Rabu, 21 Oktober 2015

SEKELUMIT KISAH MARNO

Namanya Sumarno, tapi cukup panggil dia Marno. Ia berprofesi sebagai kuli bangunan. Perawakannya sedang saja, berkulit legam karena banyak terbakar sinar matahari, dan memiliki badan yang cukup berotot.
Namun jangan salah ... penampilan itu akan berubah drastis kala malam menjelang. Ia seketika menjelma menjadi Marini. Waria sintal, cantik, lembut nan eksotis, menurut dirinya sendiri. Tapi bagi aku, sang tukang ojek langganan, bedak, lipstik, atau bulu mata anti badai yang melekat itu tidak bisa menutupi garis-garis keras wajahnya. Dan urat-urat yang bertonjolan di tangan, tentu saja jauh dari kesan lembut.
Seperti biasa, tepat jam delapan malam aku telah tiba di rumah kontrakan Marno. Ia sudah menungguku di teras.

"Man, gue belom makan. Tar jangan langsung ke tempat mangkal, kita mampir dulu beli gorengan di warung Mpok Zaenab. Oke, Man?!" kata Marno sambil nangkring di jok belakang. Aku mengacungkan jempol tanda setuju.

Motor kustarter, kami pun melaju. Seperti malam-malam lalu, Marno akan menceritakan kisahnya sepanjang perjalanan kami, bagian menarik yang kadang membuatku miris atau malah tertawa geli.

"Man, jadi kuli bangunan itu memang bisa mengisi perut, bayar kontrakan, ngirim uang ke emak di kampung, sama buat nambah-nambah isi celengan, tapi sebenarnya pekerjaan itu gak srek di jiwa gue. Beda sama jadi waria, bagi gue itu adalah panggilan hidup!" Suara Marno timbul tenggelam di antara ingar-bingarnya kendaraan.

"Kok bisa?!" teriakku, mengalahkan deru angin.

"Bisalah! Gue yakin lu juga gitu. Lu ngojek pasti karena tuntutan supaya dapur rumah bisa terus ngebul, Man. Tapi corat-coret yang sering lu buat di bungkus rokok itu berkata banyak. Penyair ... itulah panggilan jiwa lu!"

Kata-kata Marno telak menohok jantung. Aku membisu seribu bahasa, hanya dalam hati diam-diam mengiyakannya.

"Gue pernah mundur tiga kali dari tiga rencana pernikahan, Man. Kebayang kan lu, gimana gue ngadepin semuanya saat itu? Berat, Man! Semata-mata karena gue mau jadi laki-laki normal, pengen bisa kasih cucu seperti harapan emak!"

"Terus?!" tanyaku, setelah jeda yang cukup panjang. Mungkin riuhnya suara klakson bersahutan dari banyak kendaraan, memecah konsentrasi Marno bercerita.

"Intinya gue gak cinta mereka, Man. Gue gak bisa nafsu sama cewek dan gue gak mau menyakiti mereka dengan memberi harapan palsu!"

Sampai di situ Marno tidak melanjutkan kalimatnya. Aku pun tak bertanya lebih lanjut, memilih berkonsentrasi pada jalanan di depan kami. Lewat satu perempatan, aku berbelok ke kiri melewati jalan kecil penuh lubang, sebelum akhirnya kurang lebih dua ratus meter sampailah kami di warung milik Mpok Zaenab.

"Kopi dua sama gorengannya, Mpok!" pesan Marno setelah kami duduk.

Tak berapa lama muncullah Mahmud, anak bungsu Mpok Zaenab—masih berselempang kain sarung, mungkin pulang dari surau—mengantarkan pesanan.

"Makan tuh, Man." Marno mengarahkan dagunya ke sepiring gorengan di depan kami, ia sendiri memilih meneguk kopinya.

"Gue suka puisi-puisi lu, Man," kata Marno tiba-tiba, "dalem banget lu punya kata-kata." Ia menatapku serius di antara kepul asap rokok yang disulutnya.

"Cuma tulisan iseng," jawabku dengan mulut penuh.

"Harusnya dijadiin buku aja semua tulisan lu itu, sayang kalo cuma berakhir di bungkus rokok," usul Marno. Ia menatapku lekat.

"Iya." Hanya itu ucapku, lalu kembali mencomot tahu isi.

"Gue suka cowok romantis. Menurut gue kalo cowok jago bikin puisi berarti dia romantis."

Entah mengapa kata-kata Marno meremangkan bulu kuduk. Punggungku terasa dingin, tahu isi ini mendadak mandek di tenggorokan. Cepat kuraih kopi milikku dan meminumnya sampai tandas.

"Lu itu tipe gue, Man. Apalagi perut gendut lu itu, suka bikin gue gemes pengen gelitikin."

Kali ini wajah Marno sudah sejengkal dari mukaku. Seulas senyum darinya tak berhasil menghentikan cucuran keringat dingin di sekujur tubuhku.

"Maman, mau gak lu jadi pacar gue?"

Tangan Marno sudah merayap menggenggam jemari tanganku. Aku tak tahu apa yang terjadi kemudian, karena detik berikutnya kepalaku berkunang-kunang dan tubuhku meluncur mulus ke tanah. Segalanya menjadi gelap.

~TAMAT~

Event KBM (juara favorit) dengan kata kunci: bulu mata anti badai, gorengan, sarung, celengan, mundur tiga kali.



Sumber gambar: Mbah Gugel





 

3 komentar: