
mengendap di sana

Ahh, aku tersedak rindu





Sabtu, 05 Desember 2015

FLASH FICTION - SNOW WHITE DAN ABANG RUJAK

"Cermin ... cermin ... siapa yang paling cantik di jagat raya?"
Untuk ke sekian kalinya sang ratu penyihir bertanya pada cermin ajaib miliknya.

"Snow White, Ratuku."

Jawaban yang tak jua berubah membuat ratu penyihir murka.

"Baiklah, kalau begitu akan kubuat ramuan untuk membunuhnya agar aku menjadi yang tercantik!" teriaknya marah.

Siang itu setelah ramuan beracunnya selesai dibuat dan disuntikkan ke dalam sebutir jambu merah, berangkatlah ratu penyihir ke hutan tempat Snow White tinggal dengan menyamar sebagai abang tukang rujak.

"Rujak, Neng, seger lho dimakan siang bentet gini," rayu penyihir.

Snow White yang sedang menjemur pakaian langsung tertarik. Jarang-jarang tukang rujak masuk hutan, biasanya hanya anak-anak sekolah yang mencari jalan pintas menuju sekolah mereka.

"Abang nyasar, ya?" selidik Snow White.

"Enggak tuh, emang sengaja masuk hutan."

"Abang kenapa jualnya rujak?"

"Abang bisanya dagang ini. Emang kenapa, Neng?" tanya penyihir heran.

"Saran saya sih, lain kali kalau masuk hutan lagi, mending abang jualan gado-gado, pecel, atau ketoprak aja."

"Lha ... emangnya kenapa sih, Neng?" Ratu penyihir tambah penasaran, lupa sudah ia akan tujuannya untuk membunuh Snow White.

"Tuuh ... emangnya Abang nggak bisa baca ...?!" Snow White mengarahkan telunjuknya pada plang besar di belakangnya.

Ratu penyihir yang kurang awas penglihatannya memicingkan mata dan membaca dengan keras kata-kata yang tertulis di plang tersebut.

"SNOW WHITE RUJAK & JUS ... menjual aneka macam rujak dan jus buah."

Gubrak! Ratu penyihir pun pingsan dengan sukses.

~The End~

Mau baca Flash Fiction lainnya yang lebih seru? Dapatkan bukunya segera 'Segenggam Air Bah di Atas Loteng' di Penerbit Lovrinz.

Jumat, 04 Desember 2015

PADA PEJAMMU

pada pejammu yang paling rapat, saat kau harap suara-suara dari atas gunung berhenti berkelakar, ternyata gumaman mereka pindah ke atas ranjang. bibir sepimu bergumul pada suara di sudut bantal.

"biar kutikam sunyimu, lelaki," bisiknya penuh getar.

matamu kini menghunus! sejurus suara-suara lain berterbangan keluar. hening membius. tinggal kau dan suara milik si perempuan.

"belatimu tak akan sanggup membunuh apa yang sudah mati, perempuan."

matamu kembali pejam. suara perempuan menghilang, tak lagi mengusikmu.

Jumat, 27 November 2015

CERPEN RELIGI - LABIRIN CINTA IS

Johannes Andrews, itulah nama laki-laki yang aku cintai dan mencintaiku. Tiga tahun sudah kami merajut kasih dan selama itu pula aku menutupi hubunganku dengannya dari keluarga, karena ada hal besar yang menghalangi hubungan kami. Tapi seperti kata pepatah, sepintar apapun menyimpan bangkai baunya toh akan tercium juga, dan saat berita tentang hubunganku dengan Jo akhirnya terendus keluarga, itulah awal dari keretakanku dengannya.

"Kau gila, Is! Kau mau mengakhiri hubungan kita hanya demi menuruti kemauan orangtuamu?! Pikir panjang lagi, Is!" Urat-urat di kening Jo bertonjolan, rahangnya mengatup kuat-kuat menahan dorongan emosi yang begitu besar.

"Kamu harus mengerti posisiku, Jo. Di mata agamaku hubungan kita ini tidak mungkin, dan papaku, sekarang beliau sedang ...."

"Kamu sudah tahu konsekuensinya tiga tahun yang lalu, jadi jangan kasih argumen basi kepadaku! Aku nggak mau kita putus!" potong Jo cepat, dan sebelum aku sempat menjelaskan apapun lagi, Jo sudah pergi meninggalkan aku.

Tinggallah aku mematung sendiri dengan berjuta perasaan berkecamuk di benak. Peristiwa yang menimpa papa minggu lalu tiba-tiba terekam kembali di ingatan ....

"Papa sudah tahu semua," desis papa geram, tahu-tahu saja beliau sudah berdiri di depan pintu kamar saat aku melipat sajadah usai menunaikan salat Isya, tak dapat lagi kututupi kekagetanku, dan kusadari mukaku memerah menahan malu, "jauhi Johannes, kamu sudah bikin hancur hati orangtua, bertobatlah segera karena kau pun tahu agama kita melarang hubungan yang kamu lakukan!" bentak papa, kerut-merut di pelipisnya bergerak-gerak menahan luapan amarah.

"Pah, saya ...."

"Papa belum selesai!" Gelegar suara papa membungkam mulutku seketika, "Papa sudah mengatur supaya minggu depan kamu bisa berta'aruf [1] dengan Ken. Dia anak baik, baru selesai mondok dari pesantren ternama, dan yang terpenting bersamanya kamu bisa memperbaiki akhlakmu yang rusak!" tandas papa cepat.

"Pah, saya nggak bisa! Saya mencintai Jo, Pah," kataku dengan suara bergetar.

Plaakk!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi. Darah mengalir dari sudut bibirku yang pecah.

"Ka-kauu ... menji ... jikkan! Berani melawan orangtua haah ...?!" Tangan papa yang sudah bersiap menamparku lagi terhenti di udara, tangan kirinya meremas bagian dada sedangkan air mukanya mengernyit kesakitan. Keringat dinginnya mengucur deras dan sebelum mampu kusanggah, tubuh papa meluncur jatuh ke lantai.

"Papaaa!" Teriakanku pecah memenuhi udara bersamaan tubuhku memeluk orangtua yang sangat aku kasihi.

Tanpa terasa bulir air jatuh di sudut mata dan segera kuseka dengan punggung tangan. Selalu begitu, selalu ada haru tiap aku mengingat kejadian yang membuat papa kini tergolek di rumah sakit, dan semuanya karena aku! Segera kustarter motor meninggalkan pelataran parkir mall tempatku tadi bertemu dengan Jo dengan pikiran yang kian kalut.

***

Pulang kerja seperti biasa aku mampir ke rumah sakit. Ada nyeri yang amat sangat, saat aku hanya mampu melihat papa dari balik kaca pintu ruang perawatan. Mama melarangku masuk, karena takut akan mempengaruhi kondisi papa yang mulai stabil. Tadi aku bertemu dengan Om Angga, dokter keluarga yang menangani papa. Penuturannya padaku kembali menjejali otakku dengan pikiran buruk.

"Is, papamu sudah pernah anfal [2] sebelumnya dan yang kedua ini jauh lebih parah. Sekali lagi papamu mendapat pukulan sehebat ini, nyawa papamu bisa tak tertolong. Om harap, kamu dan anggota keluarga lainnya bisa menjaga perasaan papamu, jangan sampai membebaninya dengan pikiran berat." Om Angga menatapku memohon pengertian.

Aku tak kuasa menjawab apa pun hingga akhirnya hanya mengangguk lemah. Seolah-olah aku memasuki labirin waktu dan tak bisa tentukan arah tujuan, hingga terjebak aku di dalamnya.

***

Danau belakang kampusku dulu, sore ini tidak begitu ramai. Di sinilah Jo pernah menyatakan perasaannya. Setelah perang batin yang bergolak cukup lama, akhirnya aku tiba pada satu keputusan.

"Is ...," Sebuah tepukan ringan mampir di bahuku, "bagaimana papamu?" tanya Jo, seraya menjatuhkan tubuhnya yang kekar di rerumputan di sampingku. Sepasang mata elang dengan barisan alis tebalnya menatapku khawatir.

"Buruk, tapi aku memintamu datang bukan untuk membicarakan tentang papa, Jo, tapi kita," kataku tajam. Ada getir terasa saat mengucapkannya, tapi aku tidak boleh mundur lagi. Inilah saatnya!

"Aku akan pindah agama, Is, kalau itu masalahnya. Demi kamu ... demi kita," ucap Jo tiba-tiba membuatku melengak kaget. Apa maksudnya?

"Tidak akan mengubah keadaan, Jo! Kau tahu ada hal yang lebih besar dari itu! Lagipula aku tak ingin kau pindah agama hanya karena aku, bukan karena dirimu yang menginginkannya!" sentakku pahit.

"Aku mencintaimu, Is, aku akan berkorban apa pun untukmu!"

Teriakan Jo menarik perhatian segerombolan mahasiswa yang lewat di dekat kami. Beberapa di antaranya tertawa tertahan, beberapa lainnya memandang sinis, tapi Jo tampak tak peduli.

"Pelankan suaramu, Jo," bisikku dengan tatap khawatir.

"Kenapa? Kamu malu?! Kamu malu punya pacar aku?!" teriaknya lagi lebih keras dari sebelumnya. Jo sudah berdiri di depanku kini dengan mata berapi-api.

"Aku mau kita putus, Jo. Aku akan menyalahkan diriku seumur hidup kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi pada papa," kataku cepat, dan secepat itu pula aku membuang pandang dari matanya sebelum kulihat api itu lagi.

"Kamu menyerah, Is? Kamu mau mengorbankan hidup dan kebahagiaanmu sendiri?!"

"Iya ...," anggukku lemah.

"Lihat aku, Is! Lihat aku dan jawab kalau memang itu maumu!" Dicengkeramnya kedua bahuku, dipaksanya agar menatap matanya.

"Iya! Aku mau menyudahi hubungan kita dan itu kemauanku, keputusanku!" Kutentang matanya kuat-kuat dan seketika aku tertegun. Bukan lagi api yang kulihat di sana, tapi luka ... mata yang selalu kukagumi itu menyayatkan luka, dan tak dapat kutarik kembali kata-kataku untuk menghapus luka itu.

"Baiklah ... selamat tinggal, Is," bisik Jo lirih setelah beberapa lama.

Aku terpaku. Detik berikutnya hanya kulihat siluet punggungnya, menjauh bersama senja yang luruh ke permukaan danau. Labirin cinta penuh liku yang kujalani bersamanya ternyata berakhir di sini. Seperti ini.

***

"Pah ...," bisikku di telinganya, "saya sudah turuti permintaanmu. Saya pun ingin bertobat, Pah. Dosa saya begitu besar, tapi
bukankah Allah menerima taubat seorang hamba, selama nyawanya belum sampai di. kerongkongan, Pah." [3] Tangisku pecah tak tertahankan lagi, di sampingku mama ikut terisak pilu.

"Ismail  ... anakku," Suara papa terbata-bata, "alhamdulillah, Allah telah memberimu hidayah."

Kulihat air mata menetes di pipi papa. Bertiga kami hanyut dalam keharuan di ruang kamar rumah sakit.

Telah kuputuskan untuk berta'aruf dengan gadis bernama Ken Lila Zuraida. Nama yang cantik, secantik parasnya yang diperlihatkan mama lewat selembar foto. Tak ada getar saat melihatnya, tidak seperti saatku bersama Jo. Namun aku ingin meraih kembali cinta-Nya dan menjadi lelaki sejati seperti harapan orangtuaku.

~selesai~

Ket:

[1] Perkenalan atau proses saling mengenal antara laki-laki dan perempuan sebelum menikah yang dalam prosesnya selalu dimediasi oleh perwakilan dari kedua belah pihak (pimpinan, guru ngaji, atau juga orangtua).
[2] Serangan jantung.
[3] HR. At Tirmidzi.







Jumat, 20 November 2015

ARSENIK

"Paakk ... buka pintunya, Paakk! Jangan lakukan ituu ...! Bukaaa!"

Suara pintu dihujani pukulan dan benturan bercampur lengking tangis wanita, merobek langit-langit kamar. Menginfeksi ruang seluas 2x3 meter persegi, menghantam liang-liang telinga, berdentam di antara derit kaki ranjang, tapi semua kegaduhan barusan sedikit pun tak menyurutkan niat lelaki 40-an tahun itu untuk terus melenguh dan mengembik di atas polos tubuh seorang gadis belia.

"Aaahh ...!"

Lelaki bertubuh tambun itu bahkan tak malu-malu berteriak usai hasratnya tertuntaskan. Masih dengan napas tersengal ia berguling ke samping tubuh si gadis, mendesah nikmat, dan menyeringai puas. Sebentar kemudian suara dengkurannya mendominasi segala bentuk suara.

Si gadis belia yang berbaring di sebelahnya, masih sama seperti setengah jam yang lalu. Tetap diam ... kaku ... tak bergeming, bagai seonggok kayu api terguyur hujan semalaman hingga tak sanggup menyala. Matanya tak berkesip, hanya memandang ke satu titik hampa di langit-langit kamar.

Suara wanita di balik pintu kembali terdengar. Rintihnya menyayat, sisakan gema di kaca-kaca jendela.

"Paakk ... tolong jangan lakukan, Paakk! Dia anakmuuu ...!"

THE BEGINNING ...

Kamis, 19 November 2015

ENJAMBEMEN - SEKODI SAJAK KOPI UNTUKMU, LELAKI

Terenduskah
wangi rinduku
di cangkir kopimu,
kekasih?
Di puncak malam ini
reguklah
segala kesumatku
yang bergumpal
dalam jelaga
kopimu.
December 18 at 23:32 pm
Jangan jatuhkan
air mata
saat rindu
membusuk
di gelas kopimu, Rie.
Telah kurapalkan
sebaris
puisi
dalam cangkir
kopinya,
niscaya segarlah
kembali
ingatan tentangmu
yang masih di sini
menanti.
December 18 at 20:03 pm
Sudahkah setan enyah
dari batang otakmu,
lelaki?
Berhari hari
mereka bergentayangan
membuatmu nyaris
lupakanku.
Bila tak henti juga
mereka kongkow kongkow
guyur saja
dengan racikan kopiku.
Kali ini
aku ramukan
hammerhead,
barista menyebutnya
'tembakan dalam gelap'.
Izinkan aku
menembak
setan setanmu, lelaki.
Agar diriku hadir
kembali
di hati.
December 14 at 2:51pm
Reguk kopiku, Lelaki.
Di sana kusimpan
tangis termagis.
December 2014
Masihkah kau
butuh kopiku,
Lelaki?
Pagi ini aku hanya punya
kopi tubruk,
kuracik bersama cintaku
yang mabuk.
Di cangkirmu
yang kuanyam
dengan duri duri
mawar
kuseduhkan mereka
untukmu.
Semoga kau tak ngilu
tertusuk
saat mereguk.
December 12 at 7:39 am
Hanya mampu
memagut
bibir cangkir kopimu,
lelaki.
Betapa kudamba
hangat yang kureguk
barusan
adalah hangat bibirmu
yang sepi.
December 10 at 4:52 pm
Mengapa kau racikkan
puisi sedih
ke dalam cangkir cangkir
kopi kita, kekasih?
Mereguknya telah membuatku
merasa kehilangan
engkau.
December 9 at 2:19 pm
Matamu, pukat rinduku.
Di matamu
aku ingin ngopi
hingga tandas
arak api rindu ini.
December 7 at 11:30 pm
Malam berkarat
di kotaku, bung.
Rinduku kapalan sudah
sedang yang kumampu
hanyalah
setubuhi
kopi malammu.
December 6 at 8:44pm
Kuracikkan untukmu
kopi yang sombong, Lelaki.
Betapa tidak?
Karena di dalamnya
kutambahkan rinduku
yang kuat
dan kasihmu
yang tegar.
Lelaki, nikmatilah
kesombongan cinta.
December 3 at 3:36pm
Seandainya kopi itu
migrain,
pasti aku memintamu
berhenti
mereguknya, Lelaki.
Tapi ternyata
kopi bagimu serupa
bibirku yang candu
hingga kubiarkan
engkau
menyesapnya
berulangkali.
December 1 at 7:16 am
Lelakiku,
Jika kopi adalah masalah,
maka sebaiknya
jangan ada kopi
di antara kita.
Tapi jika kopi
adalah kasih sayang,
semoga kopi
terus menerus
hadir
bercangkir cangkir
di pagi siang
sore malam
dan dini hari
kita.
Dan pagi ini
kusuguhkan kopi
yang sangat kental
untukmu
karena pekatnya
kasih sayangku
teramu di dalamnya.
Lelaki, reguklah ia
sepenuh hati.
November 29 at 11:33 pm
Lelaki,
jangan pandangi saja
kopi yang sedari tadi
kuseduh untukmu.
Aku telah selundupkan
diriku
kedalam engkau
agar kita bisa
menikmati
kopi itu bersama.
November 26 at 7:26 am
Roti gambang paling cocok
menemani
kopi pagimu, Lelaki.
Sedangkan engkau
adalah seorang
yang tepat
menemani hidupku
kelak.
November 26 at 1:38 am
ngopi adalah caraku
memahami keheningan
dirimu
yang kerap teraduk
di ampas kopiku.
November 2014
Pagi, Lelaki.
Sesaplah aroma
kopimu
sebelum kau
mereguknya.
Gairahku
yang tak terbendung
semalaman
kuracik bersama
pucuk pucuk gairahmu
di sana.
Rasakanlah
betapa nakal
dan liarnya
kopi pagimu.
November 21 at 11:45 pm
Mana yang lebih pahit,
kekasih?
Kopi yang kuseduh
dari bulir bulir
kecintaanku padamu
yang tersekap
di dada?
Atau air mataku
yang baru saja
tercampur
dalam kopi
dini harimu?
November 10 at 7:35 pm
Selamat pagi, Lelakiku.
Kopimu dingin
semalaman
dikecupi embun embun
penantianku.
Mengapa tak segera
mereguk
bulir bulir rindu itu
sebelum nanti
terlanjur
mengkristal.
Lelaki,
ada apa denganmu?
Begitu perihkah
sayap belatiku
memelukmu
hingga kau siap
untuk pergi
di detik
yang tak kumengerti.
Maka izinkan
aku menyeduh
kopimu
sekali saja.
Sebelum sayapmu
sendiri
tumbuh
dan kau terbang
menjauhi
perempuanmu.
November 2014
Yang kuhirup sedari tadi
ternyata ampas kopi.
Pahitnya
menyerupai rindu
yang tak tersampai.
November 2014
Aroma pagi
demikian hijau
dari embun-embun
yang menumpuk
semalaman
di rerumputan.
Lelaki,
apa kabarmu
pagi ini?
Masihkah kau
kelabu?
Seduhlah kopi
yang kuramu
dari derita
para musafir
di puncak sinai.
Mereka mendendangkan
syair kasmaran
bermalam malam
hingga tangis mereka
jatuh
menjelma ribuan butir
kasih terdalam.
Kupunguti satu-satu
seraya tak henti
hatiku
menahan haru.
Ternyata sepiku
ikut mengisak
di sana.
Lelakiku,
teguklah segera
jangan ragu.
Kopi dari butiran
kasih terdalam
agar tersemai ia
dalam hati
mengekalkan
ikatan kita.

November 3 at 8:21 am

Sumber gambar: Google


Selasa, 10 November 2015

SETULUS KASIHNYA

"Yakin masih mau nulis? Siap dibombardir sama kritikus? Siap tulisanmu dibedah sampai kamu nangis darah?!"

Aku menunduk, tak berani menatap mata Kak Shinta, lalu nyaris tak terdengar aku menjawab ....

"Masih, Kak ... siap."

"Terus kenapa nangis hanya karena gak tembus event? Kenapa ngeluh jari sakit semua, gara-gara kebanyakan ngetik? Kenapa selalu alasan, 'Lagi writer's block'? Nonsens tauk!"

Blaamm!

Selalu begitu, setelah puas meluapkan amarahnya, Kak Shinta akan keluar dari kamarku sambil membanting pintunya.

"Sabar ya, Sayang, Kak Shinta begitu kan karena ia mendukungmu."

Mama, benteng terakhir untukku berkeluh kesah, akan memompa semangatku kembali dengan kata-katanya yang sesejuk embun. Beda sekali dengan kakakku yang satu itu.

"Masak ada orang kasih dukungan caranya begitu, Mah?" jawabku bersungut-sungut, sambil masih merebahkan kepalaku di pangkuan mama.

"Kakakmu cuma ingin kamu yakin dengan pilihanmu, apakah kamu serius atau tidak."

"Tapi kan gak harus ngomel-ngomel juga. Emang enak apa dibentak-bentak."

"Itu kan untuk mempersiapkan kamu di dunia yang kamu geluti. Apa yang kakakmu lakukan belum seberapa, dengan apa yang akan kamu hadapi di luar sana. Kamu harus punya mental baja!"

Aku terdiam, mencoba menelaah semua perkataan mama. Sedikit demi sedikit aku mengakui kebenaran kata-katanya.

"Kakakmu itu sangat sayang padamu, Riska. Dia orang pertama yang membaca tulisanmu, mengumpulkan file-file tulisanmu yang tercecer karena kamu sembrono, orang yang selalu siap begadang untuk kamu. Ingat, nggak?"

Perlahan-lahan ingatan itu kembali berlarian di otakku. Kak Shinta yang rela membuatkan coklat panas saat aku menulis sampai malam, Kak Shinta yang giat mengikutsertakan aku dalam event-event menulis, Kak Shinta yang nemenin begadang karena aku takut sendirian, padahal besoknya ia harus ngantor pagi, Kak Shinta yang, aah ... mama benar, aku hanya menilai buruk apa yang kakakku lakukan. Padahal di balik itu semua, tersembunyi kebaikan hati dan ketulusan kasihnya yang tak kulihat sebelumnya.

"Mah, Kak Shinta di mana?"

"Belum pulang kantor, lembur. Kenapa?"

Aku malu mengatakannya pada mama, tapi saat ini yang ingin aku lakukan adalah, menghambur ke pelukan kakakku sambil berucap, "Terima kasih, Kak. Aku sayang Kakak."

Senin, 02 November 2015

PADA SEBUAH DIAM III

pada sebuah diam, nada nada menjadi kerontang dalam ingatan yang legam. tak ada lagi ruang untuk bercengkerama tentang hujan dan retak retak tanah yang dulu kita ketahui sebagai sepasang kekasih. hujan lebih sering meluapkan dirinya hingga mengalir menuju sungai sungai yang akhirnya bermuara ke laut, enggan menyelusup ke celah celah tanah yang semula menampung kerinduannya namun kini mulai berpaling pada angin.

"terbangkanlah aku, angin, biar kuluruh menjadi debu karena hujan tak lagi menginginkanku," pintanya.

lalu angin mengembuskannya kuat kuat sampai seluruh tubuhnya menyerpih menjadi sahara dan tiba di sebuah daratan dengan tebing gamping di salah satu sisinya dan samudera di sisi lainnya. lalu tanah yang telah menjadi sahara melipat sepinya dalam diam yang diam diam merayap datang.

sesekali ia akan memandang samudera mencari jejak sang hujan, namun seketika ia akan berpaling dan menyembunyikan air matanya di sudut sudut tajam tebing gamping. "ahh, bukankah ia telah melupakan ...," bisiknya pada desir angin sebelum ia kembali melipat hening sepinya, pada sebuah diam.




Sabtu, 31 Oktober 2015

PADA SEBUAH DIAM II

pada sebuah diam, kata-kata berloncatan menjadi moncong senjata yang menyalakkan dusta. engkau menganyamnya dengan rapi pada selembar pelepah pisang. Oi, itukah pelepah tempat kita dulu bernaung dari raungan hujan?

ah, hujan pun telah lama terdiam, tak ada badai untuk kutarikan sepi sepi begini. mungkin musim musim penghujan telah kembali ke musim musim kelabu. bukankah hanya ada diam di musim itu?

atau mungkin musim musim penghujan tetap ada, hanya saja diriku yang memilih untuk tak lagi menari. urung mengibaskan derai yang bergelayut di tepi tepi gaunku. memilih diam walau genderang petir telah memberikan aba-aba," hujan ini milikmu, perempuan!" teriaknya.

pada sebuah diam, aku menjadi diriku yang asing, engkau menjelma dirimu yang tak kutahu. kita memilih diam. hanya terpekur menatapi air hujan yang terus menerus mengecupi sela sela jemari.






Jumat, 30 Oktober 2015

PADA SEBUAH DIAM

Pada sebuah diam
Kata-kata menjelma gelimangan
bintang
Di langit utara masih tersimpan
rinduku yang masygul
Terbungkus dalam wingit malam
Di sepi-sepi ketiadaan

/Kita memberi jarak pada kisah
yang belum usai/

Pada sebuah diam
Doa-doa adalah mimpi berhamburan
Segala harap lesap di pelupuk
rembulan
Menjadi lumuran air mata

/Kita mengendap pada bisu di
musim musim kelabu/








Senin, 26 Oktober 2015

PUISI - DIA BAPAKKU

Bapakku,
Di punggungnya ia menjala matahari menjadi ketabahannya yang sangat

Berkerau guguran air mata ia kumpulkan menjadi musim semi; aku bertunas dari aliran tanah dan air di sela-sela jemarinya, tanak di rahim ibu

Saat langit memekar, terompah bapakku berderap sepanjang pesisir. Angin dan debu menjadi hulubalang, menebah renta langkah di gorong-gorong perjalanan

Meski kerap terjungkal bapakku bangkit kembali, mengokang popor kesungguhan dengan beribu mesiu ketulusan, mencambuki diri berkali berperih-perih sendiri demi kami, anak istri

Bapakku,
Walau rambut telah menyemai salju, lembing mata hilang peluru, tapak-tapak cadasnya mulai berlumut dicekoki benalu, tapi ia masih mampu memanggul karang ke puncak mercusuar
 
Aku pastikan, ia pun masih sanggup menyunggi letusan merapi di atas kepalanya


Rie||2015


(Event Ayah LovRinz telat kirim)

Rabu, 21 Oktober 2015

SEKELUMIT KISAH MARNO

Namanya Sumarno, tapi cukup panggil dia Marno. Ia berprofesi sebagai kuli bangunan. Perawakannya sedang saja, berkulit legam karena banyak terbakar sinar matahari, dan memiliki badan yang cukup berotot.
Namun jangan salah ... penampilan itu akan berubah drastis kala malam menjelang. Ia seketika menjelma menjadi Marini. Waria sintal, cantik, lembut nan eksotis, menurut dirinya sendiri. Tapi bagi aku, sang tukang ojek langganan, bedak, lipstik, atau bulu mata anti badai yang melekat itu tidak bisa menutupi garis-garis keras wajahnya. Dan urat-urat yang bertonjolan di tangan, tentu saja jauh dari kesan lembut.
Seperti biasa, tepat jam delapan malam aku telah tiba di rumah kontrakan Marno. Ia sudah menungguku di teras.

"Man, gue belom makan. Tar jangan langsung ke tempat mangkal, kita mampir dulu beli gorengan di warung Mpok Zaenab. Oke, Man?!" kata Marno sambil nangkring di jok belakang. Aku mengacungkan jempol tanda setuju.

Motor kustarter, kami pun melaju. Seperti malam-malam lalu, Marno akan menceritakan kisahnya sepanjang perjalanan kami, bagian menarik yang kadang membuatku miris atau malah tertawa geli.

"Man, jadi kuli bangunan itu memang bisa mengisi perut, bayar kontrakan, ngirim uang ke emak di kampung, sama buat nambah-nambah isi celengan, tapi sebenarnya pekerjaan itu gak srek di jiwa gue. Beda sama jadi waria, bagi gue itu adalah panggilan hidup!" Suara Marno timbul tenggelam di antara ingar-bingarnya kendaraan.

"Kok bisa?!" teriakku, mengalahkan deru angin.

"Bisalah! Gue yakin lu juga gitu. Lu ngojek pasti karena tuntutan supaya dapur rumah bisa terus ngebul, Man. Tapi corat-coret yang sering lu buat di bungkus rokok itu berkata banyak. Penyair ... itulah panggilan jiwa lu!"

Kata-kata Marno telak menohok jantung. Aku membisu seribu bahasa, hanya dalam hati diam-diam mengiyakannya.

"Gue pernah mundur tiga kali dari tiga rencana pernikahan, Man. Kebayang kan lu, gimana gue ngadepin semuanya saat itu? Berat, Man! Semata-mata karena gue mau jadi laki-laki normal, pengen bisa kasih cucu seperti harapan emak!"

"Terus?!" tanyaku, setelah jeda yang cukup panjang. Mungkin riuhnya suara klakson bersahutan dari banyak kendaraan, memecah konsentrasi Marno bercerita.

"Intinya gue gak cinta mereka, Man. Gue gak bisa nafsu sama cewek dan gue gak mau menyakiti mereka dengan memberi harapan palsu!"

Sampai di situ Marno tidak melanjutkan kalimatnya. Aku pun tak bertanya lebih lanjut, memilih berkonsentrasi pada jalanan di depan kami. Lewat satu perempatan, aku berbelok ke kiri melewati jalan kecil penuh lubang, sebelum akhirnya kurang lebih dua ratus meter sampailah kami di warung milik Mpok Zaenab.

"Kopi dua sama gorengannya, Mpok!" pesan Marno setelah kami duduk.

Tak berapa lama muncullah Mahmud, anak bungsu Mpok Zaenab—masih berselempang kain sarung, mungkin pulang dari surau—mengantarkan pesanan.

"Makan tuh, Man." Marno mengarahkan dagunya ke sepiring gorengan di depan kami, ia sendiri memilih meneguk kopinya.

"Gue suka puisi-puisi lu, Man," kata Marno tiba-tiba, "dalem banget lu punya kata-kata." Ia menatapku serius di antara kepul asap rokok yang disulutnya.

"Cuma tulisan iseng," jawabku dengan mulut penuh.

"Harusnya dijadiin buku aja semua tulisan lu itu, sayang kalo cuma berakhir di bungkus rokok," usul Marno. Ia menatapku lekat.

"Iya." Hanya itu ucapku, lalu kembali mencomot tahu isi.

"Gue suka cowok romantis. Menurut gue kalo cowok jago bikin puisi berarti dia romantis."

Entah mengapa kata-kata Marno meremangkan bulu kuduk. Punggungku terasa dingin, tahu isi ini mendadak mandek di tenggorokan. Cepat kuraih kopi milikku dan meminumnya sampai tandas.

"Lu itu tipe gue, Man. Apalagi perut gendut lu itu, suka bikin gue gemes pengen gelitikin."

Kali ini wajah Marno sudah sejengkal dari mukaku. Seulas senyum darinya tak berhasil menghentikan cucuran keringat dingin di sekujur tubuhku.

"Maman, mau gak lu jadi pacar gue?"

Tangan Marno sudah merayap menggenggam jemari tanganku. Aku tak tahu apa yang terjadi kemudian, karena detik berikutnya kepalaku berkunang-kunang dan tubuhku meluncur mulus ke tanah. Segalanya menjadi gelap.

~TAMAT~

Event KBM (juara favorit) dengan kata kunci: bulu mata anti badai, gorengan, sarung, celengan, mundur tiga kali.



Sumber gambar: Mbah Gugel





 

Sabtu, 17 Oktober 2015

PEKERJAAN BERDARAH

Lelaki bermuka bopeng serta berkumis tebal itu kembali mengamat-amati golok besar di tangannya. Ia berdecak puas, tampak seringai memantul lewat bilah golok yang telah tajam terasah. Langkah berikut, dikenakannya topeng ski. Ia tak pernah alpa memakai benda satu itu tiap menjalankan pekerjaannya.

"Aku tidak suka cipratan darah pada mukaku."

Itu yang ia katakan saat aku pernah menanyakannya dulu. Aku, asistennya selama belasan tahun melakukan pekerjaan berdarah, dan tugas utamaku adalah mengasah goloknya setajam mungkin sebelum ia gunakan.

"Aku masih punya hati, Min. Aku tak ingin korbanku merasa kesakitan saat kugorok leher mereka." Kata-kata yang sering ia ucapkan saat mengawasi pekerjaanku.

"Tunggu di sini, Min. Nanti kau bawa kepalanya setelah aku selesai, "perintahnya, membuyarkan lamunanku baru saja. Lalu ia menghilang ke balik pintu besar.

Tak berapa lama jeritan-jeritan berkumandang menyayat telinga. Perutku berontak menahan mual yang hampir mencapai tenggorokan, saat terbayang tubuh-tubuh terkapar tak bernyawa dan genangan darah yang harus aku bersihkan sesudahnya.

Hoeekk!

Setelah beberapa menit, aku masih bersandar lemas pada dinding kamar mandi yang gelap tak berpelita. Terkuras sudah isi perutku.

"Min! ... Parmin!"

Kupicingkan mata di kegelapan, lalu beringsut keluar dari kamar mandi. Ia, Kang Dikin, sudah menungguku. Tangan kanannya mencengkeram potongan kepala.

"Ahh ... sudah kerja lama sama aku masih saja sering muntah. Payah kamu!" omel Kang Dikin sambil menggeleng-gelengkan kepala melihatku mengelap bekas muntahan di sudut bibir, "antar nih, kepala kambing ke rumahnya Cak Mat. Sudah ditunggu istrinya mau dibuat gulai."

"Cuma itu aja, Kang?" tanyaku, masih lemas.

"Ya enggak dong, Min ... kamu balik lagi nanti ke sini! Aku sama Kang Mitra masih harus ngulitin sama motong-motong dagingnya, habis itu baru kamu antar ke warung satenya Cak Mat. Sekalian kamu antar juga pesanan Bu Dirman untuk aqiqah cucunya, 'kan satu arah rumahnya. Gimana sih, kok nggak paham-paham sama tugasmu!"

Kang Dikin berlalu meninggalkanku masih dengan omelan-omelan meluncur dari mulutnya. Kulirik kepala kambing yang ditinggalkannya di lantai. Mata hewan itu begitu sayu, lidahnya menjulur, dan darah tampak merembes keluar dari sela-sela lehernya yang menganga. Perutku kembali berontak, dan ...

Hoeekk!

Kembali aku muntah, tanpa sempat berlari ke kamar mandi.



~SELESAI~


Sumber gambar: Mbah Gugel



Selasa, 13 Oktober 2015

#prompt92 - TANGIS METEOR

Satu kelas mendadak kipas-kipas waktu Matahari masuk.

"Mat, kaga bisa ape lu redupin dikit sinar lu? Gile, panas banget, nih!" Pluto yang sebangku sama Matahari nyeletuk kesal.

"Saya baru bisa redup nanti sore, To. Kamu sendiri kan juga tahu." Matahari menjawab kalem. Dia sudah biasa dengan segala macam komplain teman-temannya, jadi memilih tidak ambil pusing.

"Kalo kepanasan mending duduknya sama aku aja, To." Venus yang memang sudah lama naksir Pluto menawarkan diri.

"Beuh, kaga dah. Mending gue pindah duduk ame Jupe. Elu pan panasnye sebelas dua belas ame Matahari," sembur Pluto sambil melangkah ke arah Jupiter.

"Eeh ... Pluto! Berapa kali eyke bilang, nama eyke Ju-pi-ter. Bukannya Jupe! Gue lekong sejati, ngerti nggak yey?" Jupiter marah-marah dengan gaya melambai.

"Mane ade nyang percaye lu laki, kalu gaye lu macem ulet keket kerendem minyak tanah begono," Pluto nyengir bajing. Jupiter langsung buang muka. Kesal.

Saturnus, sahabatnya Jupiter, tidak terima kalau teman baiknya itu dijadikan bahan tertawaan. Ia pun bangkit dari duduknya sambil bertolak pinggang.

"To, jaga mulut kamu kalau bicara! Nggak sopan tauk, menghina teman sendiri begitu!"

"Yaelah, Sa ... Sa. Gue pan cuman becanda doang, nape jadi elu nyang keki, sih? Noohh ... si Jupe aje kaga ngamuk kayak elu!"

"Sa darling, makasih udah belain eyke, Say. Tapi mending kita berdua nggak usah dengerin omongan si Combro. Nggak penting, Cyiiinn ...!"

Penghuni kelas Galaksi kembali bersorak, kali ini mendukung Jupiter. Memang yang lain juga kadang sebal sama tingkah laku dan kata-kata Pluto yang suka nyablak. Dengar-dengar, logatnya Pluto berubah karena terbawa logat pacarnya, si Bumi.

"Sstt ... Mars kenapa, tuh?" Uranus menunjuk ke arah jendela. Sedari tadi memang hanya Mars yang tidak peduli dengan semua keributan di kelasnya.

"Lu kenape, Bro?" Pluto memghampiri Mars diikuti teman-temannya yang lain.

"Meteor ... dia akhirnya kembali," bisik Mars lirih. Pandangnya sendu mendongak Jagat Raya.

Gerombolan temannya ikut melihat ke atas. Larik-larik api memenuhi angkasa layaknya hujan, melaju lesat dengan kecepatan tinggi.

"Pacar yey bukannya cuma satu ya, Mars? Kok datengnya sekeluarga?"

"Bukan, Jup. Itu bukan keluarganya, tapi air matanya," desah Mars. Tiba-tiba ia melompat keluar jendela kelas.

"Air mata? Kenapa si Meteor nangis?" tanya Merkurius yang tadi ikut mencuri dengar.

"Kita liat aja deh, Mer, kayaknya bakal romantiisss ...." Jupiter menangkupkan kedua tangan di pipi, membayangkan apa yang akan terjadi.

Di luar jendela Mars merentangkan tangan lebar-lebar, menghayati tiap jatuhnya air mata Meteor. Meresapi hujan tangis kekasihnya. Hujan Meteor. Tiba-tiba satu cahaya sangat panas jatuh dengan bunyi ledakan memekakkan telinga. Meteor tiba.

"Me, kamu kembali." Mars merengkuh gadis di depannya. Tubuh gemerlapan itu terisak dalam dekapan Mars.

"Seperti janjiku bukan, Mars. Kekuatan cinta akan selalu membawaku kembali walau aku tidak bisa menetap lama di sini," isak Meteor.

"Tak apa, Sayang. Kita nikmati waktu yang sedikit ini sebaik mungkin." Mars merenggangkan tangannya, matanya menatap wajah Meteor yang berpendar-pendar dengan penuh kasih.

Kedua sejoli itu lalu pergi sambil bergandengan tangan, diikuti tatapan iri teman-temannya.

"So sweeett ...," seru Jupiter sambil mengusap matanya yang basah.



Rie||131015






Sabtu, 10 Oktober 2015

PULANG

"Ayaah!"

Rania berteriak gembira saat membuka pintu dan mendapati sang ayah dalam seragam loreng kebanggaan, memberinya senyuman paling menawan.

"Ayah kenapa lama? Rania kangen," celoteh Rania sambil memeluk sang ayah, "ayah kok kotor amat? Bau lagi. Pasti Ayah belum mandi!" Gadis kecil itu tiba-tiba melepaskan pelukannya dan menutup hidung, tanpa menunggu jawaban sang ayah.

"Rania ...," bisik lirih ibunda.

Rania tidak memedulikan teguran ibunya, ia tetap menutup hidung lalu melangkah mundur selangkah demi selangkah menjauhi sang ayah. Sebentar kemudian ia berlari dan berloncatan dari kursi ke kursi yang tertata rapi di luar rumah.

