Jumat, 01 Januari 2016

CERPEN - KETIKA LANGIT MEMBUNUH HUJAN

"Akui saja, Rain ... kau mencintai Earth, bukan? Aku bisa lihat dari matamu."

"Untuk apa kau tahu, Sky?"

"Aku butuh jawaban, bukan pertanyaan."

"Lalu apa? Belum cukupkah luka yang kami tanamkan di hatimu?"

"Ah, kami! Kau dan Earth. Itu cukup menjawab semuanya. Hahaha ...."

"Sudahlah Sky, aku muak. Kau hanya sedang menyiksa dirimu sendiri."

***

Apakah kau tahu, wahai manusia? Dahulu langit sangatlah dekat, hingga kau nyaris bisa menyentuh awan-awan serupa kapas yang menyelubungi permukaannya. Tuhan belum menciptakan kalian. Jiwa yang bernyawa saat itu hanyalah Langit, Bumi, dan Hujan. Mereka bercengkerama dalam bahasa puisi, bahasa yang bisa membunuh siapa saja yang mendengar, bila saja kalian telah hidup pada masa itu.

Lalu bagaimana langit bisa demikian jauh, hujan begitu muram, dan bumi teramat diam?

Mari, mendekatlah. Simak saja ceritaku ....

***

"Langit, himpunlah awan-awanmu lalu kejarlah aku ... tangkap aku!" Bumi berlarian melabrak angin. Rambut ikal kecoklatannya bergoyang ke kiri kanan mengikuti derap langkahnya.

"Jangan konyol, Mi! Bagaimana caraku untuk mengejar dan menangkap geriap tubuhmu sedangkan kita tersekat jarak berdepa-depa?"

"Ah, aku lupa!" Bumi menghentikan larinya, lalu merebahkan tubuh di rerumputan. Mata bulat menyipit miliknya mencari-cari wajah Langit, "maafkan aku, Langit. Tubuh pejalku terlampau sunyi bila hanya berdiam diri. Tebing mata ini ingin menjangkau tempat lain, hutan menyemak di tangan dan kakiku kerap ingin bermain dengan kelangkang sungai dan danau."

"Iya, sungguh kupahami itu! Tapi kau tentu tahu, hanya awan-awan di sekeliling tubuhku bisa berkeliaran, bergulung-gulung mendekat padamu saat dipermainkan angin. Mereka seakan mengejek diriku yang tak bisa beranjak ke mana-mana. Rasanya bodoh saja kalau kau terus-menerus lupa!"

Langit bergemuruh. Amarahnya memang selalu meledak-ledak tanpa kenal waktu. Bumi menggigiti bibirnya, satu kebiasaan yang otomatis ia lakukan bila dirundung gelisah.

"Aku bisa mengejar dan menangkapmu, Mi."

Bersamaan dengan datangnya satu suara lembut menembusi cuping telinga Bumi, udara di sekitar sontak menjadi sejuk. Hujan datang, merabas kian deras. Langit kembali bergemuruh. Matanya berkilat-kilat menjadi petir, meledakkan guntur. Wajahnya menghitam. Amarah kian menjadi-jadi sementara gemerisik derai terdengar di mana-mana.

"Ayo pacu langkahmu, Mi, biar kukejar kau!" Hujan berteriak penuh semangat. Bumi melonjak, lalu secepat kilat berlarian ke sana sini. Tawa cerianya memenuhi udara, menghunjami hati Langit dengan cemburu.

"Larimu kurang gesit, Mi. Awas ... aku hampir menjangkaumu!"

"Hahaha  ... kau curang, angin membantumu." Bumi berputar-putar mengecoh Hujan, tapi Hujan tak mudah tertipu. Ia menderaskan dirinya untuk menghambat langkah Bumi.

"Kena kau!" Hujan menguyupi Bumi dalam deras tetesnya, mendekap penuh kesungguhan. Bumi menggigil.

***

"Kau ingat, Sky, saat kau dulu membunuhku?"

"Selalu, Rain. Tak pernah kulupa sorot mata memohonmu."

"Sama sekali bukan memohon, Sky. Itu tatapan bahagia karena aku mati untuk Earth."

"Kau tahu, Rain, aku sungguh membencimu."

"Dan aku memaafkan kebencianmu."

"Aarrggh, kau membuatku terdengar seperti penjahat!"

***

"Aku jahat. Aku membuatmu membiru, kau pasti sangat kedinginan." Hujan menggerimiskan tetesnya hingga tinggal rinai. Tangannya mengusap wajah Bumi yang basah.

"Aku baik-baik saja. Aku selalu gembira acapkali kau kuyupi hutan-hutan di tubuhku. Danau dan sungai-sungai kau penuhi, bahkan tebing mataku tak lagi melukai. Gigir bukitku ditumbuhi tunas-tunas baru. Semuanya karena engkau, Hujan. Aku bahagia setiap kau ada." Bumi menatap sayu, merunuti tiap jengkal wajah Hujan.

