Sabtu, 17 Oktober 2015

PEKERJAAN BERDARAH

Lelaki bermuka bopeng serta berkumis tebal itu kembali mengamat-amati golok besar di tangannya. Ia berdecak puas, tampak seringai memantul lewat bilah golok yang telah tajam terasah. Langkah berikut, dikenakannya topeng ski. Ia tak pernah alpa memakai benda satu itu tiap menjalankan pekerjaannya.

"Aku tidak suka cipratan darah pada mukaku."

Itu yang ia katakan saat aku pernah menanyakannya dulu. Aku, asistennya selama belasan tahun melakukan pekerjaan berdarah, dan tugas utamaku adalah mengasah goloknya setajam mungkin sebelum ia gunakan.

"Aku masih punya hati, Min. Aku tak ingin korbanku merasa kesakitan saat kugorok leher mereka." Kata-kata yang sering ia ucapkan saat mengawasi pekerjaanku.

"Tunggu di sini, Min. Nanti kau bawa kepalanya setelah aku selesai, "perintahnya, membuyarkan lamunanku baru saja. Lalu ia menghilang ke balik pintu besar.

Tak berapa lama jeritan-jeritan berkumandang menyayat telinga. Perutku berontak menahan mual yang hampir mencapai tenggorokan, saat terbayang tubuh-tubuh terkapar tak bernyawa dan genangan darah yang harus aku bersihkan sesudahnya.

Hoeekk!

Setelah beberapa menit, aku masih bersandar lemas pada dinding kamar mandi yang gelap tak berpelita. Terkuras sudah isi perutku.

"Min! ... Parmin!"

Kupicingkan mata di kegelapan, lalu beringsut keluar dari kamar mandi. Ia, Kang Dikin, sudah menungguku. Tangan kanannya mencengkeram potongan kepala.

"Ahh ... sudah kerja lama sama aku masih saja sering muntah. Payah kamu!" omel Kang Dikin sambil menggeleng-gelengkan kepala melihatku mengelap bekas muntahan di sudut bibir, "antar nih, kepala kambing ke rumahnya Cak Mat. Sudah ditunggu istrinya mau dibuat gulai."

"Cuma itu aja, Kang?" tanyaku, masih lemas.

"Ya enggak dong, Min ... kamu balik lagi nanti ke sini! Aku sama Kang Mitra masih harus ngulitin sama motong-motong dagingnya, habis itu baru kamu antar ke warung satenya Cak Mat. Sekalian kamu antar juga pesanan Bu Dirman untuk aqiqah cucunya, 'kan satu arah rumahnya. Gimana sih, kok nggak paham-paham sama tugasmu!"

Kang Dikin berlalu meninggalkanku masih dengan omelan-omelan meluncur dari mulutnya. Kulirik kepala kambing yang ditinggalkannya di lantai. Mata hewan itu begitu sayu, lidahnya menjulur, dan darah tampak merembes keluar dari sela-sela lehernya yang menganga. Perutku kembali berontak, dan ...

Hoeekk!

Kembali aku muntah, tanpa sempat berlari ke kamar mandi.



~SELESAI~


Sumber gambar: Mbah Gugel



Tidak ada komentar:

Posting Komentar