Hari itu ibunda Rania memang telah menyiapkan segala keperluan, untuk menyambut kepulangan suami tercinta dari tugas negara menjaga perbatasan di wilayah Papua Nugini. Tiga hari lalu bahkan sang suami ikut terjun langsung dalam upaya pembebasan warga sipil, yang mengalami penyanderaan di wilayah Keerom.

"Sudah Bu, ulah dikejar. Rania teh, biar saya saja yang ngawasin," ucap perlahan seorang tetangga menawarkan bantuan. Ia segera berlari ke arah Rania sambil memperbaiki kerudungnya yang lepas ditiup angin.

Ibu Rania kembali mengalihkan perhatiannya pada sang suami. Dirinya tak kuasa menahan kerinduan. Segera saja ia mendekap dan membelai wajah suaminya. Rasa sesak menggumpal di hati, meledak dalam jerit isak tertahan.

"Bunda kenapa nangis, sih? Kan ayah udah pulang, gak ninggalin kita lagi buat tugas." Rania sudah kembali berlarian di antara ayah ibunya.

"Rania, ulah ganggu Bunda, atuh. Kita main lagi, yuk."

"Gak mau! Aku mau sama-sama ayah. Gak pa-pa bau, yang penting ayah gak pergi lagi."

Gadis kecil itu meronta dalam gendongan tetangganya. Ia menjerit, menangis, memanggili ayah tercinta.

"Bu Ajeng, ambulance sudah siap. Upacara pemakaman Bapak akan segera dilaksanakan. Menunggu titah Ibu."

Tiada jawaban. Sang bunda hanya terus memeluk suaminya yang tersenyum dalam peti jenazah.

Rie||2015

( Alhamdulillah, ini kemarin menang event hari TNI )

Sabtu, 03 Oktober 2015

MEMORI METROMINI

Sumpah, orang tua saya Jawa 22-nya, tapi emang muka saya rada-rada Batak :-D

Walau awalnya bete dikira orang Batak, tapi ternyata justru muka kebatak-batakkan saya ini menguntungkan pas jaman sekolah!

Saat pulang dari sekolah saya yang ada di daerah Panglima Polim (pasti banyak yang tahu kan SMU Texas 46 :-P ), saya jadi sering digratisin kalau naik metromini 610 jurusan Pondok Labu-Blok M :-D

Kok bisa?

Pasti mau nanya gitu kan?

Ya bisalah! Karena mayoritas sopir dan kernet metromini itu kan asalnya dari tanah batak ya. Jadinya rasa kedaerahan tuh kental banget kalo liat ada orang dari daerah yang sama. Nah, gini lho ceritanya.

Saya paling seneng kalo naek bis, duduk paling belakang deket jendela. Alasannya, kayaknya keren dan agak-agak misterius gitu kalo diliat orang lain. Eeaaaa ... :v

Dari sini mulailah percakapan antara kondektur dan penumpang yang berujung naek kagak bayar. Ehehheheeh

Kondektur: "Sekolah di Texas kau?"
Saya: "Iya, Bang."

Kondektur: "Sering ikut tawuran? Cewek-cewek sekolah kau sering kuliat ikut tawuran."

Saya: "Itu angkatan dulu, Bang, tawurannya juga sesama cewek. Kalo angkatan saya udah insyaf. Tapi ada juga sih, dua orang temen saya yang suka ikut tawuran cowok-cowok."

Kondektur: "Ooh ... begitu? Kau ini orang Batak, bukan? Mukamu macam orang Batak saja."

Saya: "Iya, Bang." (setelah melakukan penyangkalan tapi gak dipercaya)

Kondektur: "Ah, benar kataku. Margamu apa?"

Saya: "Siregar." (nyomot marga temen)

Kondektur: (ngomong bahasa daerahnya)

Saya: "Saya gak ngerti, Bang. Saya gede di Jakarta."

Kondektur: "Ah, macam mana pulak. Harusnya kau belajar, biar paham bahasa nenek moyang kau."

Saya: (manggut-manggut)

Percakapan terhenti. Kondektur ini lalu bolak-balik nagihin ongkos ke penumpang lain. Tapi saya kok gak ditagih-tagih? Pikir saya.

Saya: "Bang, ini ongkosnya. Lupa ya?" (ngangsurin duit)

Kondektur: "Ah, sudah simpan saja tak usah bayar."

Saya: "Makasih, Bang." (nyengir bajing)


Rabu, 30 September 2015

IA YANG KEMBALI


"Aku di danau, aku masih hidup!"

Andhita tersentak, terbangun dari tidurnya dengan keringat sebesar-besar jagung. Mimpi yang sama selama tiga malam ini.

Harus kucari tahu sekarang, katanya dalam hati.

Danau di belakang rumah tampak pekat, hanya sedikit cahaya bulan membantu penglihatannya saat berjalan menuju dermaga.

"Sekar ...!" pekik Andhita tertahan, tak ingin terdengar orang lain.

Angin teramat keras mendadak menampar tubuh Andhita.

"Aku di sini." Satu suara dingin menjawab.

Andhita menoleh cepat, secepat Sekar mencekik lehernya dan menariknya ke dasar danau. Sama seperti yang dilakukan Andhita tiga hari lalu padanya.

~end~

Kamis, 24 September 2015

RAHASIA RUMAH KOSONG

"Masak sih, kayak apa setannya?"

"Kuntilanak nge-pink yang nongol lagi?"

"Genderuwo ijo kayak minggu kemarin, bukan?"

"Lo sampe ngompol gak liatnya?"

Pertanyaan teman-temannya yang bertubi-tubi membuat Rojak kewalahan untuk menjawab.

"Tunggu ... tunggu, gue bingung jawabnya kalo gini!" teriaknya, "yang pasti tuh setan sempet nabok pipi gue, liat niih ...." Rojak pun memamerkan pipinya yang kebiruan.

"Iih, sadis! Berarti kita gak bisa main bola di rumah kosong ini lagi, dong?" Imran yang paling tengil angkat bicara.

"Udah dua mingguan si Rojak mulu yang diganggu, jangan-jangan besok giliran kita." Pita, satu-satunya cewek di kelompok Rojak, bergidik ngeri.

"Hmm ... ya udah, mulai besok kita pindah main bolanya di lapangan belakang rumah Pakde Miko," putus Anji, yang paling dituakan di kelompok.

"Serem ah, Pakde Miko kan galak. Inget gak waktu bola kita masuk pekarangannya?"

"Serem mana, Dun, sama ditabok jurig?!" Arya ikut berkomentar, "udah deh, sekarang juga kita cabut dari sini. Tengkuk gue jadi merinding disko, nih!"

Rombongan teman-teman Rojak pun bangkit berdiri setelah diskusi kecil mereka di depan pagar rumah kosong, urung main bola di pekarangan luas rumah itu.

"Gue nanti nyusul ke lapangan, ngambil sendal gue dulu yang ketinggalan!" teriak Rojak.

"Masih berani lo?" tanya Midun heran.

"Takut sih, tapi gimana lagi, tuh sendal baru dibeliin mama, tar ditanyain lagi."

Midun tak bertanya lagi, langsung berlari mengejar teman-temannya yang telah jauh.

Pelan-pelan Rojak membuka pintu pagar rumah kosong, terdengar derit dari engsel pintu yang telah berkarat. Ditariknya napas dalam-dalam lalu bergegas menuju halaman belakang. Langkahnya tergesa-gesa, sesekali ia menengok ke belakang karena merasa ada yang mengawasi. Tiba-tiba ....

"Dek!"

"Aaahhh ...!" jerit Rojak tertahan.

"Aduuh, maaf Dek, ndak maksud ngagetin je. Cuma mau ngasihken sendalnya yang tadi disuruh umpetin. Wis muleh kabeh kanca-kancamu, toh?"

"Gak ngerti ah, maksud Pakde."

"Sudah pulang semua kawan-kawanmu?"

"Iya De, pindah ke lapangan Pakde Miko. Pakde gak usah takut ketahuan lagi. Mulai hari ini kita gak akan main di sini."

"Matur nuwun sanget, eeh , makasih banyak, Dek."

"Sama-sama, Pakde. Semoga cepet dapat kontrakan yang layak, gak tinggal di rumah yang udah mau rubuh kayak gini."

"Aamiin."

Setelah mengucapkan salam, Rojak pun berlalu pergi. Merasa bersyukur dapat membantu Pakde Cahyo, penjual bakso di dekat sekolahnya yang kiosnya kebakaran beberapa waktu lalu.

Semua rekayasanya tentang kuntilanak nge-pink, genderuwo ijo, hanyalah caranya agar teman-temannya tak mengetahui keberadaan Pakde Cahyo, karena tinggal di rumah kosong itu tanpa ijin dari RT setempat.

"Gak sia-sia ikut Komunitas Make Over," lirih Rojak berucap yang ditujukan untuk dirinya sendiri sambil mengusap pipinya yang kebiruan, hasil riasannya sendiri.

~selesai~

(Sumber gambar: Twitter)

Jumat, 18 September 2015

BILA SAJA AKU KAU

Bila saja aku, bila saja kau
bila kita mampu bicara tanpa ragu
tentu takkan datang kelu
ciptakan bisu

Bila saja aku, bila saja kau
bila kau simak apa mauku
sebelum menuntut apa maumu
pasti sembilu itu takkan tancapkan pilu
di relung-relung kalbu

Bila saja aku, bila saja kau
bila kita sama mau padamkan api
sebelum jadi abu
tinjumu takkan mengepal di mukaku
tinggalkan parut membiru

Bila saja aku, bila saja kau
bila dulu aku cukup berani mengaku
bukan kau kutuju
mungkin bisa kuledakkan batu di kepalamu
hingga airmata tak perlu mengadu

Bila saja aku, bila saja kau
bila waktu memihakku dulu
kau aku takkan terikat janji semu
patahkan hatiku

Bila saja aku, bila saja kau
bila tak perlu sama tahu
bila tak mau tahu
bila aku membisu
bila kau jauhi aku
tak mungkin kau aku menyatu
karena bukan mauku




Jumat, 11 September 2015

#Prompt87 - DAWAI YANG HILANG

"Kau sudah lama menungguku, Samuel?"

Satu suara lembut menyapa, menggelitik rongga-rongga telinga. Tubuh Alina meluncur turun dari dalam lubang gitar, meliuk-liuk pada lantai layaknya ular sebelum akhirnya memanjat tungkai kakiku.

Di pangkuanku tubuhnya memadat, rambut keperakan miliknya berdenting halus memainkan nada-nada melankolis.

"Aku menanti ini,"–aku meremas rambut peraknya–"kenapa kau lama sekali?!"

Alina membisu. Jemariku lalu mulai mencabuti beberapa helai rambutnya hingga nyanyian tadi terhenti.

"Kau hanya mencintai rambutku bukan, Samuel?"

Alina beranjak, menatapku lekat dengan sepasang mata keperakan.

"Tidak, kau salah. Yang kucintai  hanyalah tubuh mudaku, Alina. Kau tak tahu betapa tersiksanya hidup di tubuh renta itu, bila kau sedikit saja datang terlambat."

Tanganku terulur, helaian rambut perak di tanganku berlomba turun. Kaki-kaki mereka dengan gesit berlarian menuju gitar tuaku yang tak berdawai. Sampai di sana mereka berhenti, menatap Alina.

"Ayo Alina, katakan pada mereka."

Alina bergeming.

"Aku sudah membantumu selama bertahun-tahun. Apa imbalannya untukku kali ini, Samuel?"

"Ap-apa?! Kau tak pernah meminta apa pun sebelumnya!"

"Aku memintanya sekarang."

"Kumohon Alina, cepat perintahkan mereka! Aku sudah mulai menua!"

Aku berlari menuju cermin di dinding kamar. Rambut hitam tebal kebanggaanku perlahan memutih. Kusingkap bajuku. Tak ada lagi dada bidang berotot, yang tersisa hanya selembar tubuh kering dengan tulang-tulang rusuk bertonjolan.

"Apa imbalannya, Samuel?"

Di depanku Alina seolah mengulur waktu. Riapan rambut peraknya kembali bersenandung, kali ini nadanya menghentak, membentur dinding otak. Seketika ingatanku melayang pada tubuh ranum perempuan-perempuanku. Oh, aku sangat merindukan mereka.

"Apa pun akan kuberikan, tapi tolong bantu aku!"

Aku berteriak panik. Kulitku mulai mengelam, keriput menjalar keluar dari lubang telinga memenuhi area wajah dan tubuh. Punggungku berderit, tulang-tulangnya saling dorong memaksaku membungkuk.

"Alina ...," panggilku putus asa.

Di depanku Alina tersenyum misterius.

"Anak-anak, mulailah bermain!" teriak Alina.

Helai-helai rambut perak tadi mengangguk. Tubuh ramping mereka memanjat gitar tua, terus masuk melalui celah handle, lalu mengikat tubuh mereka pada stemmer gitar.
Terdengar kembali nada-nada magis tanpa seorang pun memetiknya.

"Aah, aku merasakannya, Alina!"

Aku tertawa, berputar-putar sambil merentangkan kedua tangan, memejamkan mata menikmati sensasi aneh saat sel-sel tubuhku diperbarui.

Kubuka mata. Cermin di dinding memantulkan wajah rupawan dengan senyum menawan. Aku kembali muda.

Nada-nada indah masih terus berdentingan memenuhi udara.

"Katakan Alina, apa keinginanmu? Cintaku kah, tubuhku?"

Alina perlahan mendekat. Mata keperakannya berpendar-pendar,"-tapi bukankah kau tidak mencintaiku, Samuel?"-lalu dua bulir kristal perak meluncur jatuh.

"Lalu apa maumu?" tanyaku datar.

"Aku ingin pergi. Selamanya."

Mendadak lantunan nada-nada terhenti. Helai-helai dawai perak melepaskan ikatan mereka.

"Ja-jangan. Tidak mungkin. K-kau ti-dak akan me-melakukannya!"

Suaraku? Nadanya kembali tua dan parau. Oh, tidak!

Tubuh Alina kembali meluruh seperti sehelai sutra, meliuk-liuk di lantai, lalu merambat naik memasuki lubang gitar. Helaian dawai perak berlarian menyusul Alina.

"Aaarrgghh!"

Bersamaan dawai perakku menghilang, tubuhku kembali ringkih, tulang-tulang di punggung menendangku hingga aku kembali terbungkuk.

"Alina ...."

Hampa. Tiada sahut. Aku menangis seketika, meraba dawai yang kini tiada, berharap tubuh mudaku kembali.

Rie||110915

Sumber gambar: Lukisan Pablo Picasso 'The Old Guitarist'



Rabu, 09 September 2015

#FFRABU - SENYUM TERAKHIR

Adegan di film tadi begitu membekas di benakku. Ya, memang itu yang seharusnya dilakukan terhadap kekasih yang berselingkuh. Tokoh prianya telah melakukan hal yang tepat, dan ia tidak bersalah sedikit pun atas perbuatannya. Aku pun akan melakukan hal yang sama seandainya aku jadi dia.
Aku senang film ini yang kami tonton, walau Senna sempat mengusulkan yang lain.

"Pink Cadillac aja, itu lagi box office."

"Senyum Terakhir sepertinya lebih menarik, Sayang."

Senna gelisah di kursinya, ia melirikku berkali-kali.

"Senna ...," panggilku.

Gadisku menoleh, aku memberinya senyum terakhir, membuka pintu mobil, dan melompat, tepat sebelum mobilku masuk ke dalam jurang. Seperti adegan di film tadi.

Rie||090915

#FFRabu
@mondayFF


Sumber gambar: Mbah Gugel


Senin, 07 September 2015

YANG HILANG (PART I)

Alunan musik Gambang Kromong terdengar dari seberang jalan. Tergesa aku turun dari angkot, dan hampir saja lupa membayar ongkos kalau saja tidak diteriaki abang sopir.

"Neng Negro, ongkosnya belom!"

Ups, negro. Enam bulan tinggal di Indonesia, tepatnya di Jakarta, tidak membuat kupingku terbiasa dengan panggilan rasis itu.

Ya, itu rasis. Bahkan di Eropa dan Amerika julukan itu diharamkan, walau banyak juga orang-orang di Aussie memanggilku begitu. Kupikir, hanya karena aku berkulit legam dan berambut keriting kaku, tidak lantas membuat setiap orang berhak memanggilku negro.

"You're late again, Sista." Zaqi berbisik di telinga saat aku mengambil posisi di sebelahnya.

"Traffic jam," jawabku singkat.

Segera aku keluarkan Tehyan dari sarungnya, membuka buku notasi lagu, lalu menyimak sudah sampai di mana permainan mereka sebelum akhirnya konsentrasi menggesek Tehyan. Lagu Sip Pat Mo.

"Jaga temponye, Lik!"

"Zaqi, lu masuknye kecepetan!"

"Yang pegang Tehyan ame Kongahyan tolong selarasin nadanye!"

Teriakan ayah Tatang, pelatih kami, nyaring terdengar di selasar gedung BLK (Balai Latihan Kesenian) ini.
"Neng Clara, pas bagian Mitra main Tehyan sendiri, ente berenti dulu geseknye!" Ayah Tatang menegurku, aku menatapnya bingung.

"When Mitra plays solo, all of other Tehyaner is stopping rub the string." Zaqi menerjemahkan. Aku mengangguk paham.

Ayah Tatang, pria bertubuh tambun berumur empat puluhan tahun itu, sebenarnya memiliki pribadi yang lucu dan menyenangkan, tapi semuanya berubah saat sesi latihan dimulai. Air mukanya akan berubah mengeras, teriakan atau pun teguran akan sering keluar dari mulutnya saat kami melakukan kesalahan.
Kami berlatih sampai sekitar dua jam lagi, sampai akhirnya ayah Tatang memberi aba-aba selesai saat jam menunjukkan pukul lima.

"Mau langsung capcus, Clara? Nongkrong dulu aja bareng kita, yuk," ajak Kelik, pemain Sukong di grup, saat aku membereskan peralatan Tehyan. Selagi aku masih mencerna kata-kata Kelik, Sisi sang vokalis ikutan nimbrung.

"Ayah Tatang ultah. Kita semua mau ditraktir makan di mie aceh Ali. Kamu ikut ya?"

"E-at tuge-dher?" Kelik menambahkan kaku.

"Okay."

Aku tidak yakin apa yang mereka katakan, tapi sepertinya jawaban itu yang mereka inginkan. Terbukti keduanya langsung berteriak kegirangan.

"Lik, bantuin dulu, dong!" Tiba-tiba Iwan, pemain Kromong, berteriak memanggil.

Diisyaratkan kepalanya pada Gambang dan Kromong yang belum dikembalikan ke ruang alat. Iwan sendiri sibuk menggotong Gong bersama dengan bang Pendi, beberapa orang lelaki lainnya memindahkan Gendang.
Pekerjaan mengembalikan alat-alat musik yang berat ke ruang alat, memang menjadi urusan kaum lelaki. Kami yang perempuan, kebagian membereskan alat-alat yang lebih ringan seperti, Tehyan, Kongahyan, dan Sukong. Ketiganya alat musik gesek, hampir sama dengan rebab hanya berbeda di ukuran tempurung (batok kelapa), dan senarnya.

"Clara, somebody is looking for you."

Tahu-tahu Zaqi menepuk pundakku. Di grup Gambang Kromong, dia yang paling dekat denganku, bahasa Inggrisnya juga paling baik.

"Who?"

"Well, it's rather weird. She said that she's your twins. But she doesn't look like you." Kulihat kebingungan tampak jelas di wajahnya, jantungku sendiri berdetak lebih cepat. Mungkinkah?

"Dia bilang namanya Cindy. Is that true, Clara? Dia, kembaranmu?"

Aku tak menghiraukan kata-kata Zaqi, karena detik berikutnya aku bangkit dari duduk, menengok ke arah yang ditunjuk Zaqi, dan yah ... benar. Gadis itu ada di sana, tampak cantik seperti biasa dengan rambut ikal pirang, mata biru besar, dan kulit putihnya. Seseorang yang sempat menorehkan luka, seseorang yang membuatku pergi dari Australia dan memilih menjejakkan kaki di tanah Indonesia. 

"Sis ...." Sapaan Cindy pertama kali saat aku menghampirinya.

"Mau apa lagi?! Mau membuat kacau hidupku di sini?!"

Di depanku Cindy tampak salah tingkah. Aku berbalik meninggalkannya, meneruskan pekerjaanku sebelumnya.

"Sis, dengar dulu. Aku ...."

"Saat ini aku tak ingin mendengar apa pun darimu!" bentakku.

Nada kerasku dan kehadiran Cindy rupanya menarik perhatian teman-temanku. Terbukti beberapa kali kutangkap kata 'twins' dari mulut Zaqi, bahkan sempat kudengar Sisi berteriak, "OMG ...!" sambil menggeleng kuat-kuat. Ya, siapa yang akan percaya. Aku si legam punya kembaran berkulit putih.

"Clara, please, we need to talk."

"Nggak ada lagi yang harus kita bahas!"

"I miss you, Sis."

"Nonsens!"

"Noo ... it's true. Aku masih tak percaya waktu kamu memutuskan pergi. Kenapa kau tak pernah mau menerima teleponku? Dan emailku, tak satu pun kau balas."
Aku diam saja tak menggubris kata-kata Cindy, pura-pura merapikan susunan bukuku yang sudah rapi. Dari ekor mata tampak ayah Tatang sibuk menggiring teman-temanku ke ruangan sebelah, meninggalkan aku bersama Cindy berdua saja.



YANG HILANG (PART II)

"Sis, look at me!" Cindy menyentak tanganku, "aku kehilanganmu, Sis. Bahkan sampai sekarang aku tidak tahu mengapa kamu memilih kuliah di Indonesia, padahal kita sama-sama diterima di UWA?!"

"You know exactly why! Jangan bilang kamu lupa farewell party di high school kita!"

"Aku tidak lupa, Clara. Justru itu salah satu sebabnya aku ke sini. Aku ingin minta maaf."

"Kau pikir dengan minta maaf masalah selesai?"

"Lalu aku harus apa? Mencium kakimu? Bersujud mohon ampun? Gee, Sis, kenapa kamu terus mengingatnya? Malam itu kami cuma bercanda."

"Bagimu bercanda, bagiku itu penghinaan. Aku saudaramu, tapi kau dan gerombolanmu selalu mengatai-ngatai aku seperti Clarabella, tokoh sapi di film kartun. Apa aku harus tertawa disamakan dengan binatang walau itu hanya, apa katamu itu? Kartun yang manis? Dia tetap sapi!"

"Come on, Clara. Marahmu tidak pada tempatnya." Kudengar Cindy mendengus geli.

"Ini yang katamu datang untuk minta maaf? Bahkan aku tidak melihatmu merasa bersalah atas peristiwa itu!"

"Sis, itu hanya poster."

"Ya, hanya poster! Hanya poster wajahku bersanding dengan muka Clarabella 'Si Sapi' yang kau dan teman-temanmu pasang lengkap dengan tulisan 'The Real Twins'. Di sepanjang lorong sekolah, di semua lantai!" jeritku.

"Well, it's not a big deal, kamu terlalu main perasaan. It's just jokes!"

"Oh, begitu. Lelucon, huh?! Jadi menurutmu juga lucu, saat kalian mengunciku di toilet sekolah? Lucu, saat Mike meninju mukaku karena dia bilang dia benci negro? Lucu, saat kalian menumpahkan bekal makan siangku, melempar sepatuku ke ring basket, menyembunyikan PR Math sampai aku dihukum Mr. Flinch, membuang science projectku ke tong sampah, dan lain sebagainya itu! Lucu menurutmu?!"

"Aku sadari yang itu memang sedikit keterlaluan."

Aku mendelikkan mata padanya.

"Okay ... okay, hampir sebagian besar perbuatan kami kepadamu sangat keterlaluan. I'm really sorry, tapi aku bersumpah tidak tahu kalau Mike pernah memukulmu."

"Bagaimana mungkin kau tidak tahu, semua kejahilan kalian adalah rancanganmu!"

"Clara, please, aku jauh-jauh ke sini karena aku tahu aku salah. Aku hanya tidak tahu bagaimana caranya meyakinkanmu bahwa aku sungguh-sungguh."

"Kau bisa memulainya dengan berlaku jujur, dan berhenti berpura-pura seolah kau tak tahu apa pun, seolah itu hal biasa untukmu." Sekilas kulihat Cindy berkaca-kaca sebelum ia cepat-cepat menundukkan wajahnya.

"Kita memang berbeda, Cindy. Aku sama dengan Daddy, hitam. Kamu dengan kulitmu yang bagai pualam itu sama persis dengan Mommy. Tapi itu tidak menjadikan kamu berhak untuk menghinaku, saudara kembarmu sendiri. Berkali-kali. Dan puncaknya malam itu," ucapku tajam.

Kuluapkan semua emosiku yang tertahan selama ini. Betapa pernikahan campuran antara Dad yang Nigeria dan Mom yang asli Australia, telah membuat hidupku mengalami perlakuan rasial dari lingkunganku di Aussie, bahkan di sini. Di depanku Cindy menangis sesunggukan.

"I envy you, Clara. Itulah sebabnya kulakukan semua itu." Di antara sengguknya, Cindy mencoba menjelaskan.

"What?! Apa aku tidak salah dengar? Kamu? Iri padaku?"

"Nope, kamu nggak salah dengar. Kamu ingat, Mom selalu memuji kepintaranmu memasak. Lalu Daddy selalu bangga dengan nilai-nilaimu yang memuaskan. Kamu seperti Super Girl, kamu mampu melakukan apa pun, sedang aku?"

Aku menatapnya linglung, tak percaya dengan apa yang kudengar. Kujatuhkan tubuh di sampingnya, dan tanpa sadar aku telah memeluknya.

"Tapi Mom juga selalu memuji kecantikanmu di depan teman-temannya. Dan Dad, dia cuma mau kamu yang bantu dia cuci mobil, karena aku tidak pernah becus tentang hal itu," kataku masih setengah linglung.

"Lalu apa artinya, Sis?" Cindy menjauhkan tubuhnya dariku.

"Dipuji karena jago cuci mobil dan dipamer-pamerkan ke orang-orang sebagai putri cantik seperti dalam dongeng. Apa gunanya? Bahkan mereka tega kasih nama aku Cinderella sedangkan kau Clarabella. Bukan kamu saja yang jadi bahan olok-olokkan, Sis."

Cindy tertawa panjang mengingat kekonyolan nama kami, entah apa yang merasuki benak orangtua kami dulu saat memberi nama itu kepada kami. Lamat-lamat aku ikut tertawa bersamanya. Awalnya agak kaku, lalu segalanya mengalir begitu saja. Aku tertawa terbahak-bahak di samping Cindy yang sampai terbungkuk-bungkuk.

"So, can you forgive me now, Clara? Untuk semua salahku?"

Cindy meraih tanganku dan menatapku dalam setelah tawa kami menghilang. Raut mukanya yang serius menatapku penuh harap.

"Can you ...?" ulang Cindy lagi.

Aku terdiam, tak segera memberi jawaban. Kuakui kalau aku pun merindukan Cindy. Berada jauh darinya dengan menerima tawaran Uncle Budi dan Aunty Steffy untuk kuliah di sini, tak membuatku berhenti memikirkannya. Di sudut hati kecilku, sebenarnya telah lama aku memaafkan Cindy.

"At least ...."

"Asal saja apa?" potongnya cepat.

"Asal kamu maafin aku juga, dengan semua perasaan irimu itu yang aku tidak tahu, yang membuat kita bermusuhan lama."

"Okay, aku maafin," jawab Cindy cepat. Senyumnya merekah, kami lalu berpelukan hangat.

"Eits, satu lagi," kataku.

"Apa?"

"Kamu harus datang liat perform aku di Gedung Kesenian Jakarta minggu depan. Pakai kebaya encim."

"Perform apa? Yang tadi sempat aku lihat itu? Kereeen, musik apa namanya? Kok kamu bisa mainin? Kuliah kamu gimana? Kebaya encim, itu apa?"

Aku hanya tergelak mendengar berondongan pertanyaan Cindy, kubiarkan saja ia dengan pertanyaannya. Satu yang pasti, aku bahagia kami sudah berbaik kembali. Kami yang hilang sudah saling menemukan. Menemukan saudaraku. Kembaranku!


~the end~


Minggu, 06 September 2015

SUATU MALAM BERSAMA DHEA

Kenalin, nama gue Harmoko, panggilan Komo. Gue jomblo, dan nggak ada di diri gue yang patut dibanggakan. Gue cuma tinggal di kost-an di gang sempit, punya kerjaan tapi belum cukup buat menghidupi diri sendiri apalagi buat jajanin anak orang, tampang pas-pasan, dan satu-satunya kendaraan yang gue punya cuma vespa warisan kakek. Bayangin deh bututnya.

Kalaupun masih ada yang bisa gue banggain, mungkin cuma si Dhea. Siapa tuh, Dhea? Pasti mau nanya gitu kan? Baca aja cerita gue di bawah, tar juga tahu.

***

"Awas ya, jangan sampe malu-maluin gue."

"Yaelah, Mo, tenang aja keless. Lu kan tahu gue orangnya kucing malu-malu."

"Malu-malu kucing!"

"Yah, itu. Pokoknya lu nggak usah khawatir. Oke?! Capcus kita?"

Setengah terpaksa, gue mengiyakan niat agak baiknya Dhea untuk jadi pacar gadungan gue malam ini. Haiyah! Apa pula artinya itu?

Gini, bulan September yang basah ini rupanya diminati orang-orang untuk kawin, eeh, nikah. Terbukti dari banyaknya undangan pernikahan mampir ke gubuk sunyi gue nan sepi.

Sebagai jomblo rada teladan alias jordan (gue ogah dibilang jones: jomblo ngenes), gue sih cuek-cuek aja kalaupun harus datang ke acara kawinan seorang diri. Paling rada nyesek kalo ketemu teman-teman terus ditanya, 'gandengan lu mana?', 'masih jomblo aja dari dulu', 'kapan nyusul?', 'awas lho, kelamaan bisa jadi perjaka tua', bla bla bla.

Beda sama Dhea, tetangga kost gue yang hobinya cari makan gratisan termasuk di acara kawinan. Dia bilang, berarti gue harus ngebuktiin ke mereka bahwa gue sebenarnya laku walau tampang gue absurd, punya pacar bohay semlohay walau gadungan, punya karir cemerlang di pom bensin tempat kerja gue, cuma kalau sampai sekarang belum nikah, itu karena kepentok biaya. Hhm ... ini sih, si Dhea mau jatuhin gue namanya.

Intinya, si Dhea nawarin diri jadi pacar gadungan, karena ngarep makan gratis di kawinan sobat gue, Rio. Yang bikin ketar-ketir, gue hafal banget kalo Dhea makannya banyak. Takutnya dia malu-maluin, tapi kalo nggak diiyain kasian juga, tuh anak seharian belum makan.

Menurut pengakuannya, dia cuma ngemil mie rebus dua mangkok, martabak sisa semalem empat lonjor, segelas gede kolak pisang dari ibu kost yang tumbeeenn baek, lontong sayur satu setengah piring. Nah, yang setengah piring punya gue tuh diembat.

Ya sudahlah, demi perut Dhea yang sudah berteriak lapaaarr, akhirnya terdamparlah kami berdua di kawinannya Rio.

"Wooyyy, Komo my brooo, dateng juga lu, my maaan!"

Rio langsung meluk plus nepok-nepok punggung begitu gue kasih selamat. Saras, bininya, ngelirik Rio jutek. Wajar sih kata gue. Penganten kan harusnya jaim dikitlah, tapi si Rio gue liatin dari pas gue dateng emang petakilan banget.

"Wah, siapa nih, Mo, tumben?"

Nah, gini nih yang bikin males. Tumben katanya? Ketahuan banget jomblonya.

"Haiii, kenalin. Dhea, pacarnya Komo. Semoga langgeng ya perkawinannya."

Dasar edun, Dhea maen ngenalin diri sendiri aja. Tapi bagus deh, gue jadi nggak beban karena harus ngeboong, asal gue jangan kelamaan di deket Rio kalo nggak mau ditanya-tanya.

"Eeh Rio, antriannya panjang, nih. Tar lagi ngobrolnya."

Gue ngelambaiin tangan, dan tanpa perlu gue seret dari pelaminan, Dhea langsung ngucluk ke meja prasmanan.

"Saatnya makaaannn," bisik Dhea di kuping gue. Dalam hati gue langsung baca ayat Kursi sama doa-doa pendek, semoga nih anak makannya nggak kalap.

"Luh nghaak mhakhang, Mho?"

Doa gue mungkin kurang khusyuk, karena tanpa perasaan bersalah, dengan mulut penuh Dhea nawarin gue makan, untuk kesekian kalinya. Padahal perut gue udah mules saking cemasnya. Gimana enggak, semua orang termasuk yang punya hajat ngelirik jutek ke gue dan Dhea. Kalo gue taksir, ada deh si Dhea makan empat nampan. Nampan ya, bukan piring!

"Buruan makannya, gue mau pulang!" pekik gue tertahan.

"Gue belom nyobain kambing gulingnya, Mo."

Baru aja gue mau marahin tuh anak, tiba-tiba ....

"Hiikk ... aakkhh ... aarrggkk!"

"Lu napa, Dhe?!"

Gue teriak panik, tapi Dhea cuma nunjuk-nunjuk ke arah mulutnya sambil masih bikin suara-suara aneh.

"Aakhh ... haarrggkk!"

Gue manggil-manggil namanya panik, orang di sekeliling gue pada ngumpul. Lalu entah darimana datangnya, tahu-tahu ada seorang bapak segede kulkas jumbo dua pintu nepok-nepok leher dan punggung Dhea dari belakang.

"Hoeekk!"

Sepotong tulang ayam yang lumayan gede keluar dari mulut Dhea. Tuh anak langsung bersandar lemas di bangku, mukanya pucet, tuh bapak-bapak disalamin hampir semua orang.

"Pacarnya bawa pulang aja, Mas. Lagian sih, makan ayam sama tulang-tulangnya."

"Iya, malu juga kan, diliatin orang-orang. Pulang aja gih."

Kok, tuh orang berdua ngedesak gue banget ya? Pas gue tegesin mukanya, mereka adalah mbak-mbak yang kebagian tugas nge-cek makanan di meja prasmanan. Seinget gue lagi, mereka tadi sempet lirik-lirikan cemas sama ibu mertuanya Rio, waktu Dhea bolak-balik ke meja prasmanan untuk ke tujuh kalinya.

"Mo, mintain plastik, Mo." Tiba-tiba Dhea berucap lemah.

"Lu kenapa? Mau muntah?!"

Gue panik! Males banget kan kalo bener-bener Dhea muntah di tempat. Di acara kawinan orang pula.

"Bukan Mooo  ...!" Dhea mendelik gemas.

"Terus buat apa?"

"Buat cupcake yang di sono, "-Dhea menunjuk ke deretan gubuk-gubuk makanan-"buat dibawa pulang."

"Enggak! Ayo pulang!" Gue berdesis di depannya. Sok najemin mata gue walo terhalang kacamata.

Setengah merengut Dhea manut. Gue terlalu malu buat pamit sama Rio, akhirnya langsung aja pergi.

"Kan gue udah bilang, jangan malu-maluin!" omel gue begitu nyampe parkiran.

"Emangnya gue bikin lu malu?" Dhea memandang gue polos.

"Bangeeett!"

"Ya udah, maaf, sih."

Gue menghela napas. Asli sebel, nih cewek minta maaf kayaknya enteng banget. Emang kelar gitu rasa malu gue begitu dia minta maaf?

"Dhe, emang dari dulu makan lu banyak kayak gitu?" tanya gue penasaran sambil make jaket motor gue.

"Enggak sih, baru setahun ini abis Rendra mutusin gue."

Gue langsung nengok ke dia, tuh anak lagi ngurek-ngurek aspal pake ujung sepatu ketsnya. Perasaan tiap malming dia jarang ada di kost-an.

"Kalo malming gue biasa jalan sendiri atau bareng temen-temen sesama jombloers, bukan jalan sama pacar," kata Dhea lagi seolah membaca pikiran gue.

"Terus, karena putus makanya pelarian lu ke makan, gitu?"

"Yaah, nggak juga. Gue cuma berharap badan gue jadi melaaarrr, supaya kalo akhirnya ada cowok yang mau sama gue, berarti dia tertarik sama gue bukan dari segi fisik."

Gue mengangguk-angguk, mencoba menganalisa alasannya. Secara fisik, Dhea emang kece badai, bodinya aja ngalahin gitar spanyol. Jadi kalo dia ngarep ada cowok yang nggak tertarik ke dia secara fisik, ya susah banget.

"Tapi lu liat kan, Mo, badan gue segini-gini aja. Mungkin gue nggak bakat 'kali ya gendut?" sambung Dhea.

Sampai sini Dhea ketawa, lamaaa banget, terus nangis. Ih, aneh nih anak.

"Kenapa, Dhe?"

"Mo, lu nyadar nggak sih? Kalo gue nggak gendut juga, terus gimana gue bisa ngetes ketulusan cowok yang mau deketin gue?! Capek Mo, tiap pacaran ternyata gue nemuin kenyataan kalo cowok gue cuma menilai fisik. Gitu ada yang fisiknya lebih oke, gue ditinggalin. Kampret kan?!

"Enak yang alami dari sononya kayak elu, Mo."

"Maksudnya?"

"Yah, tampang elu kan di bawah standar, plus lu pake kacamata minus yang tebelnya ngalahin wedgesnya ibu kost yang bikin tampilan lu langsung anjlok. Badan lu cungkring, kulit gelap yang jauh dari eksotis, tinggi badan yang terlampau menjulang kayak layang-layang. Buat selera pasar, ibaratnya kalo didiskon, belum tentu elu dilirik, Mo."

Deg!

Nancep banget omongan Dhea di hati gue, nyelekiiit banget, bangeettt!

"Terus?"

"Sekarang lu jomblo, Mo, tapi kalo sampe ada cewek yang naksir sama lu, sumpah, berarti itu cewek emang mencintai lu apa adanya, dan elu beruntung banget. Lu nggak perlu susah-susah kayak gue buat ngetes orang yang ngedeketin lu. Ngerti kan maksud gue?"

Lama banget sebelum akhirnya gue ngangguk, dan sepanjang perjalanan kami balik ke kost-an, otak gue terus mengulang-ulang omongan Dhea tadi, bahwa gue beruntung ... beruntung!

Senyum gue mengembang. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, berkat Dhea, tetangga kost yang kalo ngomong asal njeplak, gue telah melihat diri gue dari sudut pandang berbeda.

Nama gue Harmoko, panggil aja Komo. Gue bangga dengan hidup dan kehidupan yang gue punya.




Jumat, 04 September 2015

PERJALANAN

#distikon

Sepanjang perjalanan yang pekat
Kutasbihkan harap saat jarak menyekat

Jiwa-jiwa kerontang khianati tuannya
Dada membisu melupa syairnya

Air mata tertumpuk di ujung sajadah
Tak lagi luah saat tangan tengadah

Jalan pulang kian jauh menghitam
Langkah terhenti di sudut kelam