"Aku pun merasakan hal yang sama, Mi." Hujan berbisik, mendekatkan wajahnya pada Bumi yang tak kuasa menolak rinai Hujan yang mengecup bibirnya sesaat.

Taarrtt ... Taarrtt!

Langit mengaum. Lidah-lidah apinya menggeletar, memecah kebersamaan Hujan dan Bumi yang begitu lekat.

"Cukup, hentikan!" Langit menggelegar. Kebencian berlarat-larat di matanya. Percikan petirnya melukai tubuh Bumi.

"Hei, Langit! Apa maksudmu?!"

Hujan kembali menderaskan tubuhnya demi mematikan api yang membakar hutan di lengan Bumi yang merintih kesakitan.

"Jangan pura-pura! Kau tahu benar alasanku!"

"Apa sebenarnya yang hendak kau katakan?!"

"Butakah kau?! Kau pikir bagaimana perasaanku saat tak bisa menyentuh Bumi dan melihat kalian bersinggungan serta berdekapan di depan mataku?!" Langit kembali menggelegar. Letupan-letupan bunga api menghantam Hujan membuatnya jatuh terkapar.

"K-kau cem-buru? Apa k-kau mencintai Bumi?" Hujan tergeragap sambil berusaha bangkit. Darah mengalir dari sudut bibirnya.

"Perlukah kujawab?!" Langit meluapkan amarah. Wajahnya mengelam, gemuruh meraung-raung, seluruh tubuh Langit mengerjapkan kilat bertubi-tubi, membelit dan menghunjam Hujan.

"Langit, hentikaaann ...!" Bumi menjerit, tapi teriakannya tak diindahkan Langit yang telah dirasuki cemburu.

Hujan melawan. Derainya berhamburan memenuhi Langit, gelontoran airnya menyerang disertai hawa teramat dingin mencucuki kulit tubuh. Berdua mereka bertarung, saling mendesak, menghentak, membuat tubuh keduanya melambung tinggi semakin menjauhi Bumi.

"Hujan ... Langit ... kalian bersahabat! Sudahilah semuaaa!"

Langit dan Hujan tak mempedulikan Bumi. Guntur bersahutan disertai kilatan-kilatan petir menyerang Hujan. Hujan mendorong Langit kuat-kuat. Tubuh Langit terpental, tapi lengan-lengan petirnya berhasil menarik Hujan bersamanya. Mereka terlempar jauh, tinggi, semakin menjauhi Bumi.

"Langit ...." Hujan berbisik, matanya kuyu menatapi Langit yang tak jua melepaskan lengan-lengannya yang terus-menerus melecut tubuh Hujan hingga hangus dan menghitam. Mereka terus meluncur jauh, terpental-pental menabraki galaksi dan bintang-bintang. Perlahan Hujan menutup matanya, senyum beku tersungging di sudut bibirnya.

***

Mengertikah kalian sekarang? Langitlah pemilik gemuruh dan petir. Hujan hanya memiliki derai kerinduan, hingga tiap kali ia datang kalian selalu diliputi perasaan melankolis.

Dan apabila kalian mencium aroma tanah yang begitu khas saat tersentuh hujan kali pertama, ketahuilah, bahwa itu adalah luapan kerinduan bumi saat bertemu kembali dengan kekasihnya. Nikmat sekali bukan, saat syaraf-syaraf penciuman membentur aroma rindu yang demikian lekat hingga pori-pori tubuh memekar bahagia?

***

"Pengorbanan cinta yang sia-sia, Rain! Kau mati percuma, bahkan kau tak sempat mengucapkan perpisahan pada Earth!" Sky mencibir.

"Tak ada yang sia-sia dari sebuah pengorbanan, Sky. Bukankah kau yang tersia-sia? Kau hidup tapi seakan mati, bukan? Tak ada yang menghiraukanmu di sini. Sedangkan aku, Tuhan telah berbaik hati menciptakan musim penghujan hingga aku masih bisa mengunjungi Earth. Dan musim itu telah datang. Itu pula sebabnya kau meradang bukan, Sky? Kupastikan kau akan terus bergemuruh atau bahkan meletupkan petir selama aku bersama Earth."

"Brengsek kau, Rain. Sudah mati pun kau masih saja brengsek!"

"Hahaha ... selamat tinggal, Sky. Jiwaku telah dipenuhi kerinduan akan Earth. Waktuku tiba kini untuk menemuinya."

"Ya, pergi saja! Dan percayalah, aku akan terus mengganggu kalian!"

***

Lihatlah, hujan mulai mampir di kaca jendela. Gemerisik derainya mengalun mencumbui gelepar aroma bumi. Bergegaslah bila kalian ingin menyimaknya, tapi jangan ganggu mereka.

~selesai~

Sumber gambar: Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar