Selasa, 10 November 2015

SETULUS KASIHNYA

"Yakin masih mau nulis? Siap dibombardir sama kritikus? Siap tulisanmu dibedah sampai kamu nangis darah?!"

Aku menunduk, tak berani menatap mata Kak Shinta, lalu nyaris tak terdengar aku menjawab ....

"Masih, Kak ... siap."

"Terus kenapa nangis hanya karena gak tembus event? Kenapa ngeluh jari sakit semua, gara-gara kebanyakan ngetik? Kenapa selalu alasan, 'Lagi writer's block'? Nonsens tauk!"

Blaamm!

Selalu begitu, setelah puas meluapkan amarahnya, Kak Shinta akan keluar dari kamarku sambil membanting pintunya.

"Sabar ya, Sayang, Kak Shinta begitu kan karena ia mendukungmu."

Mama, benteng terakhir untukku berkeluh kesah, akan memompa semangatku kembali dengan kata-katanya yang sesejuk embun. Beda sekali dengan kakakku yang satu itu.

"Masak ada orang kasih dukungan caranya begitu, Mah?" jawabku bersungut-sungut, sambil masih merebahkan kepalaku di pangkuan mama.

"Kakakmu cuma ingin kamu yakin dengan pilihanmu, apakah kamu serius atau tidak."

"Tapi kan gak harus ngomel-ngomel juga. Emang enak apa dibentak-bentak."

"Itu kan untuk mempersiapkan kamu di dunia yang kamu geluti. Apa yang kakakmu lakukan belum seberapa, dengan apa yang akan kamu hadapi di luar sana. Kamu harus punya mental baja!"

Aku terdiam, mencoba menelaah semua perkataan mama. Sedikit demi sedikit aku mengakui kebenaran kata-katanya.

"Kakakmu itu sangat sayang padamu, Riska. Dia orang pertama yang membaca tulisanmu, mengumpulkan file-file tulisanmu yang tercecer karena kamu sembrono, orang yang selalu siap begadang untuk kamu. Ingat, nggak?"

Perlahan-lahan ingatan itu kembali berlarian di otakku. Kak Shinta yang rela membuatkan coklat panas saat aku menulis sampai malam, Kak Shinta yang giat mengikutsertakan aku dalam event-event menulis, Kak Shinta yang nemenin begadang karena aku takut sendirian, padahal besoknya ia harus ngantor pagi, Kak Shinta yang, aah ... mama benar, aku hanya menilai buruk apa yang kakakku lakukan. Padahal di balik itu semua, tersembunyi kebaikan hati dan ketulusan kasihnya yang tak kulihat sebelumnya.

"Mah, Kak Shinta di mana?"

"Belum pulang kantor, lembur. Kenapa?"

Aku malu mengatakannya pada mama, tapi saat ini yang ingin aku lakukan adalah, menghambur ke pelukan kakakku sambil berucap, "Terima kasih, Kak. Aku sayang Kakak."

3 komentar:

  1. Bahagia rasanya kalau ada yang mendukung ya :) ... blogwalkiing :) :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pastinya begitu, Umi :D

      Makasih BW-nya, ini juga suatu bentuk dukungan :)

      Hapus
  2. Bahagia rasanya kalau ada yang mendukung ya :) ... blogwalkiing :) :)

    BalasHapus